AL-GHAZALI vs. JOHN LOCKE

PENDIDIKAN ANAK
MENURUT AL-GHAZALI DAN JOHN LOCKE
OLEH;
SUTEJA
ANGKATAN III
PROGRAM PASCARAJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SUNAN AMPEL SURABAYA
2000 M.
 BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Usia tujuh tahun sampai duabelas tahun bagi seorang anak manusia, menurut Khonstamn, merupakan fase intelek dimana anak sangat membutuhkan bantuan bagi penyempurnaan akal atau fikirannya. Pada masa itu cara berfikir anak masih bersifat persepsional, ia hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat indrawi. Ciri lain yang menonjol dari anak adalah dimilikinya daya ingat yang kuat dan kemampuan menghafal memoratif . Bantuan yang dibutuhkan berupa bantuan dan bimbingan untuk melatih dan membina kemampuan berfikir abstraks, tidak berfikir konkrit.
Perhatian anak sudah meluas kepada hal-hal yang ada diluar dirinya. Namun demikian, perhatian itu lebih terpusat kepada hal-hal atau maslah-masalah indrawi dan memandang sesuatu secara apa adanya. Kecenderungan terhadap benda-benda tersebut sebenarnya memiliki hubungan erat dan saling mempengaruhi dengan kecenderungan fisik jasmaniah yang dinamis dan aktif. Maka, sangat tepatlah bila pendidikan memberikan bantuan melatih dan membiasakan pertumbuhan fisik secara harmonis, sesuai dengan kecenderungan untuk bergerak aktif.
Dalam kehidupan sehari-hari anak lebih di pengaruhi oleh kecenderungan meniru yang kuat. Pendidikan bertugas memberikan warna terhadap perilaku dan tindakan anak. Pendidikan bertugas memberikan warna terhadap perilaku dan tindakan anak. Ciri anak yang dinamis, mudah meniru dan modal berfikir persepsional tidak dapat dibiarkan dengan sendirinya agar tidak tersesat jalan dan konteks moral condact (istilah brameld). Pendidukan bertugas mencegah jangan sampai  anak dimasuki pikiran-pikiran buruk yang  melandasi perbuatannya, dan terbiasa melakukan tindakan moral yang baik dan terpuji. Dengan memperhatikan ciri-ciri kepribadian tersebut, pendidikan bertugas membantu perkembangan seluruh aspek kepribadian anak secara wajar dan harmonis.
Terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia tersebut, baik ahli didik Timur maupun Barat  telah memberikan formulasi yang baik setidaknya sebagai sebuah karya yang khas untuk masa dan generasinya. Diantara tokoh dan ahli didik yang akan di jadikan pokok penelitian ialah al-Ghazali (1058-1011 M), mewakili tokoh Timur, John Locke (1632-1704 M), mewakili tokoh Barat. Kedua tokoh itu, pada dasarnya, mengakui pengaruh lingkungan sebagai faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.
Al-Ghazali, melalui karya-karyanya, seperti Ihya’ ‘Ulum al-Din (ditulis di Damaskus antara 941 H. sampai Dhu al-Hijjah 499 H/9 Desember 1097 sampai Juli 1106), Bidayat al-Hidayah, Ayyuha al-Walad dan Mizan al-‘Amal, memberikan perhatian terhadap pendidikan anak dengan corak dan warna tasawwufnya. Pendidikan yang di kehendaki al-Ghazali pendidikan yang berorientasi kepada pencegahan anak dari pengaruh lingkungan dan pergaulan yang buruk. Kurikulum pendidikan menitikberatkan penguasaan ilmu-ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan dan dapat menghantarkan kepada kebahagiaan abadi. Sebagai tokoh yang secara langsung terlibat dalam kegiatan pendidikan, al-Ghazali memberikan perhatian terhadap materi-materi yang mesti di berikan bagi usaha membantu pertumbuhan fisik jasmaniah, walaupun sebatas kepada jenis permainan yang berfungsi sebagai selingan dan olah raga yang tidak melanggar norma-norma agama, serta tidak menyebabkan kelelahan dan tidak mendatangkan kemalasan.
John Locke, dengan karya-karyanya seperti Essay Concerning Human Understanding  ( 1689-1690), Tought Concerning Education  (1693), Conduct to Undarstanding and Thought on Education (1695), di kenal sebagai tokoh pendidikan empirisme yang memadukan pengetahuan denga pengalaman dan keseimbangan jasmani dan mental spiritual. Locke menghendaki pendidikan yang dapat menyediakan ide-ide baik, kebijaksanaan dan lingkungan serta pengalaman bagi anak. Sebagai tokoh pendidikan Locke dikenal sebagai ahli didik yang mengutamakaan faktor lingkungan alam dan sosial dalam rangka pembentukan kepribadian anak. Reformasi lembaga sekolah harus diarahkan kepada terciptanya lembaga yang mampu menyediakan lingkungan, realitas, situasi praktis dan kesempatan bekerja. Locke mencanagkan sekolah dan lembaga pendidikan pada umumnya dapat beradaptasi dengan kepentingan anak sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam realitas yang selalu berubah dan berkembang.
Bagi Locke, pendidikan harus memperhatikan empat hal pokok yaitu; kebajikan, kealiman, kesusilaan dan pengetahuan. Kebajikan adalah kemampuan memilih baik dari buruk dan dapat mengendalikan hawa nafsu serta dapat mengikuti petunjuk akal. Kealiman dan kesusilaan merupakan sesuatu yang harus dicapai dalam menciptakan individu yang dapat berkiprah dalam masyarakat. Sedangkan pengetahuan dirumuskan sebagai sarana untuk dapat menemukan jati diri dan sarana dalam menentukan sikap hidup beragama.
