1.     Pondok Pesantren Buntet
Pondok Pesantren Buntet berada di Blok Manis Depok Pesantren, Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Letak Desa Mertapada Kulon adalah 12 Km ke arah Selatan dari Kota Cirebon; 26 Km ke arah Timur dari Ibu Kota Kabupaten Cirebon. Kedudukan Pesantren Buntet berada di antara empat perbatasan yaitu sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Munjul; sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Cimanis Desa Buntet; sebelah Timur berbatasan dengan Kali Anyar; dan sebelah Selatan berbatasan dengan Blok Kiliyem Desa Sida Mulya.
Lokasi Pesantren Buntet, dapat dikategorikan sebagai tempat yang strategis dan sangat mudah dijangkau dengan menggunakan kendaraan jenis apapun. Lantaran jalan yang menuju ke lokasi itu, sejak lama terlewati kendaraan umum (bus, elf dan truk) dari Ciledug menuju ke Cirebon; bahkan bus atau truk dari arah Jawa Tengah menuju ke Jakarta (melalui jalan alternatif) dapat melewati jalan raya Mertapada Kulon (Desa di mana terdapat Pesantren Buntet).
2.     Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Buntet
a.  Sejarah Pondok Pesantren Buntet
Untuk mengungkapkan siapa, kapan dan bagaimana berdirinya pondok pesantren Buntet, penulis memperoleh data tertulis kemudian disempurnakan melalui informasi lisan dari kiyai pengelola pondok esantren Buntet. Data tertulis mengungkapkan, pondok pesantren Buntet didirikan oleh Kiyai Muqayim pada tahun 1758. Pada awalnya, mbah Muqayim (sebutan untuk Kiyai Muqayim bagi anak cucunya) membuka pengajian dasar-dasar al-quran, bagi masyarakat Desa Dawuan Sela (1 Km ke sebelah Barat dari Desa Mertapada Kulon (lokasi pondok pesantren Buntet sejak tahun 1750-an). Tempat berlangsungnya pengajian itu adalah sebuah Panggung Bilik Bambu ilalang yang di dalamnya terdapat beberapa kamar tidur atau pondokan yang dindingnya terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari pohon ilalang (sejenis rumput yang tinggi).
Informasi lisan menyebutkan, mbah Muqayim adalah seorang pejuang yang selama hidupnya selalu dikejar-kejar tentara Belanda sehingga ia selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain dalam upaya mencari perlindungan hingga ia menemukan “daerah aman” dari kejaran tentara Belanda. Sehingga ia menemukan sebuah daerah, dan di situlah mendirikan sebuah bangunan untuk “tempat berlindung” dari kejaran tentara Belanda. Bangunan yang yang berukuran 8 x 12 M itulah di kemudian hari dikenal dengan sebutan “Buntet” yang berarti tempat perlindungan. Di dalam “Buntet” itu, mbah Muqayim membuat mushalla yang berfungsi sebagai tempat shalat dan pendidikan keagamaan tersebut bertempat di suatu daerah yang kemudian terkenal sebagai daerah Buntet. Namun, tidak lama kemudian tempat persembunyian itu ditemukan lagi oleh tentara Belanda sehingga tempat itu dibakar. Mbah Muqayyim bersama beberapa santrinya berhasil meloloskan diri, pergi menuju ke arah timur untuk beberapa saat, kemudian beliau kembali lagi ke “wilayah Buntet” sebelah utara (konon, wilayah ini kemudian menjadi desa Buntet), di sini beliau mendirikan pondokan.
Beberapa saat kemudian, pondokan yang baru didirikan ini berhasil ditemukan tentara Belanda langsung menyerbu dan langsung membakarnya. Pada serbuan kedua kalinya ini, banyak santri yang gugur terbakar. Peristiwa gugurnya beberapa santri ini, diabadikan oleh masyarakat Buntet melalui sebuah area tanah “kuburan santri” yang dianggap suci. Beberapa santri yang selamat, diajak mbah Muqayim pergi menuju ke Desa Dawuan Sela, di sini beliau membuat sebuah gubug yang dindingnya terbuat dari bambu dan daun ilalang sebagai atapnya. Di dalam gubug inilah terjadinya proses pengajian dasar-dasar al-quran dan kitab Fath-hul Mu’in. Di Desa Dawuan Sela inilah mbah Muqayyim merasakan aman baik dari kejaran tentara Belanda maupun dalam mengamalkan ilmunya, hingga beberapa tahun kemudian keberadaan “Pondok Pesantren Pemula” ini diserahkan kepada K. Muta’ad (menantu R. Muhammad anak mbah Muqayim). Sementara mbah Muqayyim sendiri memilih menjadi mufthi hingga akhir hidupnya di daerah Beji (Pemalang, Jawa Tengah). Sebelum kepergiannya ke Beji, beliau menyerahkan kepemimpinan pondok pesantrennya kepada K. Muta’ad yang juga salah seorang putra Kasepuhan Cirebon dan pernah menjadi penghulu Keresidenan Cirebon. Konon, serah-terima kepemimpinan Buntet Pesantren ini terjadi pada 1785.
b. Profil Kiyai
1.      Mbah Muqayim
Mbah Muqayim adalah cucu Kiyai Abdul Hadi, lahir di Kampung Srengseng Desa Kerankeng Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu (tidak ditemukan informasi kapan mbah Muqayim dilahirkan). Informasi lain menyebutkan, mbah Muqayim adalah salah seorang keturunan dari Kesultanan Cirebon hasil pernikahan dengan wanita (anak kesra desa Kerangkeng) tetapi tidak pernah tinggal di lingkungan keraton. Hanya saja sejak beliau berusia anak-anak hingga remaja, selalu memperoleh pengawasan, perlindungan, pendidikan dan kesehatan yang memadai dari kesultanan. Ia memperoleh pengetahuan agama, pengetahuan umum dan ilmu kanuragan (kekebalan tubuh) melalui beberapa guru yang sengaja didatangkan dari kesultanan.
Pernyataan di atas diperkuat dari informasi yang menyebutkan bahwa salah seorang istri mbah Muqayim adalah putri keraton, begitu juga dengan salah seorang cucu menantunya adalah keturunan kesultanan Cirebon. Beliau juga salah seorang pegawai kerajaan yaitu sebagai qadli di kesultanan Cirebon, walaupun jabatan itu kemudian ditinggalkannya setelah ia mengetahui bahwa sultannya bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Sikap meninggalkan keraton kesultanan yang dilakukan mbah Muqayim, bukan karena ia menentang kesultanan Cirebon melainkan karena ia tidak setuju dengan sikapnya yang bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Ini menunjukkan bahwa, mbah Muqayim adalah seorang patriotik yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Salah satu bukti bahwa mbah Muqayim adalah seorang pejuang, Keterangan ini menunjukkan bahwa, mbah Muqayim adalah salah seorang pejuang yang selalu menantang penjajah Belanda. Bukti lain bahwa ia seorang pejuang adalah, keterlibatannya (bersama Ardisela) pergi menuju ke Aceh untuk membantu masyarakat Aceh melawan tentara Belanda. Keterlibatannya dalam membela masyarakat Aceh dari penjajah Belanda, mbah Muqayim diberi hadiah sebilah rencong dari masyarakat Aceh yang hingga kini (rencong itu) masih tersimpan di Beji (Pemalang, jawa Tengah).
Informasi menyebutkan bahwa, mbah Muqayyim adalah seorang pejuang (juga seorang dai) atau mungkin sebagai taktik dalam menghadapi penjajah, beliau hidup selalu berpindah-pindah dari satu desa ke Desa lain. Sejak ia meninggalkan jabatannya sebagai qadli di Kesultanan Cirebon, ia mendirikan pondok pesantren di Desa Kaduwela. Setelah pondoknya diketahui Belanda dan dibakar, ia bersama-sama dengan beberapa santrinya pergi ke Beji (Pemalang, Jawa Tengah) ia juga mendirikan pondok pesantren, kemudian ia kembali lagi ke Cirebon; ia menetap di sebuah Desa (Pasawahan) untuk beberapa saat kemudian bertemu dengan Ki Ardisela di Desa Tuk (di sini ia menetap untuk beberapa saat). Terakhir dari perjalanannya, mbah Muqayyim beserta para santrinya kembali dan menetap bersama anak cucunya di Buntet Pesantren yakni di Desa Mertapada Kulon.
a) Mbah Muqayyim di Beji
Kepergian mbah Muqayim beserta para santrinya ke arah timur, tempat pertama kali yang disinggahinya adalah sebuah desa yang disebutnya “Beji” yang berarti Lebe Siji. Desa ini bernama Kenanga, tetapi karena di daerah inilah (dari beberapa daerah) ada seorang lebe atau “satu lebe” (bahasa jawa: lebe siji) yang bernama Abdul Salam (Salamuddin) berkenan menerima mbah Muqayim beserta para santrinya, sehingga mbah Muqayim menamakan daerah ini dengan nama Beji.
Selama bermukim di Desa Beji, beliau berlaku sebagaimana lajimnya pendatang yang menumpang di suatu tempat; beliau selalu membantu pekerjaan-pekerjaan (lebe) Abdul Salam. Ia tawadu suka menolong dan membantu orang lain. Suatu keanehan bagi masyarakat Beji yang memperhatikannya yaitu, beliau selalu mengunjungi tempat-tempat tertentu yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap dan dirasakan sebagai tempat yang tidak akan selamat bagi yang mengunjunginya, namun beliau terbiasa keluar masuk ke tempat itu. Keajaiban lain yang terlihat oleh masyarakat yang melihatnya adalah, pada suatu malam ketika beliau tidur di Mushalla tubuhnya memancarkan cahaya terang menjulang tinggi ke atas dan menyinari daerah yang ada di sekelilingnya sehingga membuat terpesona yang menakjubkan.
Di Beji, mbah Muqayyim beserta para santrinya membuka hutan Padurungan yang kemudian didirikanlah Mushalla dan Masjid serta Pesantren. Di lokasi itulah kemudian para santri berdatangan dari berbagai daerah sekitarnya untuk berguru dan mengaji. Tidak ada informasi yang menyebutkan, dari tahun berapa sampai tahun berapa mbah Muqayyim berada di Beji kecuali informasi yang menyebutkan bahwa sebelum mbah Muqayyim kembali ke Cirebon, beliau dinikahkan dengan salah seorang putri lebe Abdul Salam. Melalui anak cucunya, hingga kini, sebuah pesantren masih tegak berdiri dan tersimpan sebuah rencong kenangan dari masyarakat Aceh.  Suatu kebesaran Allah, makam lebe Abdul Salam yang terletak di pinggir sungai yang selalu banjir dan tergenang air pasang, sampai saat ini masih tetap utuh tidak rusak atau hanyut. Petilasannya di daerah tersebut, masih dapat disaksikan.
b) Mbah Muqayyim di Pasawahan
Mbah Muqayim, selain menjabat sebagai qadli Kesultanan Cirebon (Sultan Muhammad Khaeruddin I, Sultan Kanoman) juga terkenal sebagai seorang mufti. Sultan Kanoman mempunyai salah seorang putra bernama Muhammad Khaeruddin II (lahir 1777), ketika ia mendengar bahwa ayahnya bekerja sama dengan pemerintah Belanda bertekad meninggalkan keraton Kesultanan dan mengikuti mbah Muqayim yang ketika itu berada di Pesawahan Sindanglaut.
Muhammad Khaeruddin II berguru ilmu agama dan ilmu kanuragan (teknik beladiri) kepada mbah Muqayyim. Berkat kecerdasan, ketekunan dan kerajinannya, ia tercatat sebagai salah seorang murid yang mencapai derajat yang terpercaya karena itu ia memperoleh sebutan “Pangeran Santri”. Ilmu kenuragan atau ilmu kadigjayaan yang dimiliki Khaeruddin II, berkali-kali teruji ketika berhadapan dengan tentara Belanda dan berhasil memperdayakannya. Pemerintah Belanda begitu mendengar bahwa orang yang selalu memperdaya pasukannya adalah Muhammad Khaeruddin II yang bermukim di Pesawahan beserta mbah Muqayim, pemerintah Belanda memutuskan untuk menangkapnya. Karena itu, sasaran pemerintah Belanda tidak hanya menangkat mbah Muqayim yang selama ini dikejar-kejarnya, melainkan juga Muhammad Khaeruddin II yang selalu bersama dengan mbah Muqayim dan Ki Ardisela. Dalam pengejaran terhadap kedua sasaran itu, Muhammad Khaeruddin II berhasil ditangkap, untuk proses selanjutnya dibuang ke Ambon. Sementara mbah Muqayim dan Ki Ardisela berhasil mengusir tentara Belanda dari Desa Pasawahan.
Ketika mbah Muqayim berada di Beji, masyarakat Cirebon terserang wabah penyakit tha’un. Ketenteraman masyarakat terganggu dihantui rasa gelisah dan was-was, bahkan tidak sedikit yang meninggal karena wabah tersebut. Pemerintah sudah melakukan berbagai macam usaha, namun selalu gagal sehingga timbul pemikiran bahwa yang mampu mengatasi tho’un hanyalah mbah Muqayim. Atas saran dari beberapa tokoh masyarakat, akhirnya mbah Muqayim dicari dan setelah jelas keberadaannya diutuslah beberapa orang utusan untuk meminta bantuan kepada mbah Muqayim. Permohonan dari utusan itu diterima mbah Muqayim tapi dengan dua syarat yaitu: 1) Muhammad Khaeruddin II dibebaskan dan dikembalikan di Cirebon, dan 2) Di daerah-daerah wilayah Cirebon agar didirikan masjid.
Setelah mbah Muqayim melihat Muhammad Khaerudin II dibebaskan dan kembali berada di Cirebon, walaupun oleh keluarga sultan tidak diperkenankan tinggal di lingkungan Kesultanan Kanoman (konon, Muhammad Khaeruddin II tinggal di Sunyaragi). Dengan segala kemampuan ilmu yang dimilikinya dan atas kehendak Allah swt. mbah Muqayyim berhasil mengatasi dan menghilangkan wabah penyakit tha’un itu. Sehingga ketegangan dan ketentraman masyarakat Cirebon pulih kembali.
Sebagai pelepas rindu dengan “Pangeran Santri” yang telah lama tidak bertemu, mbah Muqayim bersilaturahmi ke rumah Muhammad Khaeruddin II di Sunyaragi. Hasil dari silaturahmi itu, pada 17 Mei 1809 Sultan Muhammad Khaeruddin I mempertimbangkan bahwa, Pulasaren dijadikan Kesultanan baru dengan sebutan Kecirebonan dimana Pangeran Muhammad Khaeruddin II sebagai Sultan pertamanya dengan gelar Amirul Mu’minin.
c) Mbah Muqayyim di Tuk, Sindanglaut
Sumber informasi berupa catatab sejarah yang akurat menyebutkan bahwa, sumur atau tuk Muara Bengkeng merupakan sumber air bagi masyarakat wilayah Sindanglaut dan sekitarnya. Sekarang, Tuk adalah nama desa yang letaknya di sebelah selatar Kantor Kawedanan Sindanglaut Kecamatan Karangsembung Kabupaten Cirebon. Diinformasi bahwa, sejarah terbentuknya tuk muara bengkeng (cerewet)merupakan permintaan Ki Ardisela kepada mbah Muqayim sebagai imbal jasanya atas keterlibatan Ki Asrdisela ketika membantu mbah Muqayim dalam pertempuran melawan Belanda di Pesawahan.
Konon, lambang keakrabannya antara Ki Ardisela dengan mbah Muqayim, Ki Ardisela meminta kepada mbah Muqayim untuk membuatkan sumur (Tuk) yang diharapkan manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat daerah tersebut. Dengan kemampuan ilmu kanuragan yang dimilikinya, mbah Muqayim dalam beberapa saat mampu membuat sumur yang kemudian sumur tersebut dikenal dengan nama Muara Bengkeng. Tuk atau sumur itu, letaknya berdekatan dengan pesarean Ki Ardisela. Sumur tersebut diberi nama Muara Bengkeng, karena konon manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat untuk menghilangkan sikap bengkeng, cekcok rumah tangga, penderitaan dan kesedihan yang berlarut-larut. Semua jenis penyakit itu dapat dihilangkan hanya dengan meminum air Tuk itu dan mengusapkannya.
Di Desa Tuk inilah mbah Muqayim dimakamkan, bersebelahan dengan makam Ki Ardisela. Kedua kuburan ini, hingga sekarang dijadikan sebagai pusat jiarah umat Islam, khususnya keturunannya dan para santrinya, pada setiap hari Jum’at. Sekarang di daerah Tuk telah di dibuka Majelis Taklim dan Madrasah Ibtidaiyah serta SMP NU atas prakarsa Kiyai Umar Anas dan tokoh/pemuka agama setempat antara lain Kiyai Kailani, A.L. Effendi, dan Kiyai Aqshol Amri Yusuf.
d) Mbah Muqayim di Setu Patok
Sejarah kehidupan mbah Muqayim juga ada kaitan erat dengan terbentuknya bendungan Setu Patok. Konon sejarah Kecirebon menyebutkan bahwa, ketika Kiyai Enthol Rujidnala, salah seorang sesepuh keturunan Pangeran Luwung, mengadakan sayembara menanggulangi banjir yang selalu melanda Desa Setu. Salah seorang peserta sayembara itu adalah mbah Muqayim. Dalam sayembara itu, mbah Muqayyim dengan kesungguh-annya berhasil mengeluarkan seutas benang dari jubahnya, kemudian benang itu direntangkannya: satu sisi berada di jubahnya dan satu sisi yang lain diikatkan pada sebatang patok. Dengan ijin Allah, rentangan benang tadi menjadi bendungan yang kuat untuk mencegah derasnya arus banjir. Di kemudian hari, bendungan tersebut terkenal dengan nama Waduk Setu Patok. Untuk menjalin keakraban, Kyai E. Rujidnala menikahkan putri satu-satunya yang bernama Rt. Randu-walang dengan mbah Muqayim.
e) Mbah Muqayim Seorang Riyadlah
            Mbah Muqayim, di samping terkenal sebagai guru dan mufti juga dikenal sebagai seorang ahli Riyadlah. Ini dibuktikan dari suatu peristiwa bahwa untuk kewaspadaan dan penjagaan keselamatannya, beliau pernah berpuasa selama 12 tahun terus menerus memohon kepada Allah Swt. Untuk keselamatan bersama, puasanya terbagi sebagai berikut tiga tahun untuk keselamatan daerah Buntet Pesantren; tiga tahun untuk keselamatan anak cucunya; tiga tahun untuk keselamatan santri dan pengikutnya yang setia; dan tiga tahun untuk keselamatan dirinya. 
2.  Raden Muhammad
            Berdasarkan data di atas dapat dikemukakan bahwa, mbah Muqayim paling tidak memiliki dua istri yaitu: pertama ia menikah dengan putri Lebe Abd. Salam ketika ia bersama-sama para santrinya berada di Beji (Pemalang); kedua, ia menikah dengan Rt. Randuwalang (putri K.E. Rujidnala) ketika ia berhasil membuat bendungan atau waduk setu patok. Dimungkinkan bahwa, hasil pernikahannya dengan Rt. Randuwalang, lahir seorang putra yang bernama Raden Muhammad. Raden Muhammad punya seorang putri yang bernama Rt. St. Aisyah, yang kemudian menikah dengan Raden Muta’ad (dengan demikian, tidak banyak data tentang kehidupan Raden Muhammad, putra mbah Muqayim ini).
                  3.  Raden Muta’ad (1785-1842)
Raden Muta'ad dilahirkan pada 1785 M., putra Raden Muridin bin Raden Muhammad Nurudin (keturunan ke-17 dari Syarif Hidayatullah). Beliau adalah salah seorang santri yang terpandai dari mertuanya yaitu Raden Muhammad (anak tunggal mbah Muqayim). Beliau pernah belajar kepada KH. Muta'ad Musa’im Jepara di Pesantren Siwalan Panji Surabaya. Beliau pertama menikah dengan Nyai Rt. Aisyah (Nyai Lor)  dengan dikaruniai anak berputra 10 orang, yaitu: 1. Nyi Rokhilah, 2. Nyi. Amanah, 3. Nyi. Qoyyumah, 4. KH. Sholeh Zamzam, 5. Nyi.  Sholemah, 6. Abdul Jamil, 7. Kyai Fakhrurrazi, 8. Abdul Karim. Kemudian beliau menikah dengan Nyai Kidul (?) mendapat putra lima orang yaitu  1. Nyi Saodah, 2. KH. Abdul Muin, 3. K. Tarmidzi, 4. Nyi Hamimah, dan 5. KH. Abdul Mu’thi.
Putri pertama dari pernikahan K. Muta’ad dengan St. Aisyah yakni Nyi Rokhilah, dinikahkan dengan K Anwaruddin (yang terkenal dengan sebutan Ki Kriyan). Atas bantuan Ki Kriyan terhadap perkembangan Pondok Pesantren Buntet, sehingga Pondok Pesantren Buntet semakin berkembang. Berkat banutan Ki Kriyan juga, keadaan Pesantren Buntet bertambah mantap sehingga K. Muta’ad dapat mengadakan pembinaan-pembinaan ke dalam dan melakukan pembenahan terhadap seluruh hasil perjuangan mbah Muqayim. Jumlah santri semakin bertambah banyak, bangunan pondok mulai didirikan meskipun masih sangat sederhana. Prinsip dasar dan semboyan mbah Muqayim dalam menghadapi penjajah yaitu lebih baik memiliki bangunan dengan tiang dari pohon jarak tetapi hasil usaha sendiri, dari pada bangunan megah hadiah penjajah oleh K. Muta’ad selalu dijunjung tinggi dan tetap dipertahankan.
Peninggalan-peninggalan K. Muta’ad adalah, berupa kitab suci al-quran yang ditulis dengan tangannya sendiri, dan beberapa KK. Hingga kini, peninggalan-peninggalan itu masih tersimpan dengan baik dan merupakan bahan perpustakaan bagi Pondok Pesantren Buntet antara lain hasil tulisan tangan KH. Muta'ad sendiri dan hasil tulisan tangan KH. Anwaruddin (Ki Kriyan).
K. Muta’ad dalam membina dan memimpin Pondok Pesantren Buntet selalu bercermin kepada kepemimpinan mbah Muqayyim yang tidak pernah kompromi dengan tentara Belanda; Walaupun ia keturunan Keraton Cirebon, beliau berjiwa patriot dan anti kolonial, beliau juga salah seorang pejuang dan anti feodalisme; sebaliknya ia lebih memperhatikan nasib masyarakat banyak. Pernyataan ini ia buktikan dengan tidak menggunakan nama kebangsawanannya (sikap ini, ia mewariskan kepada anak cucunya), sebagai protes atas perilaku kakek neneknya yang bekerja sama dengan Belanda; malah justru sebaliknya, ia menyebarkan anak cucunya untuk mendirikan pondok pesantren di berbagai daerah antara lain di Gedongan (Pondok Pesantren Gedongan, melalui keturunan dari Ny. Maemunah) dan di Benda Kerep Kodia Cirebon (Pondok Pesantren Benda melalui keturunan dari KH. Tarmidzi).
Dampak secara langsung atas sikap dan perjuangannya yang selalu menentang tentara Belanda dan keteguhannya dalam menegakkan prinsip hidupnya itu, ia juga mengalami peristiwa sebagaimana yang dialami mbah Muqayim yaitu selalu dikejar-kejar, diawasi dan dirongrong tentara Belanda, baik jiwanya maupun pondok yang dipimpinnya. Melihat keadaan seperti ini, K. Muta’ad memindahkan lokasi pondoknya dari Desa Dawuan Sela ke Desa Mertapada Kulon (1 km ke arah timur). Inilah hasil usaha keras K. Muta’ad yang bersifat monumental dalam membina dan memimpin pondok pesantren Buntet. Salah satu alasan pemindahan lokasi pesantren Buntet, menurut KH. Shobih adalah karena tempat yang baru (Desa Mertapada Kulon) ini diberkahi Allah. melalui shalat istikharah yang dilakukannya (Wawancara, 19 Januari 1999).
Ketika ditanya mengapa nama pondok pesantren ini lebih terkenal sebagai pondok pesantren Buntet, padahal lokasinya berada di wilayah Desa Mertapada Kulon? KH. Shobih mengatakan,
Kata “Buntet” yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Buntet Pesantren, “wilayah kekuasaannya” meliputi Desa Buntet, Desa Mertapada Kulon, Desa Sida Mulya dan Desa Munjul. Karena itu, Desa Buntet merupakan bagian dari “wilayah kekuasaan” Buntet Pesantren. Adapun Pesantren Buntet yang ada di Desa Mertapada Kulon, adalah lembaga pendidikan Islam yang bernama “Buntet”. Mengapa demikian, karena nama “Buntet” lebih dulu ada jika dibandingkan dengan nama-nama desa yang ada di lingkungan Buntet Pesantren. Bahkan konon yang mendirikan desa-desa di lingkungan Buntet Pesantren adalah, para kiyai dan keluarga Buntet Pesantren”.
            Pada 1842 K. Muta’ad meninggal dunia. Beliau meninggalkan dua orang istri yaitu Ny. Ratu St. Aisyah (Nyi Lor) dan Nyi Kidul (wanita berasal dari daerah Tuk, Lemahabang) dan beberapa keturunannya yang melanjutkan kepemimpinan pesantren Buntet. K Muta’ad dalam membina dan memimpin Pondok Pesantren Buntet berlangsung selama 57 tahun yaitu sejak 1785-1842.
            4.  KH. Abdul Jamil (1842-1910).
Abdul Jamil adalah salah seorang putra K. H. Muta'ad dilahirkan pada tahun 1842 M Prinsip dasar pembinaan dan pengembangan Pondok Pesantren Buntet dilanjutkan dan perluas lagi sesuai dengan kondisi dan situasi kemajuan pendidikan saat itu. Pembangunan organisasi Pesantren Buntet, sistem pendidikan dan pengajaran, gedung-gedung asrama atau pondok diadakan dan diselenggarakan sesuai dengan kemampuannya. Pembagian tugas di dalam pesantren tersusun jelas dan tegas, pengajian KKdan pengajian khusus al-quran dilaksanakan sedemikian rupa, pengiriman-pengiriman tenaga kader pesantren baik dari “keluarga dalam” maupun pager sari dilaksanakan dengan baik, yaitu mengirimkan mereka ke beberapa pesantren terkenal di Jawa, luar Jawa bahkan ke Makkah dan Madinah dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh kyai.
Pembangunan mental dan spiritual dilaksanakan serentak dengan pembangunan fisik, oleh karenanya di samping membangun asrama atau pondok, masjid jami’, tempat-tempat pengajian umum thariqah sebagai suatu usaha mencari ketengangan dan ketenteraman jiwa dalam beribadah juga tumbuh dan berkembang dengan pesat. Thariqah mu’tabaroh yang tumbuh dan menjadi pegangan beliau khususnya dan para pembina Pesanten Buntet umumnya adalah thariqah syatariyah dengan jumlah pengikut yang cukup banyak hampir di seluruh pelosok tanah air.
K. Duljamil (demikian masyarakat setempat memanggilnya) tidak hanya terkenal sebagai guru ngaji dan ahli thariqat, beliau juga memiliki ilmu kanuragan sebagaimana dimiliki mbah Muqayyim. Salah satu bukti baliau memiliki ilmu kanuragan ialah, ketika di Jombang (Jawa Timur) terjadi kekacauan dan musibah menyebarnya wabah penyakit beliau diminta bantuannya oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk meredakan kerkacauan itu. Atas kepercayaan itu, beliau berkenan berangkat memenuhi permintaan tersebut bersama-sama dengan kakaknya KH. Shaleh (Bendakerep, Kota Cirebon), KH. Abdullah (Panguragan, Arjawinangun), K. Syamsuri (Walantara, Cirebon Selatan) yang juga mendapat panggilan dari Khadratu Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng (Jawa Timur). Pada saat itu K. Abdul Jamil baru berusia 28 tahun (pada 1900 M).
Amaliah ilmiah yang bersifat monumental hingga kini masih diselenggarakan di Pondok Pesantren Buntet adalah K. Duljamil memprakarsai dislenggarakannya pengajian KK elementari dan tadarrus al-quran pada setiap bulan ramadlan. Pengajian KK elementari yang dilaksanakan pada bulan ramadlan ini kemudian dikenal dengan sebutan ngaji pasaran, waktunya setelah shalat dzuhur dan shalat ashar; sedangkan tadarrus al-quran dilaksanakan ba’da shalat taraweh dan menjelang shalat shubuh, dengan diisi bacaan-bacaan ayat al-quran oleh para santri dan qori kenamaan seperti KH. Shaleh Ma’mun (Banten), KH. Mansur Ma’mun dan KH. Syihabuddin. Pelaksanaan tugas sehari-hari selama bulan ramadlan ini adalah K. H. Abd. Muin, KH. Abdul Mu’thi, K. Tarmidzi, K. Mu’tamil, dan KH. Abdullah.
K. Abdul Jamil meninggal pada 23 Rabbiul Awwal 1339 H./ 1918 M  dimakamkan di Buntet Pesantren dengan meninggalkan dua orang istri yaitu Nyi. Sa’diyah binti Ki Kriyan (dari istri Nyi. Sri Lontang Jaya, Arjawinangun) dan Nyi. Qoriah binti KH. Syathori (Arjawinangun, Cirebon) serta 15 orang putra-putri yaitu 6 (enam) orang dari pernikahannya dengan Nyi. Sa’diyah (1.Nyai Syakiroh, 2. Nyai Mandah, 3. KH. A. Zahid, 4. Nyai Sri Marfuah,  5. Nyai Halimah dan 6. Nyi Hj. Madroh) dan 9 (sembilan) orang dari pernikahannya dengan Nyi Qoriah (1. KH. Abas, 2. KH. Anas, 3. KH. Ilyas, 4. Nyi. Hj. Zamrud, 5. KH. Akhyas, 6. K. Ahmad Chowas, 7. Nyi. Hj. Yakut, 8. Nyi. Mukminah dan 9. Nyi Nadroh). Sedangkan saudara sepupu lainnya yang bernama KH. Said, mendirikan Pesantren Gedongan (Ender, Astanajapura) dan KH. Saleh mendirikan Pesantren Bendakerep (Kota Cirebon).
Sifat-sifat beliau antara lain rendah hati tetapi berani dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, lapang dada dan berpandangan jauh ke depan, berfikiran tajam, bijaksana, pemurah, suka menolong, dan pemaaf K. Abdul Jamil memimpin Pesantren Buntet dari tahun 1842-1910.
1.     KH. Abas Abdul Jamil (1910-1946)
Beliau adalah putra pertama KH. Abdul Jamil dari pernikahannya dengan Nyi. Qoriah, dilahirkan pada 24 Dzulhijjah 1300 H./1879 M di Pekalangan Cirebon. KH. Abas, belajar ilmu-ilmu keagamaan pertama sekali memperoleh bimbingan dari orang tuanya KH. Abdul Jamil, kemudian oleh orang tuanya dikirim ke K. Nasukha di Sukunsari (Plered), selanjutnya beliau belajar kepada K. Hasan (Jatisari, Majalengka),  kepada K. Ubaedah (Tegal) kepada KH. Hasyim Asyari (Tebuireng, Jombang), kepada KH. Wahab Hasbullah (Jawa Tengah), dan bersama KH. Abdul Manaf Lirboyo Kediri turut membuka Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Setelah dianggap dewasa, beliau dikirim orang tuanya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, tetapi selama di Makkah beliau belajar kepada KH. Makhfudz Termas bersama KH. Bakir (Yogyakarta) dan KH. Abdillah (Surabaya) bahkan saat itu beliau telah memberikan pelajaran kepada para mukimin di Mekah dalam bidang ilmu fiqh; di antara santrinya  ialah KH. Kholil (Balerante, Palimanan), KH. Sulaiman (Babakan, Ciwaringin). Selama berada di Mekah, beliau tinggal di kediaman Syeikh Jabidi. Setelah kembali dari Makkah, beliau diserahi Pondok pesantren Buntet.
Sifat dan kepribadian ayahandanya diwarisi dan dimiliki KH. Abas. Pada tahapan ini pembangunan dan pemugaran pondok mengenai lokasi maupun konstruksinya baik yang bersifat rehabilitasi maupun pembangunan baru dimulai pada tahapan penerus. Organisasi dan administrasi pesantren Buntet disempurnakan dan pembagian tugas serta wewenang dipertegas penempatan tenaga sesuai dengan keahliannya pengiriman kader diperbanyak, tukar menukar tenaga guru dan santri pesantren lain dilaksanakan di tempatkannya tenaga sukarela di daerah-daerah diintensifkannya kepemimpinan-kepemimpinan dengan kepribadian yang luwes dapat mengangkat martabat Pesantren Buntet serta meletakkannya pada proforsi yang tepat di tengah-tengah tarikan dan gerakan-gerakan empat jaman yang paradoksal yaitu jaman penjajahan Belanda I, penjajahan Jepang, penjajahan Belanda II dan jaman kemerdekaan.
Pada tahapan penerus ini sistem pendidikan semakin ditingkatkan, begitu juga dengan teknik maupun metode. Sistem khas kepesantrenan, dilengkapi dengan sistem madrasah dengan maksud agar saling mengisi dan melengkapi di antara kedua sistem tersebut. Sistem pesantren yang memberikan keluasan kepada santri dalam menyelami KK lebih tinggi dan lebih luas, di samping itu sistem madrasah membuat santri akan mampu berfikir praktis, sistematis dan terarah dalam mewujudkan pola berfikir ilmiah pragmatis, orisinil dengan adanya integrasi dan toleransi antara kedua sistem tersebut.
Pendidikan khusus al-quran al-karim yang telah lama ada, mendapat perhatian utama dari beliau. Dengan cara khusus beliau mengutus beberapa orang untuk mempelajari seluk beluk bacaan ilmu qira’at dan tajwidnya sehingga hasilnya kelak dapat diterapkan dan dikembangkan di Buntet Pesantren. Pengiriman kader tersebut antara lain ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta (KH. Munawwir), ke Banten (KH. Ma’mun) dan ke beberapa pesantren lainnya tetap dilaksanakan. Di samping memimpin pesantren, beliau juga memberikan pengajian KK di tingkat ‘ulya yaitu ilmu tafsir, hadits, tasawuf, fiqh, qira’ah sab’ah, dan ilmu pengetahuan lain yang bersifat khusus seperti ilmu falak, pengobatan, ataupun teknik beladiri.
Pondok Pesantren Buntet semakin lama semakin dikenal masyarakat, sehingga banyak yang masyarakat yang mengirimkan anak-anaknya untuk belajar keagamaan. Karena jumlah santrinya semakin banyak, sehingga pada masa itu dibangun beberapa pondok dan gedung-gedung lembaga pendidikan sekolah. Bangunan pondok dan gedung-gedung itu memperoleh bantuan dari masyarakat, misalnya tanah wakaf/jariyah dari H. Kafrawi (Kratagan Tanjung Brebes) dan jariyah tanah Ki Kuwu Gedung Gegesik untuk penyempurnaan Masjid Jami’ yang dalam pembangunannya dilaksanakan oleh H. Ali Graksan Cirebon.
Pada masa kepemimpinan KH. Abbbas, ngaji pasaran yang diselenggarakan pada Ramadhan, semakin diintensifkan. Begitu juga dengan ifthar (makan berbuka puasa) dan makan bersama pada sahur di bulan Ramadhan tetap dilakukan secara bersama-sama, bebas dan terbuka bersama masyarakat umum sebagaimana lajimnya dilakukan pada zaman ayahandanya. Bahkan pada setiap musim paceklik, beliau membuka dapur umum untuk menolong fuqoro dan masakin.
KH. Abbbas (sebagaimana orangtua dan kakeknya yang pejuang) hidup di empat zaman, beliau juga besama adiknya KH. Anas turut berjuang memanggul senjata dalam mempertahankan kedaulatan negara RI. Beliau bersama dengan adiknya memanggul senjata bersama para pejuang lainnya di tengah-tengah kancah peperangan pada 10 Nopember di Surabaya. Di samping itu, belia sebagai pemimpin Pesantren ia mengirimkan berapa orang santrinya ke Jakarta, Cianjur, Bekasi dan daerah-daerah lain dalam turut serta melawan penjajah sesudah penandatanganan persetujuan Linggarjati.
Sedangkan aktivitas dalam pergerakan nasional, KH. Abbas pernah dipercaya menjabat antara lain sebagai :

1.      Musytasyar PBNU,
2.      Ro’is Syuriah NU Cabang Cirebon
3.      Ketua Bagian Hukum Dagang Syariat Islam
4.      Turut mendirikan Putera PETA
5.      Anggota Sangi Kai (DPRD) dan Sangi In (DPR Pusat)
6.      Pimpinan Hisbullah dan Sabilillah
7.      Anggota KNIP wakil ulama Jawa Barat.
8.      Aktif di dalam gerakan-gerakan nasional lainnya
Dalam organisasi perjuangan umat Islam didirikan sabilillah sebagai reaksi spontan terhadap imperialis. Sabilillah merupakan barisan orang-orang tua yang cukup militan dan disegani. Dengan segala macam cara, mereka bergabung membentuk kekuatan yang tangguh dalam menghadapi pertempuran dengan penjajah. Sabilillah dipimpin langsung oleh KH. Abas dan KH. Anas dengan dibantu oleh beberapa sesepuh seperti KH. Murtadha, K H. Shaleh, KH. Mujahid, KH. A. Zahid, KH. Imam, KH. Zain, KH. Mustahdi Abas, KH. Mustami’ Abas, KH. Khawi, K. Busyol Karim dan lain-lain.
Organisasi perjuangan umat Islam pada revolusi fisik menampung kekuatan angkatan muda Islam dalam Hisbullah untuk melawan Belanda. Latihan-latihan dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh banyak diperoleh dalam Peta “Pembela Tanah Air”. Hisbullah dipimpin KH Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abas. KH. Abdullah Abas sekarang ini dianggap sebagai sesepuh pondok pesan-tren Buntet yang dijadikan tempat konsultasi dalam pengelolaan dan penyeleng-garaan pendidikan  di pondok pesantren Buntet. Adapun penyelenggaraan pendi-dikan yang ada di Pesantren Buntet, dikelola oleh sebuah badan yang bernama Lembaga Pendidikan Islam (LPI) dengan struktur organisasi sebagai berikut: 
Lembaga Pendidikan Islam (LPI) dipimpin oleh seorang ketua yang dipimpin yaitu KH. Abdul Hamid Anas yang membawahi seksi-seksi pendidikan pesantren, pendidikan madrasah, organisasi dan administrasi, kerohanian, kepemudaan, Ikatan Alumni Pondok Pesantren, Lurah pondok dan Ketua Asrama. Keberadaan LPI ini berfungsi menginte-grasikan dan mengokohkan kinerja lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan pondok pesantren Buntet.
KH. Abbas Abdul Jamil meninggal dunia pada Ahad, 1 Rabiul Awwal 1365 H./1946 M dalam usia 62 tahun dan dimakamkan di komplek Pesantren Buntet. Beliau meninggalkan dua orang istri (Nyi Hafidzoh dan Nyi Hj. Imanah) dan 5 (lima) orang putra yakni lima putra dari pernikahannya dengan Nyi Hafidzoh (1. KH. Mustahdi Abbas, 2. KH. Mustamid Abbas, 3. KH. Abdurrazak dan 4. Nyi Sumaryam) dan 2 (dua) orang anak dari pernikahannya dengan Nyi Hj. Imanah yaitu KH. Abdullah Abbas. Putra beliau yang termuda H. Nahduddin Abas sampai saat ini masih studi di London (Inggris) setelah menyelesaikan belajar di Saudi Arabia dengan dua orang cucu KH. Abas yaitu Ghozi Mujahid (putra KH. Mujahid) dan Jailani Imam (putra KH. Imam). Setelah beliau meninggal, kepimpinan Pesantren Buntet dilanjutkan oleh salah seorang putranya yaitu KH. Mustahdi Abas yang dibantu adiknya KH. Mustamid Abas.
KH. Mustahdi Abbas (1946-1975); KH. Mustamid Abbas (1976-1989) dan sekarang pondok pesantren Buntet dipimpin KH. Abdullah Abbas.
            b. Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan
Tidak diperoleh data akurat yang dapat dijadikan rujukan tentang ba-gaimana proses pendidikan yang berlangsung, sarana dan fasilitas apa yang dipergunakan dan siapa-siapa yang turut membantu dalam membina santrinya ketika pondok pesantren Buntet berlokasi di Desa Dawuan Sela; hal ini karena kepemimpinan mbah Muqayim lebih terfokus kepada bagaimana ia sebisa mungkin dapat mengamalkan ilmu keagamaannya kepada masyarakat terutama keluarganya sendiri walaupun keamanan dirinya dan keluarganya selalu dikejar-kejar tentara Belanda. Karena itu, data yang dihimpun melalui tulisan ini adalah data dan informasi tentang keadaan Buntet Pesantren di Desa Mertapada Kulon yaitu tepatnya ketika pondok pesantren dipimpin K. Muata’ad dan generasi penerusnya.
Data tertulis menunjukkan bahwa, Pondok Pesantren Buntet mulai ada perkembangan adalah pada periode kepemimpinan KH. Abdul Jamil (1842-1910) yaitu ketika pertamakali beliau memperbaiki sarana fasilitas yang telah dianggap rapuh, penyusunan jadwal pengajian, penambahan cara atau metode pengajaraan KK yaitu tidak hanya meng-gunakan metode tradisional seperti metode sorogan dan bandongan tetapi dikembangkan juga cara atau metode lain seperti mujadalah (diskusi) bahkan pada saat itu dikembangkan juga sistem klasikal (madrasi).
Perkembangan berikutnya, sistem madrasi atau sistem persekolahan diformalkan pada saat KH. Abbas Abdul Jamil memimpin Pondok Pesantren Buntet pada 1910-1946, yaitu dengan membuka lembaga pendidikan sekolah dalam bentuk Madrasah Wajib Belajar (MWB), setingkat Taman Kanan Kanak (TK) yang terdiri dari sifir I dan sifir II. Sebagai kelanjutan dari MWB, KH. Abbas Abdul Jamil juga mendirikan Madrasah Watha-niyah Ibtidaiyah (MWI) I setingkat SD. Pada tahun yang sama, KH. Abbas Abdul Jamil juga menerapkan spesialisasi bidang ilmu bagi kiyai maupun ustadz yang mengajar di pondok atau di madrasah yang ada di pesantren Buntet. Perubahan yang dilakukan KH. Abbas Abdul Jamil tidak hanya membenahi sarana dan fasilitas, santri yang tampak cerdas dan memiliki kelebihan juga memperoleh perhatian khusus yaitu diberikan biaya untuk melanjutkan ke Makkah atau Madinah.         
Pada tahun 1960-an, ketika KH. Mustahdi Abbas memimpin pesantren Buntet, dibuka MTs Putra (Muallimin) dan MTs Putri (Muallimat) sebagai kelanjutan dari MIW. Pada perkembangan berikutnya, MTs Putra dan Putri ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) Putra dan Putri yang masa belajarnya empat tahun (tapi ujian negaranya mengikuti MTs N yang masa belajarnya tiga tahun). Sebagai kelanjutan dari MTs/ PGA Putra dan Putri, KH. Mustahdi Abbad (kepemimpinan periode 1946-1975) sebagai pembina pesantren Buntet memprakarsai berdirinya Madrasah Aliyah (MA) Putra dan Putri pada 1968 yang kemudian pada 1971 MA Putra dan Putri ini dinegerikan menjadi Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). MAAIN seluruh Indonesia (termasuk MAAIN Buntet) berdasarkan SK Menag berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri atau MAN.
Dengan demikian, pesantren Buntet selama tiga dasawarsa (1946-1979) telah mengalami perubahan dan pembaharuan yang sangat pesat terutama dalam bidang pendidikan sekolah yakni sejak diprakarsai MWB kemudian MIW, dilanjutkan berdirinya MTs Muallimin dan muallimat dan terakhir MA yang kemudian dinegerikan menjadi MAN. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, kiyai dan para pembina pesantren Buntet selalu berupaya meningkatkan dan memikirkan bentuk dan jenis pendidikan yang sesuai dengan kemauan dan perkembangan jaman.
Perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi semakin pesat, sementara lembaga-lembaga pendidikan sekolah yang ada di pesantren Buntet dinilai selalu ketinggalan. Untuk menghadapi kenyataan ini, pengelola Pondok Pesantren Buntet selalu berupaya menyesuaikan diri yaitu dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hikmah atau pelajaran dari perkembangan jaman itu yang dianggap lebih baik untuk selanjutnya dipertimbangkan sebagai suatu model dan program lembaga dalam menyongsong masa depan.
Salah satu upaya yang dilakukan pengelola pesantren Buntet, agar semua aset dan kegiatan yang telah berlangsung tetap berjalan tetapi mampu mengikuti jaman adalah, kiyai beserta para pembina lainnya bersepakat untuk mendirikan suatu wadah ter-organisasi yang diharapkan akan mampu menjadi mediator antara pesantren dengan masyarakat ataupun dengan pemerintah. Wadah dimaksud adalah Yayasan Pendidikan Islam (YPI) yang didirikan pada 29 Juni 1992 dengan Akte Notaris no. 71.
YPI memiliki aset tanah dan bangunan yang ada di kompleks Buntet Pesantren yang telah disertifikat berjumlah 1,6 ha; jika digabungkan dengan tanah milik para kiyai yang ada di komplek Buntet pesantren, maka berjumlah kurang lebih 4 atau 5 ha. Melalui YPI, semua bentuk kegiatan kependidikan (sekolah maupun luar sekolah), kemasyarakatan maupun kepesantrenan dilindungi secara formal; karena semua bentuk program dan kegiatan yang ada, selalu berdasarkan perencanaan dan kesepakatan pengurus Yayasan. Di dalam Yayasan ini juga ditetapkan, semua kegiatan yang bersifat kependidikan diselenggarakan melalui Lembaga Pendidikan Islam (LPI). Dengan demikian, di pesantren Buntet terdapat dua badan penyelenggara pendidikan yaitu YPI dan LPI. Program-program YPI bersifat menyeluruh (universal), termasuk program-program LPI; sedangkan program-program LPI bersifat internal terutama masalah kependidikan yang ada di lingkungan pesantren Buntet.
Kepengurusan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Buntet Pesantren untuk Periode 1989 hingga sekarang adalah,
            A. Pelindung
1.      Bupati Cirebon
2.      Komando Korem 063 SGD Cirebon
3.      Ka Kapolwil Cirebon
4.      Wali kota Cirebon
B. Dewan Pembina
1.      Menhankam RI
2.      Mayjen TNI L. Banser, SH
3.     Mayjen TNI Achfas Mufti
C. Dewan Pembina
1.      KH. Abdullah Abbas
2.      KH. Nahduddin Royandi Annas
3.      KH. Djunaedi Annas
4.      KH. Abdul Jamil
5.      KH. MA. Fuad Hasyim
6.      KH. Abdul Hamid Annas
7.      Prof. Dr. Achmad Djaeni S
8.      Dr. Ir. Badruddin Mahdub
9.      KH. Abdullah Syifa
D. Badan Pengurus Harian
1. Ketua                            : KH. H. Abdul Aziz Achyadi
2. Wakil Ketua I              : KH. A. Abas Shobih Mustahdi
3. Wakil Ketua II                        : Drs. KH. Fahmi Royandi
4. Wakil Ketua III           : Drs. H. Anis mansur
5. Sekretaris                     : Moh. Anis Wahdi Mustahdi
6. Wakil Sekretaris I       : H. Sholeh Suhaedi
7. Wakil Sekretaris II      : Ubaidillah Arif, BA
8. Bendahara                   : Abdullah Ajaib, BA
9. Wakil Bendahara I     : H. Maman Amin
10.Wkl. Bendahara II     : Drs. Habil Ghoman
11. Wkl. Bendahara III  : KH. Ahmad Athoillah
E. Badan-badan Lain
1.      Himpunan Warga Muda Buntet Pesantren (HWMPB)
Ketua, Drs. KH. Hasanuddin Kriyani
2.      Ikatan Pelajar Pesantren Buntet (IPPB)
Ketua, Moh. Abbas Billy Yahsri
3. Keadaan Kiyai dan Santri
a. Kiyai dan Asaatidz
Kiyai yang ada di komplek Buntet pesantren dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu, kiyai pendatang dan kiyai keturunan mbah Muqayim. Kiyai pendatang adalah mereka yang bukan penduduk atau bukan keturunan mbah Muqayim, melainkan santri atau orang lain yang karena memiliki keahlian tertentu terutama berkemampuan dalam menguasai dan memahami KK sehingga dijadikan menantu kiyai. Sedangkan kiyai keturunan mbah Muqayim adalah mereka yang secara langsung atau tidak langsung, ada garis keturunan dengan mbah Muqayim baik yang ada di dalam mau pun yang ada di luar komplek  pondok pesantren Buntet seperti antara lain kiyai yang ada di pondok pesantren Gedongan, pesantren Munjul. Pengelompokkan ini didasarkan atas pertimbangan faktor psikologis dan sosiologis yang dilakukannya dalam upaya memajukan pendidikan di pondok pesantren Buntet.
Data menunjukkan, secara keseluruhan, kiyai yang ada di komplek Buntet Pesantren adalah berjumlah 50 orang dengan latar belakang pendidikan dan keahlian sebagai berikut: empat orang pengajar KK takhasus (nahw, sharaf, mantiq dan balaghah), empat orang pengajar KK tafsir dan ‘ulum al-tafsir, tujuh kiyai pengajar KK ilmu hikam (tasawwuf) selebihnya pengajar KK dalam bidang fiqh. Kiyai yang memiliki santri, dalam membina santrinya dibantu atau memiliki beberapa ustadz sebagai qayyim (assisten). Di pondok pesantren Buntet terdapat 37 asrama atau pondok, 38,54 % pondok yang ada di Kabupaten Cirebon terpusat di Pesantren Buntet. Dari ke-37 asrama tersebut, yang memiliki 100 orang santri lebih ada enam asrama dan 31 asrama yang memiliki kapasitas di bawah 100 orang santri. Untuk lebih jelasnya keberadaan Pondok Pesantren di Buntet dapat dilihat pada tabel berikut ini:
TABEL 1
KEADAAN PONDOK PESANTREN DI BUNTET
No
Nama Doktren
Nama Pengasuh
Jml Kmr
L
P
Jml
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
Al-Himah
Al-Inaroh
Al-Kautsar
Falahiya Futuhiyah
Al-Inayah
Al-Ma’mun
Darul Hijroh
Al-Falah
Asyakiroh
Al-Firdaus
Al-Mustahdiyah
Al-Ishlah
NadwatulUmmah
Al-Istiqomah
Subaniyatul Islami
Habbil Ilmi
Al-Anwar
An-Noor
Al-Khiyaroh
Al-Hikmah
Daru Amanah
Al-Mutaba
Darus Salam
Al-Hidayah
Al-Huda
Nadwatul Banin
Al-Murtado
Al-Khoir
Al-Hikmah
Darul Hijroh
Al-Muafi
Riyadus Sholihin
Nurushobah
Azzanidi
Assalam
Al-Tobari
Al-Amir
K. Majdudin BK
K. Adib Rafiuddin
K.H. Nu’man Zen
K. Abd Hamis A.
K. H. Abd. Syifa
K. Yusuf Ma’mun
K. Fahim Royandi
K. Abd. Basith Z.
K. Hasanuddin K.
K. Fachruddin BK
K. Abas Shobieh
K.Zuhdi Makhfud
K. Fuad Hasyim
K. Abdullah Abas
K.Baedlowi Yusuf
K.H. Abdul Jamil
Ust. H Jachus
Turmudzi Noor
M. Faridz M.Z.
Salman al-Farisi
Ust.H. Imadudin
Ust. Cecep N.
Ust. Ahmad Rifqi
Ust. Jaelani Imam
K.H. Ahmad Ja’far
H. Anis Mansur.
Ust. Fahmi FM.
K.H. Ali Maufur
K. A Mursyain
K.H.A. Tijani
Ust. Matin
Ust. Jawahir Juha
Ust. Rofi’I
Hj. Qurraotul Ain
K.H. Abdussalam
Thabroni Muta’ad
K.H. Amiruddin
10
19
1
10
2
7
12
6
12
20
35
4
20
10
14
1
18
3
13
17
4
12
6
2
5
17
2
3
10
15
4
3
4
2
2
1
5
40
90
9
39
5
30
33
29
60
60
67
10
150
-
26
5
19
13
30
23
13
23
15
6
2
74
6
16
27
30
11
6
11
3
2
14
39
-
60
-
30
-
18
28
17
46
45
43
3
30
43
36
-
49
4
30
33
12
44
15
2
3
70
2
4
10
41
11
4
17
11
4
-
2
40
150
9
69
5
48
61
46
106
105
110
13
180
43
62
5
68
17
60
56
25
67
30
8
5
144
8
20
37
71
22
10
28
14
6
14
41
Hasil wawancara dengan KH. A. Shobih diperoleh keterangan bahwa, “Ketentuan yang telah disepakati bersama antar kiyai pada 1982 adalah, setiap asrama seyogianya dibantu lima orang ustadz baik dari lingkungan sendiri ataupun mendatangkan dari asrama lain” (Wawancara, 14-02-1999). Karena itu, ustadz yang ada di komplek Buntet Pesantren berjumlah 170 orang ustadz. Tugas ustadz, selain mengajarkan dasar-dasar al-quran dan KK dasar seperti kitab sufinah al-najah, sulam al-taufiq, tijan al-dharara; khairun al-nisa, tajwid, ‘awamil atau al-jurumiyah, juga membimbing santri dalam berbagai bentuk keterampilan seperti belajar khithabah (berpidato), berorganisasi atau kepemimpinan.
Dengan demikian, jumlah kiyai dan asatidz Pesantren Buntet adalah 217 orang. Untuk lebih jelas mengetahui jumlah dan potensi kiyai atau asatidz serta peran yang dilakukannya dalam upaya memajukan pesantren Buntet, dapat dilihat pada tabel berikut,

Tabel 2

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN SPESIALISASI
 ILMU KIYAI BUNTET
No

N  a  m  a

Usia

Lulusan dari

Spesialisasi

01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43.
44.
45.
46.
47.
47.
49.
50.
51.
KH Abdullah Abas
KH Nahduddin Abas
KH Abdullah Jamil
KH MA Fuad Hasyim
KH Abd Hamid Anas
Prof Dr Achmad Djaeni
Dr Ir Badruddin M
KH Abdullah Syifa
Drs H Abd Aziz Ahyadi
KH A Abas Shobih M
Drs H Anis Mansur
Moh Anis Wahdi M
H Sholeh Suaedi
Ubaidillah Arif, BA
Abdullah Ajaib, BA
H Hamam Amin
Drs Habil Ghoman
KH Ahmad Athoillah
Drs KH Fahim Khowi
KH Imam Mujahid
KH Hasanudin Kriyani
KH Nuqman Zaen
Drs KH Adib Rafiuddin
KH Abdul Bashit
Drs KH Luthfi Hisyam
KH Ali Maufur
KH Badlowi Yusuf
KH Faqih Kriyani
KH Cecep Nidzomudin
Drs Yusuf Ma’mun
KH Thobroni
KH Zuhdi
KH Najmuddin
KH Fachruddin M
KH Hasanuddin Busrol
KH Salim Efendi
KH Agus Salim
Ny. Hj Sukaenah Chowi
Ny Hj Khothimah N
Ny Hj Ro’fah Fuad Zen
Ny Bunayah
Ny Hj Hannah
KH Abdullah Achyadi
KH Ahmad Syatori
KH. Hasyim
KH. Ahmad Tijani
KH. Abu Nashor
KH Abdullah Syifa
KH. Moh. Jirjis
KH. Amir Abkari
68
65
58
57
52
55
52
67
55
44
38
35
35
36
48
56
30
53
48
52
54
57
34
35
36
48
56
51
31
50
46
47
52
60
57
50
72
  70
49
46
48
49
PP Lirboyo, Jatim
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
PP Benda, Cirebon
PP Lasem, Jateng
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
PP Lirboyo, Jatim
PP Buntet, Cirebon
Darul Ulum, Mkh
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
Al-Azhar, Mesir
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
PP Lirboyo, Jatim
PP Buntet, Cirebon
PP Lirboyo, Jatim
PP Krapyak, Yogya
PP Lirboyo, Jatim
PP Krapyak, Yogya
PP Lirboyo, Jatim
PP Sarang, Smg
PP Sarang, Smg
PP Gedongan, Crb
PP Sarang, Smg.
PP Kediri, Jatim
PP Krapyak
PP Lirboyo, Jatim
PP Buntet, Cirebon
PP Sarang, Smg
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
PP Lirboyo, Jatim
PP Lirboyo, Jatim
PP Buntet, Cirebon
PP Pemalang
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
PP Buntet, Cirebon
Ilmu Hikam
Di London
Fiqh
Tafsir
Fiqh, tafsir
Di Jakarta
Di Jakarta
Tafsir
--
Al-Quran
Fiqh
Fiqh
Fiqh
Fiqh
Fiqh
Fiqh
Fiqh
Fiqh
Thariqah
Fiqh
Fiqh
Fiqh
Fiqh
‘Ilm Nahw
Fiqh
Hadits
Tasawwuf
Fiqh
Fiqh
‘Ilm Nahw
‘Ilm Nahw
Fiqh
‘Ilm Nahw
Thariqah
‘Ilm Hikmah
Thariqah
Tasawwuf
Al-Quran
Al-Quran
Al-Quran
Al-Quran
Al-Quran
Sumber Data: PP Buntet, 1998
Data di atas jika diperhatikan dari segi usia, maka dari 51 orang kiyai yang ada di pondok pesantren Buntet sebagian besar (92 %) atau 43 orang adalah “kiyai tua” yang usianya di atas 40 tahun dan hanya sembilan orang (8 %) saja yang termasuk “kiyai muda” yang usianya di bawah 40 tahun. Ini menunjukkan bahwa, Pesantren Buntet dibimbing dan dibina oleh para kiyai atau pembina yang telah memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalaman sesuai dengan bidang pengetahuannya.
Jika dilihat dari latar belakang pendidikan, sebagain besar (25 orang) adalah alumnus Pesantren Buntet atau belajar pada orang tua/keluarganya baik di Pondok Pesantren Gedongan dan Pondok Pesantren Benda yang kemudian melanjutkan ke Universitas Darul Ulum (Arab), ke Universitas Al-Azhar, ke London atau ke Perancis; delapan orang Kiyai alumnus Pesantren di Sarang, Pesantren Lasem, Pondok Pesantren Krapyak (Yogyakarta) dan sembilan orang kiyai alumnus Pondok Pesantren Lirboyo dan Pondok Pesantren Kediri.
Kenyataan di atas mencerminkan bahwa, pembinaan yang dilakukan para kiyai di Pondok Pesantren Buntet bersifat turun temurun atau “alih generasi” dalam upaya menjaga dan melanjutkan perjuangan para orang tuanya. Pernyataan ini dapat dilihat dari sistem kepemimpinan di Pondok Pesantren Buntet yang mirip seperti sistem kerajaan sebagaimana gambar di bawah ini,

GAMBAR 3

SISTEM KEPEMIMPINAN DI PESANTREN BUNTET
          I.  Ny. Ratu St. Aisyah   +   K. Muta’ad   +   II.  Ny. St. Saodah
                                           (Periode II (1785-1842)
(1) Ny. Maemunah             (2) KH. Abdul Jamil   (3) K. Tarmidzi
                                                       Periode III (1842-1910)
    I. Ny. Hj. Koriah          +    II. Ny. Hj.  Sa’diyah
(1)   KH. Abbas Abd Jamil
 (Periode IV, 1910-1946)                                                                               (1) Ny. Hj. Syakiroh
(2) KH. Annas Abd. Jamil                           (2) Ny. Hj. Hamdah
(3) KH. Akyas Abd. Jamil                            (3) KH. A. Zahid
(4) KH. A. Chowas Abd. Jamil                               (4) Ny. Hj. Sri
(5) Ny. Hj. Mu’minah                                              (5) Ny. Hj. Chalimah
(6) Ny. Hj. Zamrut                                       (6) Ny. Hj. Nadroh
I. Ny. Hj. Hafidzoh      +       II. Ny. Hj. Imamah
(1) KH. Mustahdi Abbas (Periode V, 1946-1975)       
(2) KH. Mustamid Abbas (Periode VI, 1975-1989)    
(3) KH. Abdurrazak Abbas (1) KH. Abdullah Abbas
(Periode VII,1989-
(4) Ny. Hj. Maryam              (2) KH. Nahduddin Abbas
Gambar di atas menggambarkan bahwa, sistem kepemimpinan yang berlangsung di Pondok Pesantren Buntet adalah sistem “alih generasi”. Dimaksud bahwa sistem kepemimpinan yang berlangsung di Pondok Pesantren Buntet mirip seperti sistem kerajaan, dapat diperhatikan dari cara “alih generasi” yang selalu turun temurun dari keturunan istri pertama. Kecuali pada Periode VII (1989 – sekarang) yang agak berbeda yaitu kepemimpinan Pesantren Buntet dipimpin KH. Abdullah Abbas padahal beliau adalah keturunan dari istri kedua dari KH. Abbas Abdul Jamil.
Sistem kepemimpinan yang berlangsung di Pondok Pesantren Buntet seperti sistem kerajaan, adalah wajar jika dipelajari dari terbentuknya masyarakat Buntet. Masyarakat Buntet Pesantren adalah keturunan langsung dari Keraton Cirebon yaitu hasil dari perkawinan antara K. Muta’ad (K. Raden Muta’ad) dengan Ny. St. Aisyah (Ratu St. Aisyah), di mana K. Muta’ad dan St. Aisyah adalah keturunan dari Kesultanan Cirebon. Karena itu sangat wajar jika sistem Kesultanan (kerajaan) Cirebon terjadi juga pada sistem kepemimpinan di Pondok Pesantren Buntet.
Perlu dikemukakan bahwa, kepemimpinan di pondok pesantren Buntet pada masa K. Muta’ad merupakan Periode II, karena itu merupakan kelanjutan dari kepemimpinan pada Periode I dipimpin mbah Muqayyim yang berlangsung dari 1758-1782. Tapi bisa juga kepemimpinan K. Muta’ad merupakan Periode I, jika dipelajari dari permulaan sistem kepemimpinan di pondok pesantren Buntet sebab kepemimpinan mbah Muqayyim (Periode I) berlangsung di Dawuan Sela.  
   b. Keadaan Santri
            Santri Pesantren Buntet adalah, para pelajar dan mahasiswa yang tinggal di asrama besar ataupun di rumah-rumah kiyai yang ada di komplek Buntet Pesantren. Karena itu, pelajar atau mahasiswa yang tidak mondok di komplek “Buntet Pesantren” tidak termasuk santri pondok pesantren Buntet. Pada saat penelitian ini dilakukan, jumlah santri Pesantren Buntet adalah 1.496 orang santri terdiri dari 908 orang santri pria dan 588 orang santri wanita. Sebagian besar adalah para pelajar dan mahasiswa AKPER yang mesantren di asrama atau rumah kiyai.
            Kaitannya dengan keadaan santri yang sekarang lebih bayak tinggal di rumah kiyai, Drs. Chambali (Dosen STAIN Cirebon) yang pernah mesantren di pondok pesantren Buntet mengemukakan,
Maraknya santri yang tinggal di rumah-rumah kiyai terjadi pada saat menjelang Pemilu 1982 dan berlangsung hingga sekarang. Santri (pondok pesantren) Buntet sebelum Pemilu adalah santri (yang tinggal di) asrama. Saat itu pengajian KK berlangsung di Masjid Jami’ dengan jadwal pengajian ditentukan oleh pengurus pondok. KH. Mustahdi yang dipercaya sebagai kiyai sepuh, menentukan kiyai yang akan menyampaikan KK di masjid jami’ disesuaikan disiplin ilmunya dan para kiyai yang ditunjuknya pun mentaati perintah kiyai sepuhnya itu. Contohnya KH. Fuad Hasyim, dari dulu hingga sekarang menyampaikan KK yang sama (Kitab Tafsir al-Jalaen) kecuali bulan ramadlan beliau mengajarkan beberapa KK. Tapi setelah Pemilu 1982, santri Buntet terpisah-pisah sebagian ada yang tinggal di rumah/asrama kiyai yang aktif di Golkar sebagian yang lain tinggal di rumah atau asrama kiyai yang aktif di PPP. Karena itu, mereka belajar KK sesuai dengan jadwal yang ada di asrama kiyainya dan fungsi masjid jami’ pun kini hanya sebagai tempat shalat fardlu dan tidak lagi sebagai pusat pengajian KK seperti dulu (Wawancara, 24 Januari 1999).
Pernyataan tersebut di atas, menurut KH. A. Shobih (putra KH. Mustahdi yang pernah belajar di Makkah selama beberapa tahun ini), tidak seluruhnya benar. Menurutnya,
Berpindahnya para santri dari asrama besar ke rumah-rumah kiyai, salah satunya adalah kapasitas dan fasilitas yang dimiliki asrama besar hanya mampu menampung santri di bawah 1000 orang, padahal masyarakat yang ingin mesantrenkan anaknya ke (pondok pesantren) Buntet setiap tahun jumlahnya meningkat. Tentang Masjid Jami’ yang tidak lagi berfungsi sebagai pusat pengajian KK, sebenarnya telah diusahakan untuk mengembalikan keadaan seperti dulu tapi suasananya sudah tidak memungkinkan lagi. Pernah juga diusahakan dalam bentuk lain yaitu, kiyai yang memiliki santri dalam mengajarkan KKnya bekerja sama dengan kiyai lain sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing, sehingga santri dapat mengikuti pengajian KK dari kiyai lain (Wawancara, 14 Pebruari 1999).   
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa, santri pondok pesantren Buntet adalah mereka yang tinggal di rumah-rumah kiyai; mereka belajar dan memperoleh pengawasan kiyai. Kenyataan ini berbeda dengan keadaan santri di beberapa pondok pesantren tradisional lain yang biasanya tinggal secara mandiri di pondok pesantren. 
Santri pondok pesantren Buntet, menurut Drs. H. Anis Mansur, jika dilihat dari statusnya, maka dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu 1) santri muqim (yang tinggal di asrama), 2) santri rumah dan 3) santri dalem.
Santri Muqim yaitu, mereka yang tinggal di asrama besar (asbes) yang ada di komplek Buntet pesantren. Untuk tinggal di asrama besar, mereka wajib mentaati semua paraturan yang dibuat oleh pimpinan asrama; mereka harus mengikuti semua kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan asrama; mereka diwajibkan membayar uang administrasi (bagi yang baru masuk) dan uang asrama, uang iuran madrasah yang dimasukinya, iuran asrama, iuran Kopontren, masak dan mencuci sendiri di dapur umum (yang ada di lingkungan asramanya). Jadi, santri muqim adalah mereka yang hidup secara mandiri bersama-sama dengan sesamanya dengan memperoleh bimbingan dari santri seniornya.
Santri Rumah ialah mereka yang tinggal di rumah-rumah kiyai. Mereka harus mengikuti semua kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan rumah kiyai; mereka dikenakan uang administrasi (bagi santri baru) dan “uang bulanan” yang besarnya sangat bervariasi dengan rincian adalah uang asrama, uang makan, uang iuran madrasah/sekolah dan uang harian bahkan uang transport. Kaitannya dengan uang madrasah atau sekolah, uang harian dan uang transport ini terlebih dahulu dikumpulkan kiyai dan kelak ketika akan pergunakan, maka uang tersebut akan diberikannya. Dengan demikian, karena santri rumah membayar uang makan sehingga mereka tidak memasak sendiri melainkan dimasakkan oleh pemasak (orang lain atau santri yang tidak mampu) yang secara sengaja bertugas untuk memasak.
Santri Dalem ialah, mereka (anak yatim-piyatu atau anak terlantar) yang orang tuanya tidak mampu membiayai anak-anaknya untuk belajar tetapi berkeinginan kuat agar anak-anaknya dapat memasuki lembaga pendi-dikan madrasah ataupun mesantren. Santri dalem, biasanya tinggal atau turut serta dengan/di rumah kiyai (sebagai santri rumah). Karena mereka tidak membayar apapun, maka ia diberi pekerjaan seperti memasak untuk santri lain termasuk dia; menjadi tukang kebun, memelihara ternak atau hewan atau menjaga toko milik kiyai/keluarganya. Di lingkungan asramanya, mereka diperlakukan dan diperhatikan sama sebagaimana santri lainnya, hanya saja mereka tidak dimintai iuran asrama ataupun iuran madrasah (Wawancara, 19 Januari 1999)  
            Jika dilihat dari tempat tinggalnya, masih menurut Drs. H. Anis Mansur, sebagian besar santri di Pesantren Buntet adalah santri muqim yaitu mereka yang tinggal (untuk jangka waktu tertentu) di asrama besar ataupun di rumah-rumah kiyai. Dari 1.496 orang santri, 124 orang di antaranya adalah santri kalong (berasal dari daerah tetangga Buntet pesantren) yang mengikuti pengajian al-quran atau KK dasar, selebihnya adalah mereka yang datang dari berbagai daerah, sebagian besar berasal dari Jawa Barat khususnya wilayah III Cirebon (Kota/Kabupaten Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu), selebihnya ada yang datang dari daerah Priyangan Timur yaitu Ciamis, Tasikmalaya dan Sumedang, dari Jawa Tengah (Pekalongan, Tegal, Brebes dan Purwokerto), DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Utara bahkan ada empat orang santri yang berasal dari Timor Timur. Kaitannya dengan latar belakang daerah asal santri dapat dilihat pada tabel di bawah ini,
TABEL 3
LATAR BELAKANG DAERAH SANTRI PESANTREN BUNTET
No.
Asal Daerah
Pria
Wanita
1.
Tegal
93
59
2.
Indramayu
116
120
3.
Subang
41
16
4.
Jakarta
159
92
5.
Bekasi
42
7
6.
Tangerang
30
8
7.
Cirebon
130
90
8.
Brebes
105
86
9.
Karawang
18
15
10.
Serang
4
-
11.
Pandeglang
1
-
12.
Banten
4
4
13.
Bandung
10
1
14.
Garut
1
-
15.
Mojokerto
1
-
16.
Majalengka
11
12
17.
Lamongan
1
-
18.
Baturaja
1
-
19.
Gresik
1
-
20.
Kediri
1
-
21.
Batang
2
2
22.
Tasikmalaya
2
1
23.
Kuningan
21
28
24.
Pemalang
17
5
25.
Demak
1
-
26.
Semarang
-
1
27.
Purwokerto
19
14
28.
Purworedjo
19
-
29.
Ciamis
12
3
30.
Purwakarta
3
2
31.
Pekalongan
9
1
32.
Bogor
9
9
33.
Magelang
2
-
34.
Menado
1
1
35.
Wonosobo
5
-
36.
Lampung
10
5
37.
Jepara
1
-
38.
Ujungpandang
1
-
39.
Tim-tim
3
1
40.
Sumedang
1
-
41.
Palembang
6
1
42.
Cianjur
1
-
43.
Cilacap
1
-
44.
Mataram / NTB
-
1
45.
Jambi
-
1
46.
NTT
-
2
47.
Purbalingga
1
-
48.
Sawahlunto
1
-
49.
Kendal
2
-
50.
Medan
1
-
51.
Padang
1
-
Jumlah
906
588
4. Hubungan Kiyai dan Santri
Lembaga pendidikan yang ada di Pesantren Buntet hingga 1999 ini telah berkembang pesat yaitu, tidak hanya lembaga pendidikan yang bersifat keagamaan melainkan telah ada juga jenis pendidikan kejuruan dan pendidikan umum. Akibat dari perkembangan ini, ditemukan suatu kenyataan bahwa kiyai dan santri memiliki karakter ganda yaitu “santri-murid” dan “kiyai-guru”. Dimaksud dengan “santri-murid” adalah, santri yang tinggal di rumah/asrama kiyai tetapi ia juga murid kiyainya ketika ia di madrasah di mana ia belajar; sebaliknya yang dimaksud dengan “kiyai-guru” adalah seorang kiyai yang menjadi guru (tidak tetap atau PNS) di suatu madrasah, bagi santri yang tingal di asramanya ia adalah kiyainya, tapi ia juga gurunya di  madrasah.
Kenyataan di atas sangat memengaruhi dan bahkan berdampak buruk terhadap pergaulan atau hubungan “kiyai-santri” di asrama dan “guru-murid” di madrasah. Demikian juga dalan menjalin hubungan silang “kiyai-murid” di madrasah atau “guru-santri” di asrama. Dampak negatif yang akan terjadi adalah a). Demoralisasi dan b) Sulit dicapai obyektifitas penilaian prestasi belajar.
a.      Demoralisasi
Di lingkungan pondok pesantren tradisional, kiyai dan keluarganya biasanya dipadang sebagai orang tua kedua yang harus dihormati setelah kedua orang tuanya di rumah; Kedua orang tuanya yang di rumah dihormati adalah, karena merekalah yang menjaganya, merawat kesehatannya, membesarkan dan membiayai pendidikannya hingga ke jenjang pendidikan tertinggi. Sedangkan kiyai (dan keluarganya) di pondok pesantren dihormati adalah, karena ialah yang mengajarkan kebaikan dan yang selalu mengingatkan agar belajar dengan baik, beribadah dengan tekun dan berperilaku yang baik. Bahkan lebih dari itu, bagi santri tertentu ada yang menghormati kiyai karena nasihat dan bimbingannyalah sehingga ia terselamatkan dari kebodohan dan kesengsaraan di dunia maupun akhirat.
Suasana dan kenyataan tersebut dapat diperhatikan pada beberapa asrama yang kiyainya secara full time memberikan nasihat dan perhatian khusus kepada santrinya terutama dalam pergaulan (inilah yang dimaksud bahwa, hubungan kiyai-santri berlangsung selama 24 jam, baik posisi kiyai sebagai pendidik asrama, pengajar di madrasah maupun sebagai wakil kedua orang tuanya di pondok); tapi bagi kiyai yang tidak memperhatikan secara khusus kepada santrinya (karena kesibukan organisasi maupun kesibukan lainnya), maka kemungkinan ada santrinya yang ketika menjadi santri yunior ia selalu mentaati dan menghormati kiyainya tetapi setelah merasa menjadi santri senior ia (mengalami perubahan fisik dan mental akibat dari pergaulan di madrasah ataupun di rumah) mulai berani melanggar tata tertib asramanya hingga melakukan perkataan ataupun perbuatan yang bersifat “memalukan”.
Demoralisasi yang tampak pada asrama yang kurang memperoleh perhatian khusus dari kiyainya adalah, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan baik yang selalu diperintahkan kiyainya. Kebiasaan-kebiasaan baik itu antara lain shalat fardlu lima waktu dilaksanakan dengan tepat waktu dan berjamaah, tadarrus al-quran setelah shalat berjamaah, shaum sunah Senin dan Kamis, memakai kain sarung dan peci hitam (santri putra) dan berjilbab (santri putri) di mana pun mereka berada, berkata jujur dan saling menghargai sesama santri.
b.      Sulit Dicapai Obyektivitas
Dampak buruk lain yang ditimbulkan dari karakter ganda adalah, sulit dicapainya penilaian hasil prestasi belajar yang obyektiv bagi “kiyai-guru” yang mengajar di suatu lembaga pendidikan di mana beberapa murid di antaranya adalah santrinya di asrama. Dengan kalimat lain, secara psikologis kiyai yang menjadi guru pada suatu madrasah, tidak akan obyektiv memberi nilai prestasi belajar dengan “apa adanya” kepada muridnya yang adalah santrinya sendiri. Padahal, sebagian dari murid MTs NU, MA NU dan MAN adalah santri yang mesantren di rumah-rumah kiyai atau sebagian dari guru yang mengajar di MTs NU atau MA NU adalah para kiyai yang rumahnya ditempati para muridnya.
B. Kegiatan Kependidikan
Kegiatan pendidikan yang berlangsung di komplek Pondok Pesantren Buntet dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk yaitu, bentuk pendidikan tradisional yang diselenggarakan dalam bentuk pendidikan luar sekolah (PLS) dan bentuk pendidikan modern yang diselenggaraan dalam bentuk pendidikan persekolahan. Bentuk dan sistem PLS, diselenggarakan oleh YPI, sedangkan bentuk dan sistem pendidikan persekolahan, diselenggarakan oleh LPI melalui beberapa lembaga pendidikan sekolah yang ada. Kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di Buntet Pesantren, seyogyanya merupakan tanggung jawab YPI. Namun dalam kenyataannya, antara LPI dengan YPI memiliki peran dan fungsi serta struktur masing-masing.
Di bawah ini adalah lembaga-lembaga kependidikan yang dikoordinasi LPI yang struktur dan fungsionalnya ditentukan atas kebijakannya organisasi masyarakat NU. Untuk lebih jelasnya tentang  struktur kependidikan tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut,


GAMBAR 4

STRUKTUR PENDIDIKANDI PESANTREN BUNTET

MAJLIS SYURIYAH

SESEPUH
 

P L E N O

 
 


 


 






ORGANISASI

PERSONALIA
KEUANGAN
MATERIAL
PENDIDIKAN/
PENGAJARAN
TATA USAHA
Raudhatul Athfal

Madrasah Ibtidaiyah

Mad. Tsanawiyah
Mad. Aliyah
Kursus/
Kejuruan
Perguruan Tingggi Akademi
Sumber: Data Yayasan Pendidikan Islam Buntet, 1998
1. Kegiatan Pendidikan Luar Sekolah
            Kegiatan pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan di pondok pesantren Buntet, berlangsung melalui dua bentuk yaitu pertama pengajian dasar-dasar al-quran dan KK dan kedua latihan keterampilan keagamaan dan kemasyarakatan.
a.      Pengajian al-Quran dan Kitab Kuning
Kitab kuning (KK) sebagai kitab klasik Islam, merupakan ciri khas dan hand books bagi para santri di pondok pesantren tradisional. Kegiatan pengajian al-quran dan KK di Pondok Pesantren Buntet berlangsung di dua tempat yaitu di masjid jami dan di asrama.
Asrama yang ada di Pondok Pesantren Buntet, terdiri dari dua bentuk yaitu “asrama besar” (pondok yang ada di luar rumah-rumah kiyai) dan “asrama kecil” yaitu pondok yang ada di rumah-rumah kiyai. Dari kedua bentuk asrama ini, Pondok Pesantren Buntet memiliki 275 buah kamar terdiri dari 155 buah kamar yang ada di asbes dengan kondisi bangunan semi permanen disertai sarana MCK, dan 120 buah kamar yang ada di rumah-rumah kiyai dengan kondisi bangunan sangat bervariasi bergantung pada tingkat kepedulian kiyai pembina dalam memperhatikan kondisi bangunan.
Dalam pelaksanaan pengajian al-quran dan KK, santri yang tinggal di asrama besar dapat mengikuti pengajian yang di rumah-rumah kiyai; tapi bagi santri yang tinggal di rumah-rumah kiyai mereka belajar al-quran dan KKnya disesuaikan dengan jadwal yang ditetapkan kiyainya masing-masing. Kaitan dengan kegiatan pengajian ini, penulis merasa kesulitan untuk mencantumkan jadwal pengajian yang berlaku di Pondok Pesantren Buntet. Pengajian yang berlangsung di asrama, jadwalnya sangat bervariasi sebanyak rumah-rumah kiyai yang menyelenggarakan pengajian. Di bawah ini merupakan sebagian dari beberapa nama KK yang diajarkan kiyai baik di masjid jami’ maupun di rumah-rumah kiyai.

Tabel 4

NAMA-NAMA KITAB YANG DISAMPAIKAN
 DI PESANTREN BUNTET
No
Jenis Kitab
            Nama Kitab
Tempat
Ketera-ngan
01


02.


03.





04.




05.



06.





07.

al Quran


Tafsir/
ilmu Tafsir


Hadits/
Ilmu Hadits



Fiqh/
Ushul Fiqh



‘Ilm Tawhid



Ilmu Lughah





‘Ilm Tashawuf
Juz ‘Amma, ‘Ilm Tajdwid, Takhassus (Qiraah Sab’ah)


Tafsir al-Jalalen, Tafsir Ayat al-Ah- kam, Tafsir Yasin, Tafsir al-Maraghi

Bulugh al-Marram, Riyad al-Shalihin, Tankih al Qaul, Abain al-Nawawi, Al-Targhib al-Tartib, Minhaj al-Shalihin, Minhaj al-Muhit


Sulam al-Tawfiq,
Sufinah al-Najah, Mabadi’ al-Awwalin, Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Fath Al-Wahab, Kifayah al-Akhyar, Minhaj al-Thalibin.

Tijan al-Dharari,
Sya’b al-Iman
Aqidah al-Awwam, Husn al-Hamidiyah, Jawahir al-Kalamiyah.

Nahw al-Wadhih,
 Al-‘Awamil, al-Jur-miyah, al-‘Amrithi, Alfiyah Ibn Malik, ‘Ilm al-Sharaf, ‘Ilm Mantiq, Balaghah.

Ta’lim al-Muta’lim,
Muraqib al-Ubudiyah, Tanwir al-Qulub, Minhaj al-Abidin.
Khaer al-Nisa,
Akhlaq al-Banin,
Di semua rumah/asrama kiyai

Di semua rumah/asrama kiyai



Di semua rumah/asrama kiyai



Di semua rumah/asrama kiyai


Di semua rumah/asrama kiyai


Di semua rumah/asrama kiyai



Di semua rumah/asrama kiyai
qiraah sab’ah, di Rumah
KH Shobih
Sumber: Data PP Buntet tahun 1998
Pengajian dasar-dasar al-quran dan KK tingkat pemula (elementary) seperti kitab sufinah al-najah, sulam al-taufiq, tijan al-dharari, aqidah al-awwam, ‘awamil dan jurmiyah, akhlaq al-banin, khaer al-nisa. “Kitab-kitab kecil” ini pada umumnya disampaikan oleh asisten kiyai atau ustadz dengan menggunakan metode sorogan dilaksanakan setelah shalat fardlu shubuh, ‘ashar dan maghrib dengan pesertanya adalah para santri santri baru yakni para pelajar MI dan MTs. Sedangkan KK tingkat lanjutan seperti kitab ta’lim al-muta’lim, tafsir al-jalalen, tafsir yasin, bulugh al-marram, riyad al-shalihin, arba’in nawawi, fath al-qarib, fath al-mu’in, ‘amrithi, al-fiah ibn malik disampaikan langsung oleh kiyai dalam bentuk halaqah (kiyai dikelilingi sejumlah santri dengan membawa KK yang sama) dengan menggunakan metode bandongan dilaksanakan setelah shalat fardlu maghrib, ‘Isya dan shubuh dengan pesertanya adalah para pelajar Aliyah.
Kitab Kuning (KK) merupakan bekal bagi santri kelak setelah mereka kembali ke daerah masing-masing, namun yang paling penting adalah pesan dan kesan ketika mereka memperoleh pengetahuan dan amanat yang disampaikan para kiyai ketika pengajian KK berlangsung. Pada saat itu, kiyai biasanya memberikan nasihat kepada santri agar dalam menghadapi suatu persoalan, hendaknya dihadapi dengan penuh arif dan bijaksana serta jangan menyalahkan orang; tetapi berupaya untuk mencarikan jalan yang terbaik untuk mendamaikan sesama manusia. Perbedaan pandangan adalah, merupakan ciri ber-kembangnya pemikiran dan sekaligus menunjukkan bahwa kehidupan selalu berubah.
b.      Pelatihan Keterampilan
Latihan keterampilan yang diberlangsung di Pondok Pesantren Buntet, dapat dikelompokkan ke dalam empat macam keterampilan yaitu (1) beladiri, (2) kesenian, (3) koperasi dan (4) manajemen. Keterampilan dalam bentuk pelatihan beladiri dan kesenian, biasanya diupayakan oleh para kiyai kepada santrinya yang berlangung di asramanya; sedangkan pelatihan keterampilan dalam bentuk perkoperasian dan manajemen diupayakan oleh YPI atau LPI Buntet melalui pengiriman santri sebagai peserta pelatihan yang dilaksanakan oleh pesantren lain, organisasi atau instansi tertentu. Hasil dari pelatihan keterampilan kesenian, misalnya, hingga kini Pondok Pesantren Buntet memiliki group qashidah yang para pemainnya adalah para santri putri. Sedangkan hasil dari pelatihan keterampilan perkoperasian, sekarang Pondok Pesantren Buntet memiliki Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) yang dikelola para santri.
Di samping bentuk-bentuk pelatihan keterampilan tersebut, ada bentuk keterampilan lain yang dilakukan secara berkala yaitu pelatihan keterampilan berpidato melalui kegiatan muhadlarah. Pelatihan ini biasanya dilaksanakan pada Kamis malam (ba’da shalat fardlu ‘Isya) yaitu, setelah usainya kegiatan debaiyah yaitu pembacaan kisah perjuangan dan kepribadian Rasulullah Muhammad saw). Tempatnya, bagi santri putra bertempat di masjid jami’ dengan diikuti semua santri (putra) Pesantren Buntet. Sedangkan bagi santri putri bertempat di pondokannya masing-masing.
2. Kegiatan Pendidikan Sekolah
Pendidikan sekolah yang ada di Pondok Pesantren Buntet, sebagian besar bersifat keagamaan (diniyah) berada dibawah koordinasi dan pengawasan organisasi NU kecuali MAN. Lembaga pendidikan keagamaan tersebut adalah, MI NU (putra dan putri), MTs NU (Putra [2 buah] dan Putri), MA NU (Putra dan Putri) dan MAK NU (Putra). Posisi bangunan lembaga pendidikan sekolah/madrasah tersebut, adalah sebagai berikut:
Madrasah Aliyah (MA) NU Putri dan Madrasah Ibtidaiyyah (MI) NU putri terletak di sebelah Barat Masjid Jami’, sedangkan MANU Putra dan MTs NU Putra (1) terletak di sebelah Timur Masjid Jami”; MAK NU dan MTs NU Putra (2) terletak di sebelah Selatan masjid jami’; di sebelah Utara Masjid Jami terdapat bangunan asrama besar yang di sampingnya ada gedung MTs NU Putri, juga ada Kantor Pesantren Buntet yang berfungsi ganda sebagai Kantor Koperasi Pondok Pesantren dan MI NU Putra. Untuk lebih jelasnya tentang lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Buntet, dapat dilihat pada tabel di bawah ini,
TABEL 5
NAMA LEMBAGA PENDIDIKAN
No.
Nama Lembaga

Pendidik

Peserta Didik

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
TK. An-Anwar
MI Putra
MI Putri
MTs NU Putra I
MTs NU Putra II
MTs NU Putri
MA NU Putra
MA NU Putri
MAK NU
MAN
AKPER
4
6
6
22
24
24
27
26
16
63
16
52
120
132
400
363
500
670
256
74
900
220
Jumlah
214
3687
Sumber: Data LPI Pondok Pesantren Buntet, 1998
Adapun sistem perjenjangan yang terjadi di Pondok Pesantren Buntet, dapat dilihat pada gambar di bawah ini,


GAMBAR 5
Sistem Perjenjangan Pendidikan Islam Di Pesantren Buntet
Pengajian Tingkat Ulya (2 tahun)
 
Perguruan Tinggi/Akademi
(5 tahun)
 
Penga
jian al-quran khusus
(2 thn)
 
 


     
Pengajian Ting kat al-Wustha (2 tahun)
 
SLTA
(3 th)
 
PGAA
(4 th)
 

MA

(3 th)
 
 

                                         
Madrasah Wathaniyah Ibtidaiyah
(MWI 6 tahun)
 
 








Raudhatul Athfal (RA)
(2 tahun)
 
 




Perjenjangan pendidikan tersebut di atas, berlaku pada 1940-an hingga 1970-an. keadaan itu mengalami perubahan setelah beberapa lembaga pendidikan keagamaan tertentu berubah nama dan status mengikuti aturan main dari pemerintah seperti PGAP berubah menjadi MTs NU Putra dan Putri, PGAA berubah menjadi MAAIN yang beberapa tahun kemudian berubah menjadi MAN, Perguruan Tinggi Agama lsam (IAIN Jakarta yang pada 1960-an membuka Cabang Buntet) berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 1968 tentang sentralisasi PTAI dikembalikan ke asalnya, dan pengajian al-quran khusus (qiraah sab’ah) yang mulai tidak banyak peminatnya. Namun demikian, perjenjangan terhadap pendidikan yang masih ada terus dilanjutkan dan secara bertahap dilakukan pembenahan untuk meningkatkan kualitas. Kegiatan pendidikan sekolah yang ada di Pondok Pesantren Buntet diungkapkan secara rinci sebagai berikut:
a.      Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah Ibtidaiyah NU, pada awal berdirinya pada 1946 bernama Madrasah Ibtidaiyah al-Wathaniyah (MIW), merupakan jenjang pendidikan tingkat dasar bagi para santri, masa belajarnya sama seperti SD yaitu enam tahun. Di pondok pesantren Buntet terdapat dua buah MI yaitu MI NU Putra (Kepala Madrasahnya, KH. Abdul Hamid Annas) dan MI NU Putri (Kepala Madrasahnya, Ny. Hj. Farah). Jumlah murid MI NU putra dan MI NU putri pada tahun ajaran 1998/1999 adalah 252 orang. Masing-masing terbagi ke dalam 6 kelas. Dibina oleh guru/ustadz kelas berjumlah 12 orang terdiri dari enam ustadz dan enam ustadzah. Proses belajar mengajarnya menggunakan kurikulum nasional dari Depag dan kurikulum lokal serta beberapa mata pelajaran khas Pondok Pesantren Buntet yang lebih menekankan kepada penguasaan Bahasa Arab dan KK.
Bagi murid MI NU kelas VI, mereka diberi kebebasan untuk mengikuti EBTAN SD (bagi murid MI NU yang akan melanjutkan studinya ke SLTP) atau MIN (bagi murid MI NU yang akan melanjutkan studinya ke MTs).
b.      Madrasah Tsanawiyah (MTs)
MTs NU di Pondok Pesantren Buntet ada tiga buah yaitu dua buah MTs NU Putra (Kepala MTs NU Putra I Drs. KH. Majduddin, Kepala MTs NU Putra II KH. Fachruddin Mulyono sedangkan Kepala Madrasah MTs NU Putri adalah Ny. Hj. Imroah. Kedua MTs NU Putra, pada tahun ajaran 1998/1999 ini memiliki 763 orang sedangkan murid MTs NU Putri berjumlah 500 murid. Guru yang mengajar di tiga MTs NU, berjumlah 70 orang terdiri dari 46 orang guru MTs NU Putra dan 24 orang guru MTs Putri. Proses belajar mengajarnya, dilaksanakan di masing-masing gedung yang berbeda.
Sebagaimana MI NU, MTs NU juga menggunakan kurikulum nasional dari Depag dan kurikulum lokal (kepesantrenan dan ke-NU-an) yang lebih menekankan pada penguasaan dan pemahaman KK. Tapi sebagai lembaga pendidikan swasta, murid MTs NU diharuskan mengikuti EBTANAS yang diselenggarakan oleh Depag atau Depdikbud (bagi murid MTs NU yang akan melanjutkan studinya ke SMU/SMKK).
c.      Madrasah Aliyah (MA)
Di lingkungan Pesantren Buntet terdapat tiga jenis MA yaitu MAN, MA NU dan MAK NU. Dari ketiga jenis MA ini, MA NU terbagi menjadi dua buah yaitu MA NU Putra dan MA NU Putri, sehingga di komplek Buntet Pesantren ada empat buah MA yaitu: MAN, MAK NU Putra, MA NU Putra dan MA NU Putri). Keempat MA ini, masing-masing memiliki sistem kependidikan yang berbeda.  
1) Madrasah Aliyah (MA) NU
      Ada dua periode keberadaan MA NU Buntet yaitu pertama pada 1968 KH. Mustahdi Abbas membuka MA Putra dan MA Putri sebagai kelanjutan dari MTs muallimin (putra) dan muallimat (putri)/PGA Putra dan Putri. Tapi setelah MA ini dinegerikan pada 1971 menjadi MAAIN Buntet, maka Pondok Pesantren Buntet tidak lagi memiliki MA. Kedua pada  tahun 1980-an ketika banyak para peminat MAN yang tidak tertampung, maka pimpinan Pesantren Buntet membuka kembali MA NU sebagai upaya memberikan kesempatan kepada para remaja yang bermaksud melanjutkan sekolahnya di Pondok Pesantren Buntet (Wawancara, Drs. H. Samaun Bakri, Kepala MAN 1980-1990, 25 Maret 1999).
      Dengan demikian, keberadaan MA NU Putra dan MA NU Putri merupakan upaya pimpinan Pondok Pesantren Buntet dalam memberikan kesempatan kepada remaja yang ingin belajar dan menjadi santri di Pesantren Buntet. Karena itu, secara kelembagaan MA NU tidak jauh berbeda dengan MAN. Perbedaan di antara MA NU dan MAN adalah (1) status lembaga, MA NU berstatus Swasta sedangkan MAN berstatus Negeri; (2) Penggunaan Kurikulum. MA NU menggunakan dua bentuk kurikulum yaitu kurikulum nasional (kurnas) yang dikeluarkan Depag dan kurikulum lokal  (kurlok) yang dikeluarkan NU. Sehingga, siswa-siswi MA NU menerima mata pelajaran ganda yaitu mata pelajaran yang bersifat keagamaan dan mata pelajaran yang bersifat umum.
      Dalam pelaksanaan kurlok, MA NU lebih memperioritaskan penguasaan dan pemahaman KK, sehingga mata pelajaran keagamaan seperti al-Quran, Hadits, Fiqh dan Bahasa Arab digunakan KK dan disampaikan oleh para kiyai/pembina Pondok Pesantren Buntet. Karena itu, murid MA NU (Putra maupun Putri) sebagian besar adalah para santri Pondok Pesantren Buntet. Sedangkan pelaksanaan kurnas, MA NU mengikuti kurnas yang dikeluarkan Depag yaitu 30 % mata pelajaran keagamaan dan 70 % mata pelajaran umum. Mata pelajaran Keagamaan yang disampaikan di MA NU meliputi (1) al-quran dan al-hadits, (2) Aqidah dan Akhlaq, (3) Fiqh, (4) Sejarah Kebudayaan Islam dan (5) Bahasa Arab. Sedangkan mata pelajaran yang bersifat umumnya adalah (1) KPKN, (2) Bahasa Indonesia, (3) Bahasa Inggris, (4) Matematika, (5) IPA (Fisika, Biologi dan Kimia), (6) IPS (Sejarah dan Geografi), (7) Keterampilan dan (8) Penjaskes. Begitu juga dengan jurusan, di MA NU juga mengikuti MAN yaitu Jurusan Agama, IPA, IPS dan Bahasa (Wawancara, KH. Hasanuddin Kriyani, BA; Kepala MA NU, 22 Maret 1999).
      Pada tahun ajaran 1998/1999 ini, MA NU Putra dipimpin oleh Drs. KH. Hasanuddin Kriyani, memiliki murid berjumlah 670 murid, sedangkan MA NU Putri dipimpin oleh Drs. KH. Moh. Hisyam Abkari, memiliki murid berjumlah 256 orang. Guru yang mengajar di MA NU, berjumlah 53 orang terdiri dari 27 orang guru MA NU Putra dan 26 orang  guru MA NU Putri. Proses belajar mengajarnya dilaksanakan di gedungnya masing-masing, karena mereka memiliki gedung yang berbeda lokasinya.
2) MAK NU Putra
            Lembaga pendidikan keagamaan swasta lain yang ada di komplek Buntet pesantren adalah Madrasah Aliyah Khusus (MAK). MAK NU didirikan pada tahun ajaran 1994/1995, dilatar belakangi atas keprihatinan mandalam bahwa murid MA NU dan MAN (santri pesantren Buntet) banyak yang tidak mampu menguasai dan mempraktekkan bahasa asing, padahal dengan memiliki keterampilan bahasa mereka akan mampu menguasai ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu pewngetahuan umum.
     Tidak ada perbedaaan yang prinsip antara MAK NU dengan MA NU, kedua lembaga keagamaan ini sama-sama memperioritaskan kurlok (kepesantrenan dan ke-NU-an) yaitu menekankan pada penguasaan dan pemahaman KK; mereka juga sama-sama mewajibkan kepada muridnya untuk mengikuti EBTAN di MAN. Yang membedakan di antara keduanya adalah, MAK NU lebih menekankan pada penguasaan dan penggunaan bahasa asing (bahasa arab dan bahasa Inggris), baik gurunya maupun kepada muridnya. Karena itu, murid MAK NU adalah para remaja pilihan (hasil seleksi) khususnya mereka yang telah memi-liki dasar dan kemampuan berbahasa asing.  
Tahun ajaran 1998/1999 ini, MAK NU dipimpin oleh Drs. KH. Yusuf Ma’mun, memiliki murid berjumlah 74 orang. MAK NU memiliki tenaga pengajar sebanyak 16 orang, terdiri dari para sarjana S-1 dari IAIN Cirebon, IAIN Jakarta, IAIN Yogyakarta, Universitas Darul Ulum Makkah dan Universitas al-Azahar Mesir yang memiliki kemampuan berbahasa asing dan dibantu oleh para pengelola lembaga bahasa asing (LBA).
3) MAN
            MAN Buntet adalah satu-satunya lembaga pendidikan madrasah yang berstatus negeri di lingkungan Pondok Pesantren Buntet. Telah dikemukakan bahwa, secara kronologis MAN Buntet adalah pergantian nama dari MAAIN. Sedangkan MAAIN merupakan peralihan status dari MA NU yang swasta pada 1971. Dengan demikian, MAN pada mulanya adalah MA NU Buntet yang didirikan pada 1968 sebagai kelanjutan dari PGAP 4 tahun.
Pada tahun ajaran 1998/1999, dipimpin oleh Drs. KH. Hasanuddin Imam, memiliki siswa berjumlah 900 orang siswa terdiri dari 474 orang siswi dan 526 orang siswa. Tenaga pendidikan yang ada berjumlah 63 orang terdiri dari, 34 orang guru PNS dan 29 orang guru tidak tetap. MAN Buntet membuka jurusan yaitu IPA, IPS, Bahasa dan Agama.
d. Pendidikan Tinggi
            Pendidikan tinggi yang ada di Pondok Pesantren Buntet adalah Akademi Perawat (AKPER), yang didirikan pada tahun akademik 1997/1998. Tidak sebagai-mana bentuk pendidikan Islam lain yang berada di bawah koordinasi ormas Islam NU, AKPER adalah satu-satunya lembaga pendidikan tinggi yang ada di Pondok Pesantren Buntet yang di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Buntet.
     Pada tahun akademik 1998/1999 ini, Direktur AKPER adalah Kol. Drs. H. Abdul Aziz dengan memiliki mahasiswa brjumlah 80 orang terdiri dari 17 orang mahasiswa dan 63 orang mahasiswi. Dosen profesional yang ada hingga tahun akademik ke dua ini berjumlah 20 orang dosen.  
Berdasarkan pada uraian panjang di atas dapat dikemukakan bahwa, kiyai dan pembina Pondok Pesantren Buntet hingga saat ini tidak pernah berhenti memikirkan untuk memperbaharui lembaga pendidikan.
3. Karakteristik Pondok Pesantren Buntet
Diperhatikan dari sistem pendidikan yang diselenggarakannya, Pondok Pesantren Buntet menyelenggarakan dua bentuk yaitu pertama, bentuk pendidikan berupa pondok  salafi (tradisional) yang tetap mempertahankan KK sebagai inti pendidikan pesantren dengan tanpa mengenalkan ilmu pengetahuan umum dalam pengajarannya. Sistem madrasah diniyah yang ada seperti MI NU, MTs NU dan MA NU, diselenggarakan hanya untuk memperkenalkan KK dengan metode kelas yang dipakai pada lembaga-lembaga pengkajian dalam bentuk salafy (tradisional). Kedua, bentuk pesantren khalafi (modern) yang telah memasukkan ilmu pengetahuan umum dalam pengajarannya, dan telah mendirikan beberapa madrasah yang bersifat persekolahan umum seperti MAN.
Walaupun terjadi perubahan pada sistem pengajaran, Drs. H. Anis Mansur mengemukakan bahwa, “para pembina Pondok Pesantren Buntet tetap mempertahankan nilai-nilai keagamaan yang selama ini telah dibina” (Wawancara, 19 Januari 1999). Nilai-nilai keagamaan yang selalu dipertahankan di pondok Pesantren Buntet adalah,
Memandang kehidupan secara menyeluruh sebagai ibadah yaitu, sejak pertama kali santri masuk pondok pesantren Buntet, para santri diperkenalkan pada suatu kehidupan tersendiri. Aspek ibadah menempati kedudukan tertinggi. Kecintaan terhadap ilmu-ilmu agama, diperkenalkan dengan cara-cara mengerjakan ibadah secara menyeluruh melalui upaya menuntut ilmu agama secara berkesinambungan, kemudian mengamalkan dan menyebarkannya. Dengan demikian ilmu dan ibadah menjadi identik dan dengan sendirinya akan muncul rasa cinta terhadap ilmu agama. Keikhlasan bekerja untuk tujuan-tujuan bersama yang lebih besar.
Melalui pernyataan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa karakteristik Pondok Pesantren Buntet hingga dewasa ini, tetap menjalankan tiga tipe pesantren. Pertama, pondok pesantren Buntet tetap mengajarkan KK dengan ditambah berbagai pelatihan keterampilan; Kedua, Pesantren Buntet tetap mengajarkan KK, di samping menyelenggarakan pendidikan madrasah/sekolah umum dan berbagai latihan keterampilan; Ketiga, Pesantren Buntet tetap mengajarkan KK dan mengembangkan sufisme/tharikat.
C. Pemikiran dan Upaya Kiyai dalam Memenuhi Tuntutan Masyarakat
1. Pemikiran kiyai “Buntet” tentang bentuk pendidikan    
Pesantren Buntet, sebagaimana sebagian besar pesantren salaf di Indonesia, pada awal berdirinya bukan sebagai reaksi atas persoalan ataupun tuntutan masyarakat atas tujuan perubahan sosial sekitarnya; melainkan lebih merupakan orientasi pengabdian. Orientasi pengabdian ini tentu saja karena kondisi pribadi mbah Muqayyim adalah para pejuang dan kebutuhan masyarakat saat itu membutuhkan pengabdian dari seseorang yang mampu dijadikan sebagai figur pemersatu. Dengan demikian, pemikiran awal berdirinya pesantren Buntet adalah karena niat ikhlas dan pengabdian mbah Muqayyim yang didukung oleh segelintir masyarakat setempat, dan bukan sebagai respon sosial dan usaha transformasi kultural. Keadaan ini belangsung hingga kepemimpinan K. Muta’ad yang masih berorientasi kepada pengabdian, di samping karena kapasitas kepemimpinan tunggal (single management) juga keadaan masyarakat yang masih menghadapi tekanan dari penjajah. 
Pemikiran dan orientasi Pesantren Buntet mulai ada perubahan, ketika KH. Abdul Jamil memimpin Pesantren Buntet pada 1842-1910. Walaupun bentuk kepemimpinannya masih bersifat single management tapi tampak terjadi adanya perubahan bahkan pergeseran orientasi. Perubahan yang terjadi saat itu ditandai dengan dibukanya sistem pendidikan madrasah (persekolahan), sehingga baik metode maupun penyelenggaraan pendidikannya mulai menyesuaikan dengan lembaga pendidikan modern yaitu dibentuknya kepemimpinan madrasah, digunakan kelas, penjadwalan mata pelajaran dan spesialisasi guru serta ditentukan perjenjangan dalam pendidikan. Perubahan pemikiran dan orientasi secara besar-besaran, tampak ketika Pondok Pesantren Buntet dipimpin K.H. Abbas Abdul Jamil (1910-1946) yaitu perubahan atau pergeseran sistem pondok pesantren dari sistem salafy murni berubah menjadi sistem pondok pesantren semi modern (khalafy). Perubahan pemikiran dan pergeseran orientasi ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, hingga generasi KH. Abdullah Abbas (1989- sekarang).
Pada kepemimpinan KH. Abdullah Abbas, telah ditempuh beberapa kebijakan, di antaranya pertama, tidak lagi menerapkan sistem single management ini ditandai dengan telah dibentuk Yayasan Pendidikan Islam (YPI) pada 1992. Kedua, Pesantren Buntet bukan lagi sebagai Pesantren Salafi tetapi telah menjadi Pesantren Terpadu antara pesantren salaf dan pesantren modern) yaitu dengan telah dibukanya lembaga-lembaga pendidikan keterampilan seperti pada tahun ajaran 1995/1996 Pesantren Buntet mendirikan Madrasah Aliyah Khusus (MAK) yang dalam proses belajar-mengajarnya lebih menekankan kepada keterampilan berbahasa asing, dan pada tahun akademik 1996/1997 telah didirikan lembaga pendidikan tinggi AKPER yang dalam kurikulumnya lebih menekankan kepada keterampilan perawat kesehatan (Dokumen “Pondok Pesantren Buntet” tahun 1998 yang dirangkum penulis).
Melalui YPI, segala kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan dan kepesan-trenan selalu dimusyawarahkan di kalangan pengurus Yayasan. Sebagai tindak lanjut, hasil musyawarah itu kemudian disosialisasikan kepada masyarakat umum. Tidak hanya itu, semua kebijakan dan informasi publik (public information) dikembalikan kepada YPI. Kenyataan ini mencerminkan bahwa, pondok pesantren Buntet terbuka untuk umum dan menerima saran pendapat dari masyarakat, baik dalam bentuk kelembagaan maupun kurikulum pendidikan.
Jadi para kiyai “Buntet” dalam membina Pesantren Buntet, telah mengalami beberapa perubahan, dan setiap perubahan ditentukan oleh visi pimpinan dan misi kelembagaan yang selalu mengikuti perkembangan jaman dan kemauan masyarakat.
2. Upaya Kiyai dalam memenuhi tuntutan masyarakat
Ada dua upaya nyata yang dilakukan kiyai Buntet dalam memenuhi tuntutan masyarakat yaitu: pertama, merubah visi dan orientasi pendidikan, dan kedua mengadakan kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan.
Merubah visi dan orientasi pendidikan diupayakan para kiyai, karena tuntutan masyarakat yang menginginkan agar lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Buntet tidak hanya mengajarkan materi pengetahuan keagamaan tetapi juga materi pengetahuan umum dan teknologi (keterampilan terapan). Dalam hal ini, upaya nyata yang dilakukan adalah, lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada dan berorientasi keagamaan dikembangkan menjadi lembaga pendidikan keagamaan bersifat umum dan kejuruan. Misalnya Madrasah Aliyah pada 1967-1970 masih bersifat diniyah (keagamaan), pada 1971 hingga sekarang dikembangkan menjadi madrasah aliyah bersifat umum yakni di samping mengajarkan mata pelajaran keagamaan diajarkan juga mata pelajaran “umum” seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, matematika, biologi, kimia, fisika, sejarah umum, geografi, akuntansi, dan lain-lain; bahkan pada 1997/1998 Pesantren Buntet membuka lembaga pendidikan yang bersifat pengembangan kejuruan melalui AKPER. 
Untuk mengisi lembaga-lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan kejuruan tersebut, para kiyai Buntet melakukan kerja sama dengan SMUN, SMU NU dan SMK (SMEAN) Sindanglaut dalam bentuk pengadaan guru dan tenaga administrasi yang betul-betul menguasai dalam bidang-bidang tertentu yang diinginkan. Begitu juga dalam pengadaan dosen dan tenaga administrasi yang profesional, AKPER melakukan kerja sama dengan AKPER Muhammadiyah Cirebon, Akademi Bidan (AKBID) Cirebon, RSUD Gunung Djati, RS Pelabuhan Cirebon dan RS Ciremai Cirebon.
Sedangkan upaya kiyai Buntet dalam bentuk pengadaan dana, mereka melakukan silaturahmi dengan beberapa tokoh masyarakat tertentu, PEMDA Kabupaten Cirebon, Pemda Jawa Barat, para alumni yang telah menjadi pengusaha dan dengan para donatur lain.  
D. Pendukung dan Penghambat Pembaharuan
Kiyai Buntet dipelajari dari corak pemikirannya, mereka dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu: kelompok konservatif, kelompok tradisionalis dan kelompok modernis. Terjadi pengelompokkan ini, terutama disebabkan latar belakang pendidikan dan pondok pesantren yang pernah dimasukinya. Penyebab lainnya, kemungkinan kecil, adalah karena perbedaan kecenderungan dalam mendukung partai politik.
Kelompok kiyai konservatif, adalah para kiyai Buntet yang menginginkan agar Pesantren Buntet berjalan secara apa adanya sehingga makna “tradisi suci pondok” seperti shalat berjamaah, tadarrus al-quran ba’da shalat fardlu, pengajian KK dan rasa hormat santri terhadap kiyainya merupakan perwujudan dari kekharismahan dan kesalehan tidak akan ternodai oleh kemajuan dan perkembangan jaman. Mereka ini adalah para kiyai Buntet yang menekuni bidang thariqah yang selama ini menjadi salah satu “kebesaran” nama Pondok Pesantren Buntet. Mereka khawatir, jika Pondok Pesantren Buntet mengikuti perkembangan jaman, maka etika santri dan pengabdian kiyai yang selama ini merupakan ciri khas pondok akan semakin terpinggirkan atau bahkan terjadi degradasi moral.
Kelompok kiyai tradisionalis adalah, para kiyai Buntet yang tidak banyak memiliki gagasan untuk memajukan Pondok Pesantren Buntet, tetapi mereka tidak berusaha menjadi penghalang atau penghambat ide atau pemikiran kiyai modernis. Bahkan mereka selalu siap mendukung dan turut serta dalam melaksanakan ide atau pemikiran itu. Mereka adalah para pembina santri dan pengajar al-quran dan KK tradisional di lingkungan rumahnya. Sebagian besar dari mereka adalah, keturunan mbah Muqayyim atau kerabat dari pimpinan Pondok Pesantren Buntet.
Sedangkan kelompok kiyai modernis adalah, para kiyai Buntet yang karena latar belakang pendidikan, pengalaman atau pergaulan melalui organisasi sehingga mereka selalu membandingkan dengan keberadaan pondok atau lembaga pendidikan lain yang kemudian ingin diterapkan di lembaga yang dibinanya. Kiyai Buntet yang tergolong kelompok modernis adalah para kiyai muda dan aktivis pada suatu organisasi (kemasyarakatan atau sosial-politik); atau para kiyai sepuh (sebagian dari mereka adalah pengurus NU) tetapi berpikiran ke depan dalam upaya memperjuangkan dan memajukan Pondok Pesantren Buntet.   
Di antara ketiga kelompok tersebut, yang sering saling-silang pendapat dalam menentukan kebijakan LPI atau YPI adalah kelompok konservatif dan kelompok modernis.
Berkaitan dengan pro-kontra dalam melakukan berbagai pergeseran visi dan innovasi lembaga, yang sering dianggap sebagai penghambat adalah para kiyai yang bercorak pemikiran konservatif, yaitu mereka yang berharap agar segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan selalu berpijak kepada kepentingan “dalem”. Sedangkan para kiyai tradisionalis, biasanya selalu mendukung terhadap gagasan dan kebijakan yang mengarah kepada perbaikan lembaga (LPI dan YPI).
D.   Motivasi dan Peran Kiyai Buntet
1. Motivasi Kiyai Pesantren Buntet
Pemikiran awal ketika mbah Muqayim mendirikan pondok (pesantren Buntet), masih sangat sederhana sekali yaitu sebagai tempat memberikan pemahaman kepada masyarakat lingkungan setempat tentang bagaimana beribadah yang baik kepada Allah swt. (habl min Allah), berhubungan yang baik dengan sesama tetangganya (habl min al-nas) dan berperilaku sosial yang baik (akhlaq al-kariemah) serta sekaligus (pondok itu) dijadikan sebagai tempat pelatihan fisik dan mental para santri dalam menghadapi penjajah Belanda. Tetapi ketika melihat kenyataan bahwa untuk menghadapi per-kembangan jaman yang terus berubah dan keinginan masyarakat yang bervariasi maka ketika K. Muta’ad dipercaya melanjutkan kepemimpinan pondok yang didirikan mbah Muqayyim, pemikiran awal itu mulai berubah sehingga berdirilah lembaga pendidikan, walaupun lembaga pendidikan yang relatif baru didirikan itu masih bersifat “lembaga sosial keagamaan”.
Semangat para kiyai “Buntet” untuk melalukan perubahan sistem pendidikan di Pesantren Buntet terus berlanjut, hingga didirikan lembaga pendidikan umum (baik yang bersifat keagamaan maupun kejuruan) dan teknologi, penulis ungkapkan di bawah ini.
Motivasi kiyai dalam mendirikan Pesantren Buntet, pada awal berdiri (1750-an) hingga tahun 1910-an sangat sederhana sekali yaitu pertama, melaksanakan amanat gurunya agar mengamalkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya, dan kedua melanjutkan perjuangan orang tua atau mertuanya yang juga kiyai pendiri pesantren. Mereka belum memikirkan struktur, tujuan dan sasaran dari materi yang diajarkan; apalagi memikirkan orientasi lembaga kependidikan yang lebih besar. Karena itu pondok pesantren Buntet pada awal berdirinya belum dikategorikan sebagai sebuah sistem lembaga kependidikan. Kenyataan ini dapat dipelajari dari kondisi bangunan fisik (masjid, madrasah dan pondokan) yang masih sangat sederhana. Dengan demikian, Pondok Pesantren Buntet saat itu belum dapat dikate-gorikan sebagai sebuah sistem lembaga pendidikan. Pondok Pesantren Buntet untuk periode awal ini, menurut penulis, baru dapat dikategorikan sebagai “lembaga sosial keagamaan” dengan nama pondok yang dalam proses pembelajaranya berlangsung sebagaimana di majlis ta’lim atau madrasah masjid yang belum terorganisasi dengan baik.    
Akan tetapi, pada periode berikutnya (1910-1946) tampaknya KH. Abbas Abdul Jamil (salah seorang putra KH. Abdul Jamil) sebagai tokoh sentral Pondok Pesantren Buntet saat itu, berusaha keras untuk melakukan berbagai perubahan. Beliau tampaknya termotivasi bahwa untuk memajukan pesantren, harus bekerja sama dan/atau mempertimbangkan keinginan masyarakat. Karena itu beliau berusaha menerapkan konsep yang telah dicita-citakannya yaitu menjadikan pesantren Buntet sebagai sebuah sistem lembaga kependidikan. Sebagai realisasi dari keinginannya itu, semasa beliau memimpin Pondok Pesantren Buntet telah berdiri madrasah atau “sekolah agama” seperti Madrasah Wajib Belajar setingkat TK, Madrasah Wathaniah Ibtidaiyyah I setingkat SD; dibangun beberapa sarana-fasilitas kependidikan sebagai sarana belajar mengajar secara berjenjang (yang sebelumnya tidak ada); dibentuk sistem kepemimpinan dan diangkat beberapa ustadz untuk mengajar di Madrasah Diniyah atau “sekolah agama” itu sesuai dengan bidang ilmu pengetahuan keagama-an. Pada saat yang sama, beliau juga menentukan spesialisasi kitab kuning kepada para ustadz kiyai yang mengajarkan KK di Pondok Pesantren Buntet; Pada masa kepemimpinannya juga dikirim beberapa alumni untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah dan Madinah. Dengan demikian, motivasi kiyai Buntet pada periode ini adalah menjadikan Pesantren sebagai sebuah sistem lembaga kependidikan, walaupun masih terbatas kepada sistem pendidikan keagamaan.
Motivasi untuk menjadikan Pondok Pesantren Buntet sebagai sebuah sistem lembaga kependidikan, ini dilanjutkan bahkan dikembangkan oleh salah seorang putranya yaitu KH. Mustahdi Abbas ketika memimpin Pondok Pesantren Buntet pada 1946-1975. Pada antara tahun-tahun ini, telah didirikan beberapa lembaga pendidikan keagamaan yang lebih tinggi yaitu, MTs Muallimin dan Muallimat yang beberapa tahun kemudian berubah menjadi PGA Putra dan Putri; MA Muallimin dan Muallimat yang kemudian berubah status menjadi MAAIN dan perubahan terakhir menjadi MAN Buntet. Dengan berdirinya beberapa lembaga pendidikan atau “sekolah umum” ini, tampaknya KH. Mustahdi ingin memberikan perhatian yang serius kepada masyarakat yang menginginkan agar putra-putrinya di samping memiliki kemampuan dalam memahami isi kandungan KK (ciri khas materi pesantren) juga memiliki ilmu pengetahuan umum. Karena itu, motivasi KH. Mustahdi dalam menentukan orientasi pendidikannya berusaha memadukan antara materi pengetahuan keagamaan dengan materi pengetahuan umum.
Perkembangan Pondok Pesantren Buntet sebagai lembaga kependidikan, semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas, sejak KH. Mustamid Abbas (adik KH. Mustahdi Abbas) memimpin Pondok Pesantren Buntet (1975-1989). Pada tahun 1980-an, banyak remaja lulusan SLTP yang mendaftarkan ke MAN Buntet padahal daya tampung siswa yang diterima sangat terbatas, sehingga banyak remaja yang semangat untuk melanjutkan sekolahnya ke MAN Buntet itu ditolak. Melihat keadaan demikian, maka KH. Mustamid Abas sebagai pimpinan pesantren Buntet mengeluarkan kebijakan untuk membuka MA NU yang terdiri dari MA NU Putra dan MA NU Putri. MA NU Putra dan MA NU Putri memiliki sarana-fasilitas, siswa, guru dan kepala madrasah masing-masing; di MA NU Putra semua pelajarnya adalah para remaja putra, sebaliknya di MA NU Putri semua pelajarnya terdiri dari para remaja putri. 
Dipelajari dari segi sistem lembaga kependidikan, perbedaan antara MA NU dengan MAN terletak pada status dan penggunaan kurikulumnya. MA NU berstatus swasta di bawah lindungan Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Pesantren Buntet; dan dalam penggunaan kurikulum, MA NU menggunakan kurikulum ganda yaitu kurikulum nasional (sebagaimana yang digunakan MAN) juga kurikulum lokal (kurlok) yang diterbitkan oleh NU; begitu juga dalam penggunaan hand book, asaatidz MA NU yang mengajarkan materi pendidikan agamanya diwajibkan menggunakan KK. Dengan kelebihan yang ada pada MA NU ini, menunjukkan bahwa lembaga ini merupakan perpaduan antara madrasah diniyah (karena kurlok dan hand booknya yang menggunakan KK) dan madrasah/sekolah “umum” (di MANU terdapat jurusan sebagaimana jurusan yang ada pada MAN Buntet yaitu: Fisika, Biologi, IPS dan Pendidikan Agama). Karena itu, MA NU merupakan lembaga pendidikan andalan bagi Pondok Pesantren Buntet walaupun dalam pelaksanaan EBTA maupun EBTANASnya, baik MA NU putra maupun MA NU Putri, masih ikut ke MAN Buntet.
Tampak bahwa dengan didirikannya MA NU (lembaga pendidikan yang meru-pakan perpaduan antara “sekolah agama” dan “sekolah umum”), KH. Mustamid Abbas sebagai pimpinan Pesantren Buntet menaruh perhatian yang sangat serius terhadap kepercayaan masyarakat yang menginginkan anak-anaknya untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Buntet memperoleh dua pengetahuan sekaligus yaitu pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Ini menunjukkan bahwa, motivasi yang tertanam di hati para kiyai Buntet dalam menentukan orientasi pendidikan di Pondok Pesantren Buntet sama seperti para kiyai pendahulunya yaitu mereka berusaha keras memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat. 
Motivasi para kiyai Buntet semakin kuat untuk menjadikan Pondok Pesantren Buntet bukan hanya sebagai sebuah sistem lembaga kependidikan, tapi lebih dari itu yaitu jadi pelopor dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Motivasi ini diimplementasikan ketika KH. Abdullah Abbas yang memimpin Pesantren Buntet (1989 -- sekarang) memberikan rekomendasi kepada ketua Yayasan Pendidikan Islam (YPI) untuk membuka AKPER pada tahun akademik 1997/1998. Dengan dibukanya AKPER, maka keberadaan Pondok Pesantren Buntet semakin lengkap dalam pengembangan lembaga-lembaga kependidikannya yaitu majlis ta’lim, madrasah masjid dan madrasah diniyah (sebagai lembaga pendidikan luar sekolah), “sekolah umum” dan pendidikan kejuruan (sebagai lembaga pendidikan sekolah). Karena itu keberadaan Pesantren Buntet dapat dikategorikan sebagai “Pondok Pesantren Terpadu” yang memadukan ilmu pengetahuan agama, ilmu pengetahuan umum dan teknologi atau keterampilan. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Pondok Pesantren Buntet untuk tidak dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga pendidikan atau perguruan modern lainnya.
Dengan mempelajari berbagai tahapan motivasi kiyai Buntet yang disesuaikan dengan perkembangan jaman, maka dapat dikemukakan bahwa motivasi kiyai yang paling utama dalam menentukan orientasi pendidikan di Pondok Pesantren Buntet adalah mereka berusaha sekuat tenaga menjadikan Pesantren Buntet sebagai lembaga pendidikan yang tetap menjaga ciri khas kepesantrenannya melalui majlis ta’lim, madrasah masjid dan madrasah diniyahnya; tetapi juga ber-usaha mengembangkan pengetahuan umum dan keterampilan. Bahkan lebih dari itu, Pondok Pesantren Buntet telah menjadi pelopor dalam pengembangan Iptek bagi kalangan pondok pesantren di Indonesia.
2. Peran Kiyai Pesantren Buntet
           Kiyai dan para ustadz Pondok Pesantren Buntet yang banyak terlibat dalam pemrakarsa berdirinya beberapa madrasah, peranan dan keterlibatan mereka dapat dilihat dari dua sisi yaitu pengorbanan dalam bentuk material yaitu sebagian tanah dan hartanya dimanfaatkan sebagai sarana dan fasilitas; dan pengorbanan dalam bentuk fisik yaitu sebagian besar waktu dan ilmunya diamalkan demi kemajuan lembaga pendidikan yang telah didirikan.
     Para kiyai yang ada di Pondok Pesantren Buntet sangat berperan dalam mengendalikan sistem dan orientasi pendidikan madrasah yang ada di Pondok Pesantren Buntet. Sebagian besar kiyai Buntet yang sebagian bangunan rumahnya dijadikan asrama santri, secara langsung ataupun tidak langsung mereka turut serta dalam mengajar, membimbing dan membina santrinya. Pengajaran, pembimbingan dan pembinaan yang dilakukan kiyai, tidak hanya bagi santri yang ada di asramanya melainkan bagi santri Pondok Pesantren Buntet secara keseluruhan. Misalnya, beberapa kiyai tertentu yang mengajarkan KK tertentu dengan diikuti oleh para santri dari beberapa asrama-asrama, begitu juga pengajaran qiraat al-quran secara khushus (qiraah sab’ah) yang disampaikan oleh kiyai tertentu tidak hanya bagi santri yang tinggal di asramanya saja melainkan santri dari asrama lain juga boleh mengikutinya.
Karena itu, para kiyai dan pengelola Pondok Pesantren Buntet pada umumnya merasakan betul tentang keinginan adanya perubahan yang diinginan sebagian besar masyarakat, terutama berkaitan dengan relevansi orientasi lembaga pendidikan dengan perkembangan dan kemajuan jaman. Namun tampaknya para “kiyai Buntet” lebih mengetahui kenyataan bahwa SDM (tenaga pendidik dan tenaga administrasi) yang ada di lingkungannya belum cukup banyak untuk mewujudkan keinginan sebagian besar masyarakat itu. “Kiyai Buntet” juga mengetahui bahwa, sebagian besar para santri atau pelajar yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Pesantren Buntet adalah anak-anak desa yang berlatar belakang ekonomi orang tuanya pas-pasan atau anak-anak kota yang sengaja dimasukkan orang tuanya agar moral anaknya perlu diperbaiki. Dengan demikian, persoalan yang dihadapi para “kiyai Buntet” adalah SDM yang belum profesional dan in-put yang berekonomi dan berIQ atau berEQ pas-pasan.
Mewujudkan keinginan adanya perubahan orientasi pendidikan, seyogyanya didukung minimal oleh beberapa faktor yaitu pertama, sistem kepemimpinan dan dididik para pendidik yang profesional; kedua sarana-fasilitas yang memadai; dan ketiga, memiliki dana yang cukup. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah, kualitas in-put atau latar belakang IQ dan EQ pelajar yang unggul. Tanpa faktor-faktor tersebut, lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan pesantren (khususnya dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan pada umumnya) masih dipandang sebagai lembaga pendidikan alternatif; lembaga pendidikan bagi masyarakat miskin atau masyarakat marjinal. Tampaknya, perkataan terakhir inilah yang terjadi di pesantren yaitu sebagai lembaga pendidikan alternatif.
Walaupun dalam keadaan seperti di atas, para kiyai dan pengelola  Pondok Pesantren Buntet dengan penuh keikhlasan selalu berupaya melakukan berbagai perubahan. Melalui Lembaga Pendidikan Islam (LPI) mereka selalu mengadakan musyawarah untuk mengevaluasi terhadap kelemahan-kelemahan yang terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada kemudian dicarikan solusi yang terbaik untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan pada sistem kelembagaan ataupun pada sistem kependidikan. Pada lima tahun terakhir ini, kiyai dan pengelola Pesantren Buntet sedang melakukan berbagai upaya nyata antara lain: (1) merubah visi dan orientasi kelembagaan dan kepemdidikan; (2) mengadakan kerja sama dengan berbagai fihak dalam bentuk pengadaan tenaga pendidik dan tenaga administrasi yang berkualitas maupun dalam bentuk penggalangan dana untuk pengembangan sarana-fasilitas dan kesejahteraan pendidikan.   
Pertama, merubah visi dan orientasi kelembagaan dan kependidikan. Pondok Pesantren Buntet pada mulanya, merupakan sarana yang dapat dijadikan sebagai media untuk menjaga atau melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam. Tapi perkembangan berikutnya, setelah menghadapi perubahan jaman yang sangat cepat, maka visi dan orientasi pendidikannya mengikuti perkembangan dan kemajuan jaman itu sehingga Pondok Pesantren Buntet tidak hanya berfungsi sebagai media dakwah tapi juga sebagai lembaga pendidikan Islam yang berusaha mendidik para remaja agar mereka terbebas dari kebodohan dan pergaulan yang sesat.
Kedua, kerja sama dengan berbagai fihak dalam pengadaan tenaga pengajar yang profesional dan penggalangan dana. Dalam mewujudkan keinginan masya-rakat agar tenaga pengajar yang mengajar di lembaga-lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Buntet adalah tenaga pengajar yang profesional, maka upaya yang dilakukan yaitu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan umum dan kejuruan yang ada di wilayah Kecamatan Astanajapura. Begitu juga dalam pengembangan sarana-fasilitas pendidikan, beberapa kiyai tertentu melakukan safari silaturahmi dengan berbagai fihak sebagai upaya memohon dukungan dan saran-pendapat ketika akan mendirikan AKPER yaitu lembaga pendidikan tinggi yang lebih menekankan pada sain (ilmu pengetahuan) dan teknologi.
Safari silaturahmi itu dilakukan antara lain mengunjungi Menhankam Pangab TNI (ketika itu Jendral Edi Sudradjat yang kemudian dilanjutkan Jendral Wiranto); mohon dukungan dari Jendral Soedarmono (Mantan Wakil Presiden); bersilaturahmi dengan Ketua PB NU Abdurrachman Wachid (sekarang Presiden ke-4) dan dengan beberapa kiyai pembina pesantren se-Jawa Barat. Dalam upaya melakukan studi banding, safari silaturahmi juga dilakukan dengan beberapa alumni Pondok Pesantren Buntet yang telah menjadi praktisi atau pengelola lembaga pendidikan serta berkunjung ke beberapa lembaga pendidikan tinggi terapan seperti UNINUS Bandung, UNISBA dan Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta.         
Hasil dari kunjungan tersebut, pada tahun 1979 terbentuklah sebuah Yayasan Pendidikan Islam (YPI) yang personalia kepengurusannya terdiri dari para kiyai “Buntet”, beberapa orang pendukung dana dan para alumni Pesantren Buntet. Melalui YPI, pada 1994 dibangun dan didirikanlah dengan megah bangunan AKPER dan pada tahun  akademik 1997/1998 AKPER menerima mahasiswa baru. Melalui YPI juga pada tahun 1997 dirintis untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam (PTI) yang pada pertengahan 1999 dimusyarawahkan nama dan bentuk PTI itu adalah antara lain Universitas Islam Buntet (UIB) atau Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Buntet.    
Dengan berdirinya lembaga pendidikan yang berorientasi Iptek, di  Pondok Pesantren Buntet terdapat dua jenis lembaga yaitu pertama “lembaga sosial ke-agamaan” atau madrasah diniyah yaitu madrasah masjid (yang mengajarkan KK dengan metode sorogan) dan majlis ta’lim (yang mengajarkan KK dengan metode bandongan dan halaqah) atau lembaga pendikan keagamaan yang bersifat umum seperti TPA/TKA, MINU, MTS NU, MA NU dan MAK NU; Kedua, lembaga pendidikan kejuruan yaitu AKPER.
Dengan mempelajari perjuanan para “kiyai Buntet” yang sangat gigih dalam memajukan Pondok Pesantren Buntet, maka sangat wajar jika diungkapkan bahwa para kiyai Buntet sangat berperan dalam mengendalikan sistem dan orientasi pendidikan di Pondok Pesantren Buntet.
3. Orientasi Pendidikan Pesantren Buntet
Pada awalnya, lembaga pendidikan yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Buntet adalah jenis pendidikan keagamaan berbentuk madrasah. Di samping itu, telah ada jauh sebelum itu yaitu, “lembaga sosial keagamaan” berupa pengajian dasar-dasar al-quran dan KK tingkat dasar bagi masyarakat Buntet sekitarnya, yang keberadaan dan perkembangannya terus dipertahankan. Melalui kedua lembaga pendidikan keagamaan inilah para santri belajar tentang ilmu pengetahuan keagamaan yang materi dan kurikulumnya adalah ‘aqidah-akhlaq, al-quran dan Tafsirnya, Hadits dan ‘ulum al-Hadits, Fiqh dan Usul fiqh, Bahasa Arab dan tata bahasanya (nahw, sharf). Ke semua jenis dan bentuk pendidikan yang telah ada ini, sebagian besar dipimpin oleh para kiyai dan ustadz “Buntet”; dan materi pengajaran yang ada di lembaga-lembaga pendidikan pun disampaikan oleh para “kiyai/ustadz “Buntet”. Dengan demikian, lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada di lingkungan pesantren, belum memperioritaskan untuk mengembangkan pengetahuan umum dan keterampilan; ini disebabkan karena sistem kepemimpinan sekolah dan SDM yaitu tenaga pendidik dan tenaga administrasinya yang telah ada masih belum banyak yang memiliki bidang bidang pengetahuan untuk mengembangkan penge-tahuan umum dan keterampilan.
Dengan keadaan seperti di atas, maka bagi masyarakat yang hanya berharap yang penting anaknya belajar di lembaga pendidikan dan kelak mampu memahami serta memiliki pengetahuan keagamaan, tampaknya lembaga-lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Buntet dapat dipertimbangkan. Tetapi bagi masyarakat yang berharap banyak agar anaknya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), keterampilan terapan serta mampu memahami pengetahuan keagamaan sekaligus, maka lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Pesantren Buntet belum dapat dijadikan standard untuk harapan itu. Karena itu, lembaga-lembaga pendidikan yang dikehendaki masyarakat adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang Iptek, keterampilan sekaligus mengajarkan keimanan dan akhlaq yang baik (akhlaq al-kariemah) sebagai penyeimbang Iptek yang dipelajarinya. Lembaga-lembaga pendidi-kan yang dikehendaki masyarakat ini, belum ada di Pondok Pesantren Buntet.
Karena itu, para kiyai dan pengelola Pondok Pesantren Buntet dengan penuh kesungguhan mereka berjuang melakukan berbagai revisi dan innovasi atau peru-bahan. Revisi yang dilakukan para “kiyai Buntet” adalah berusaha menjadikan “lembaga sosial keagamaan” menjadi sebuah sistem lembaga kependidikan. Sedangkan innovasinya, melakukan berbagai perubahan dan mengimplementasikan visi yang telah diupayakannya itu dalam bentuk mendirikan beberapa lembaga pendidikan –baik dalam bentuk madrasah, sekolah umum ataupun sekolah kejuruan. Dari sinilah diketahui bahwa KH. Abbas Abdul Jamil mendirikan MWB,  MWI, KH. Mustahdi Abbas (MTs NU Putra dan Putri/PGA, MA, MAN), KH. Mustamid Abbas (MA NU Putra dan Putri) dan KH. Abdullah Abbas (MAK, AKPER) adalah sebagai upaya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada pada sekaligus memenuhi tuntutan masyarakat yang menginginkan agar pondok pesantren tidak hanya membuka lembaga pendidikan yang mengajarkan materi pengetahuan agama, tapi juga lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan pengetahuan agama, pengetahuan umum dan keterampilan. 
Dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang berorientasi kepada agama dan Iptek, maka sudah jelas bahwa orientasi pendidikan di Pondok Pesantren Buntet yaitu berusaha membimbing dan membina manusia Indonesia selalu beriman dan bertaqwa kepada Allah swt., memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi tapi juga berakhlaq mulia (akhlaq al-kariemah) serta mandiri. Dengan demikian, orientasi pendidikan di Pondok Pesantren Buntet merupakan implementasi dari tujuan pendidikan nasional yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebang-saan”.
E.    Temuan dan Implementasi Hasil Penelitian
1.     Asrama Besar dan Asrama Kecil
Di lingkungan Pondok Pesantren Buntet, hingga penelitian ini berlangsung, terdapat 37 buah asrama/pondok santri, ke semuanya adalah milik kiyai atau pembina Pondok Pesantren Buntet yang dihuni oleh santri yang jumlahnya beragam. Ke-37 buah asrama/pondok santri itu disebut “asrama kecil”. Di samping itu ada yang disebut “asrama besar” (asbes), yaitu sebuah bangunan permanen berlantai dua, terdiri dari 12 kamar dan ditemapti oleh kurang lebih 70 orang santri. Karena berada di luar rumah kiyai, sehingga mereka seolah-olah tidak punya “bapak asuh”.
Keadaan dualisme asrama/pondok santri itulah sehingga Drs. H. Bisri Imam (salah seorang keturunan dari pendiri Pesantren Buntet) mengatakan ,
Pesantren Buntet sesungguhnya bukanlah pesantren, melainkan pondok. pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdiri dari beberapa kamar pondok, rumah kiyai dan sebuah masjid. Melalui pondok itulah para santri menetap untuk beberapa waktu yang tidak ditentukan. Sedangkan santri Buntet, bukan tinggal di pondok yang ada di pesantren, melainkan tinggal di beberapa pondok yang milik para kiyai.   
Keberadaan dan pernyataan di atas menunjukkan bahwa, Pondok Pesantren Buntet berbeda dengan beberapa pesantren lain yang ada di wilayah III Cirebon. Di beberapa Pesantren pada umumnya, pondok/asrama santri bukan milik orang-orang tertentu, melainkan milik Yayasan Pendidikan Islam (YPI) yang dikelola secara organisasi. Di dalam YPI terdiri dari beberapa orang pengurus sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. 
Implikasinya. Dengan adanya dua sistem asrama/pondok santri, maka ada beberapa hal yang terjadi di Pesantren Buntet yaitu pertama sistem pembinaan dan kedua kualitas santri.  
Pertama, sistem pembinaan santri. Sistem pembinaan terhadap santri yang berada di asrama/pondoknya kiyai, sangat ditentukan oleh “kualitas” kiyainya; mereka memper-oleh pengawasan dan perhatian penuh dari kiyainya sebagaimana kiyai mengawasi dan memperhatikan keluarganya, karena mereka juga “anggota keluarganya”. Begitu juga dalam belajar keagamaan, mereka memperoleh pengetahuan keagamaan sesuai dengan keahlian dan kualitas kiyainya. Berbeda dengan santri yang ada di “asrama besar”, karena mereka tidak memiliki “bapak asuh” sehingga perilaku dan kegiatan mereka seolah-olah tidak memperoleh pengawasan dari siapapun. Mereka belajar sesuai kemampuan dan kemauamnya sendiri; mereka bebas memilih kiyai dan jenis KK yang akan dipelajarinya.
Keadaan di atas menunjukkan bahwa, di Pondok Pesantren Buntet terjadi dua atau polisistem pembinaan dan bahkan diskriminatif terhadap santri yang tinggal di asrama besar. Di samping itu, Pesantren Buntet tidak memiliki data santri secara administratif yaitu santri yang betul-betul miliki Pondok Pesantren Buntet, bukan santri milik Pondok Pesantren Buntet.
Kedua, kualitas santri. Berkaitan dengan dua atau polisistem pembinaan di Pondok Pesantren Buntet, berdampak kepada kualitas santri baik dalam penguasaan pengetahuan umum dari sekolahnya maupun pengetahuan agama dari pondoknya. Bagi santri yang tinggal di pondok “A”, misalnya ia dinilai berkualitas baik, lantaran di pondoknya selalu diarahkan dan diawasi agar selalu belajar; begitu juga dalam menjalankan ibadah, membaca al-quran dan mempelajari KK mereka diberi arahan untuk memilih KK yang sesuai dengan kemampuannya. Berbeda dengan santri yang tinggal di pondok “B” yang dinilai kurang berkualitas karena tidak selalu memperoleh pengawasan dan arahan dari kiyainya. Dengan demikian, perhatian intensif dari kiyai dan keahlian kiyai dalam penguasaan KK  sangat menententukan kualitas santri.
b. Latar Belakang Pendidikan Pembina Pesantren
Pondok Pesantren Buntet, hingga penelitian ini berlangsung, dibina oleh 51 orang pembina yang terdiri dari kiyai ustadz/ustadzah. Dipelajari dari latar belakang pendidikan (sekolah dan pesantren)nya, 24 orang pembina di antaranya adalah lulusan dari Pondok Pesantren Buntet yaitu mereka memperoleh pengetahuan keagamaan (al-quran dan KK)-nya dari orang dan saudara-saudaranya atau dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Pesantren Buntet. Sebagian besar dari mereka adalah ustadzah yang melanjutkan kepemimpinan suaminya dalam membina santri yang ada di pondoknya. Mereka dalam membina santrinya, dibantu oleh anak dan menantunya yang telah selesai mesantren di beberapa Pesantren di luar Pondok Pesantren Buntet bahkan ada yang lulusan dari Makkah, Madinah atau Madinah.
Disinyalir bahwa dulu anak wanita dilarang belajar ke luar Buntet, karena yang diajarkan kepada santri wanita sama seperti yang diajarkan oleh orang tuanya di rumah yaitu belajar al-quran dan beberapa KK tentang kewanitaan. Di samping itu, usia belajar wanita tidak lama yaitu hanya sampai usia 17/20 tahun setelah itu mereka dinikahkan dengan ustadz atau kiyai kemudian membina pondoknya.
Melihat kenyataan di atas, maka dimaklumi jika beberapa ustadzah yang sekarang menjadi pembina di beberapa pondok di Pondok Pesantren adalah karena saat itu kaum wanita dibatasi waktu dan tempat belajarnya Di samping itu, ada beberapa kiyai yang dalam membina lembaga pendidikan yang ada di rumahnya dikelola secara turun-temurun. 
Implikasinya. Dampak langsung dari latar belakang pendidikan para pembina ini adalah kepribadian dan keahlian santri dalam penguasaan KK yang dipelajarinya; santri akan menguasai suatu KK, sesuai dengan kitab yang diajarkan kiyainya. Karenanya, santri yang tinggal di rumah kiyai dengan keahlian tertentu, terutama pengetahuan keagamaan maka ia akan mewarisi ilmunya. Dengan demikian, kualitas santri dalam memahami dan menguasai KK tidak hanya ditentukan oleh sistem pembinaan melainkan kualitas dan keahlian kiyai dalam penguasaan KK juga sangat menentukan.    
c. Sistem Kepemimpinan
Lajimnya sebuah lembaga kependidikan, dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi programnya selalu ditentukan secara bersama-sama antara anggota dan pimpinan lembaga. Pesantren Buntet, sebagai lembaga pendidikan Islam, yang menyelenggarakan dua bahkan tiga jenis pendidikan (pendidikan keagama-an, keumuman dan kejuruan) masing-masing lembaga pendidikan tersebut memiliki kepemimpinan dengan programnya yang berbeda-beda. Namun ketiga jenis lembaga pendidikan ini, dalam pertanggung jawaban programnya sangat ditentukan oleh sistem kepemimpinan Pesantren.
Sistem kepemimpinan yang berlangsung di Pondok Pesantren Buntet, secara umum juga terjadi di beberapa Pesantren tradisional lainnya yaitu selalu dipimpin oleh kiyai keturunan dari kiyai pendiri Pesantren (mbah Muqayim atau K. Muta’ad). Namun dipelajari secara mendasar, sistem kepemimpinan di Pondok Pesantren Buntet memi-liki ciri khas tersendiri. Kekhasan ini terjadi, karena latar belakang berdirinya Pondok Pesantren Buntet yang didirikan oleh seorang kiyai (mbah Muqayim) yang berasal dari keluarga Kesultanan Cirebon, sehingga dalam mengendalikan kepemimpinannya tampak seperti mengendalikan sebuah kerajaan yakni diutamakan kepada kiyai putra dari istri pertama. Ini dapat diperhatikan, antara lain dari sebutan “Buntet Pesantren” dan suasana daerah.
Buntet Pesantren, memiliki kedalaman makna yang berbeda dengan Pondok Pesantren Buntet. Buntet Pesantren adalah area atau wilayah daerah yang dihuni oleh keturunan mbah Muqayim, sedangkan Pondok Pesantren Buntet adalah lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh keturunan mbah Muqayim bertempat di tengah-tengah masyarakat Buntet Pesantren. Masyarakat Buntet meliputi, penduduk Desa Mertapada Kulon, Desa Mertapada Wetan, Desa Buntet, Desa Munjul, Desa Ender dan beberapa desa yang berada di wilayah Kecamatan Astanajapura bahkan beberapa Desa lain yang berada di Desa Kempek dan Desa Babakan (Kec. Ciwaringin), Kelurahan Argasunya (Kota Cirebon). Ke semua desa tersebut, masyarakatnya sebagian besar adalah keturunan mbah Muqayim. Di samping itu, mereka selalu menjaga keutuhan “kerajaan” Buntet Pesantren yakni Islami, gotong royong dan bahkan sistem pernikahan yang lebih mengutamakan keluarga Buntet. Ini barangkali yang dimaksud Abdurrachman Wahid (1979) bahwa, “Pesantren adalah tatanan masyarakat yang selalu menjaga suasana dan kultur Islami seperti shalat selalu berjamaah, selalu menjaga sunnah Rasul yakni saling menasihati kesabaran dan ketaqwaan serta bertegur-sapa dengan bahasa agama”.
Implikasinya. Sistem kepemimpinan yang dibangun atas dasar keturunan dan senioritas, biasanya berakibat pada sikap pemimpin yang otoriter terhadap anggotanya baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan program kerja. Ia kurang bahkan tidak sepenuhnya mempercayai pekerjaan bawahannya dan cenderung mengangkat orang yang disenanginya. Ketika memimpin rapat, ia lebih mendominasi pembicaraanb dan berusaha memaksakan pendapatnya daripada menerima masukan dari pengurus lain. Karenanya wajar jika bentuk kepemimpinan ini identik dengan kepemimpinan yang berlaku di kerajaan. Pondok Pesantren Buntet dipelajari dari sejarahnya, ia didirikan oleh para kiyai keturunan dari kesultanan (kerajaan) Cirebon, sehingga dinilai ada kemiripan dalam menjalankan kepemimpinannya.
d. Dualisme Kelembagaan Pendidikan Islam
Di pondok pesantren Buntet, terdapat dua lembaga yang megkoordinasikan lembaga-lembaga pendidikan yaitu LPI dan YPI. LPI mengkoordinasikan lembaga-lembaga pendidikan Islam baik yang bersifat pendidikan luar sekolah (PLS) seperti madrasah diniyah, madrasah masjid dan majlis taklim, ataupun yang bersifat pendidikan sekolah seperti MI NU, MTs NU, MA NU dan MAK NU. Sedangkan YPI mengkoordinasikan lembaga pendidikan kejuruan yaitu AKPER. Kedua lembaga ini, masing-masing memiliki peran, struktur dan kepemimpinan yang berbeda walaupun ada beberapa pembina yang menjadi pengurus di dua lembaga tersebut. Kenyataan inilah yang dimaksud bahwa, di Pondok Pesantren terdapat dua penyelenggara pendidikan.
Implikasinya.  Dengan adanya dua penyelenggara pendidikan, maka dapat dipastikan keduanya masing-masing memiliki fungsi dan peran yang berbeda. Sehingga ada dugaan bahwa, para pembina/kiyai di Pondok Pesantren Buntet tidak memiliki kebersamaan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kenyataan ini dapat diperhatikan dari salah satu bentuk penentuan kebijakan untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi (LPTA). Mereka selalu berbeda pendapat: apakah LPI atau YPI yang berhak dan bertanggung jawab ketika LPTA itu didirikan. Sehingga akhirnya, LPTA sejak direncanakan pada 1997 hingga penelitian ini dilakukan, berlum terwujud bahkan Sekolah Tinggi Agama Islam, salah satu bentuk LPTA telah berdiri bukan didirikan oleh dan di Pondok Pesantren Buntet melainkan didirikan oleh tokoh masyarakat desa Mertapada Kulon.
















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1994
Abdurrachman Wachid, Pesantren sebagai Subkultur dalam Dawam Rahardjo (Ed) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1979
Abu Hamid, Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah di Sulawesi Selatan dalam Taufiq Abdullah (Ed), Agama dan Perubahan Sosial, Rajawali, Jakarta, 1993
Achmad Nurhadi Jamil, Epistemologi Pendidikan Islam Suatu Telaah Refleksi Qurani, dalam Chabib Thaha, dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
Achmad Tafsir, Epistemologi Pendidikan Islam, Rosda Karya, Bandung,1995
-------------------, Ilmu Pendidikan dalam Perespektif Islam, Rosda Karya, Bandung, 1992
Al-Nahlawi, Abdurrachman, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Gema Insan Press, Jakarta, 1995
Amri Murzali, Pergeseran Orientasi Nilai Kebudayaan dan Keagamaan dalam Kaitannya dengan Perubahan Sosial-Kebudayaan Di Indonesia dalam Abdul Aziz Penelitian Agama dalam Perspektif, Depag RI., Jakarta, 1995
Astrid S. Susanto, Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta, 1984
Bogdan, C, Robert & Biklen, Knop Sari, Qualitative Research for Education: An Intreoduction to Theory and Methode, Allyn and Bacon, Inc, Boston, AS, 1982
Brower, MAW, dkk., Kepribadian dan Perubahannya, Gramedia, Jakarta, 1982
Buche B. Soedjojo dan Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1986
Busyairi Madjid, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1997
Chabib Thaha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1977
Consuelo, G, Sevila, et all., Pengantar Metode Penelitian, Terj. Alimuddin Teue, UI Press, Jakarta, 1993
Coombs, H, Philip, The World Crisis in Education, Oxford University Press, Cambridge, 1989.
Dawam Rahardjo, Gambaran Pemuda Santri dalam Taufiq Abdullah (Ed) Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1982 
---------------------- (Ed), Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1986
Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 1998.
-----------------, Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi Di Indonesia, Rosda Karya, Bandung, 1997
Escober M,. dkk. (Ed), Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme yang Licik, LKIS, Yogyakarta, 1998
Geertz, Clifort, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1978
Guba, G & Lincoln, S, Yvona, Naturalistic Inquiry, Sage Publication, Beberly Hills, Lonjdon, New Delhi, 1984
Hasan Langgulung, Azas Azas Pendidikan Islam, Alma’arif, Bandung, 1978
Hemming, James, Individual Morality, Nelsen and Sons Ltd, Capewood, New Jersey, 1969.
Horikosih, Hiroko, Kiyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987
Joyce, Bruce & Weil, Marsha, Models of Teaching, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey, 198
Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Cemara Indah, Jakarta, 1978,
Koentjoroningrat, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1976
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1978
Krech, David, cs., Individual in Society, Mc, Grow Hill Book Company, Inc, New York. 1962
Mar’at, Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Bandung, 1982
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Karya Bhakti, Jakarta, 1996
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994
Mochtar Buchari, Transpormasi Pendidikan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988
Moeslim Abdurrachman, Islam Transformatif, Gema Insan Press, Jakarta,1995
Moh. Rusli Karim Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Muslih Usa (Ed) Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, Tiara Wacana, Jakarta, 1996
Moleong, J, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung, 1989
Nasrullah Ali-Fauzi (Ed), ICMI antara Status Quo dan Demokrasi, Mizan, Bandung, 1995
Nasution, S., Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta, 1996
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Studi Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1979
---------------------, Iptek berwawasan Moral, Perspektif Filsafat dan Pemikiran Islam dalam Mastuhu, dkk (Ed), Iptek Berwawasan Moral, IAIN Syarif Hidayatullah Press, Jakarta, 1998
---------------------, Perlunya Menghidupkan Kembali Pendidikan Moral, dalam Saiful Mujani dan Arief Subhan (Ed) Pendidikan Agama dalam Perpektif Agama Agama, Dirjen Dikti, Depdikbud, Jakarta, 1995
Nurcholis Madjid, Kurikulum Pondok Pesantren dalam Dawam Rahardjo (Ed) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1982
-----------------------, Dialog Keterbukaan, Paramadina, Jakarta, 1998
-----------------------, Masyarakat Religious, Mizan, Bandung, 1998
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1996
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Ilahi, Jakarta, 1994
Robert N. Bella, Tokugawa Religion, 1970
Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Pedoman bagi Guru dan Calon Guru, Rajawali Press, Jakarta, 1997
Seolaiman Jeosoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, Bumi Aksara, Jakarta, 1992
Suharsimi Arikunto, Organisasi dan Administrasi: Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Rajawali Press, jakarta, 1992
Sudjoko Prasodjo (Ed), Profil Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982
St. Takdir Ali Syahbana, Antropologi Baru: Nilai-nilai sebagai Tenaga Integrasi dalam Pribadi, Masyarakat dan Kebudayaan, Dian Rakyat, Jakarta, 1960
Suyoto, Pesantren dan Pendidikan dalam Dawam Rahardjo (Ed), Pergulatan Pesantren, P3M, Jakarta, 1985
Tatang M. Amirin, Teori Sistem sebuah Pengantar, Rajawali Press, 1985
Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewarisa Nabi Selayang Pandang Sejarah Ulama, Bina Ilmu, Surabaya, 1998
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan, Gema Insani Press, Jakarta, 1997
Yusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insan Press, Jakarta, 1995
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1983
Zamachsyari Dzofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, LP3ES, Jakarta, 1984
----------------------, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Ruhama, Jakarta, 1995
Zubaidi Habibullah Asy’ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, LKPSM, Yogyakarta, 1996
Zuhairini, Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1996

0 Response to " "

Posting Komentar