Muatan kurikulum pendidikan al-Ghazali dan Locke sepintas tampak sebagai kurirkulum ideal yang memuat tiga muatan pokok yaitu, nilai, pengetahuan dan keterampilan. Konsep pendidikan untuk kedua tokoh pada zamannya memiliki kehendak sama dimana keduanya mengakui peranan dan pengaruh lingkungan sebagai faktor pembentuk kepribadian. Namun demikian, disisi lain al-Ghazali lebih berorientasi kepada kehidupan ukhrawi dan Locke lebih memerankan  pendidikan sebagai sebuah proses yang membantu menciptakan generasi yang siap hadir dalam bermasyarakat dengan bekal dan keterampilan khusus. Orientasi itulah, setidaknya bagi penulis, yang menimbulkan pertanyaan kebenaran kedua konsep sebagai yang memiliki orientasi yang berbeda secara esensial. Dimanakah letak perbedaan dan titik temu kedua konsep tersebut?
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah
1.            Bagaimanakah konsep pendidikan anak menurut al-Ghazali?
2.            Bagaimanakah konsep pendidikan anak menurut John Locke?
3.            dimanakah titik temu kedua konsep pendidikan tersebut?
4.            dimanakah letek perbedaan kedua konsep pendidikan tersebut?
Beberapa pertanyaan tersebut pada dasarnya dapat dibatasi menjadi beberapa hal sebagai fokus penelitian. Fokus penelitian itu ialah perbedaan dan titik temu konsep pendidikn anak al-Ghazali dan John Locke.
C. Tujuan dan Signifikasi Pendidikan
Penelitian ini bertujuan untuk memeperoleh data tentang :
  1. Konsep pendidikan anak menurut al-Ghazali.
  2. Konsep pendidikan anak menurut John Locke.
  3. Titik temu dan perbedaan konsep  pendidikan anak menurut al-Ghazali dan John Locke.
Dengan mengetahui bebrapa hal tersebut diharapkan penelitian ini memberikan gambaran umum tentang pendidikan anak yang ideal di masa depan. Dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan konsep tersebut serta aspek-aspek kepribadian anak secara integral, diharapkan dapat memberikan solusi terhadap ketidaktepatan penyelenggaraan pendidikan yang cenderung memihak atau mengabaikan aspek kepribadian tertentu.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya mempergunakan metode studi dokumentasi dan studi kepustakaan dimana penelitian dilakukan dengan menelaah referen atau bahan bacaan yang berkaitan dengn masalah penelitian. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
  1. Mengidentifikasi data tentang pemikiran al-Ghazali dan John Locke pendidikan anak.
  2. mengkategorisasikan data yang telah diidentifikasikan
  3. Menganalisis data yang telah dikategorisasikan dengan mencari kesamaan, perbedaan dan titik temu ide-ide al-Ghazali dan John Locke tentang pendidikan anak, serta kesesuaian ide-ide dimaksud dengan konsep al-Qur’an Hadith.
E. Sistematika Penulisan
Dengan mengacu pada pedoman penulisan tesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, tesis ini berisikan enam bab yang terdiri dari:
1. Bab I Pendahuluan, terdiri dari:
a.      Latar Belakang Masalah
b.      Rumusan dan Pembatasan Masalah
c.       Tujuan dan Signifikasi Penelitian
d.     Metodologi Penelitian
e.      Sistematika Penulisan
f.        Penegasan Judul
  1. Bab II Gambaran Umum tentang Komponen pendidikan, didalamnya dipaparkan hal-  hal yang menjadi stressing pendidikan yaitu:
a.      Pendidikan Intelek
b.      Pendidikan Keimanan
c.       Pendidikan Akhlak
d.     Pendidikan Jasmani dan Keterampilan
  1. Bab III Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan anak dan analisis penulis.
  2. Bab IV Pemikiran John Locke tentang Pendidikan Anak. Bab ini memaparkan ide-ide John Locke tentang pendidikan anak dan analisis penulis.
  3. Bab V Perbedaan dan Titik Temu Konsep al-Ghazali dan John Locke tentang pendidikan Anak.
  4. Bab VI Kesimpulan.
F. Pengesahan Judul
Beberapa kata didalam buku yang perlu diperjelas ialah pendidikan dan anak. Pendidikan yang dimaksud adalah anak manusia yang berusia antara tujuh tahun sampai duabelas tahun.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG KOMPONAN PENDIDIKAN
SUTEJO
Pembahasan dalam bagian ini bermaksud mendeskripsikan konsep al-Qur’an tentang pendidikan yang difokuskan kepada pendidikan intelek, pendidikan keimanan dan pendidikan jasmani untuk dijadikan tolok ukur dalam mencermati konsep pendidikan anak dalam pandangan al-Ghazali dsan John Locke. Dalam bagian ini sudah tentu penulis juga memaparkan pendapat-pendapat para pemerhati dan ahli didik muslim.
A.   Pendidikan intelek
1.      Keutamaan Akal
Penghargaan dan penghormataan Islam terhadap akal tidak dapat disangsikan sebagai sesuatu yang sangat tinggi. Adam, sebagai bapak manusia, dilukiskan telah berhasil dengan kelebihan intelektualitasnya, melampaui ketinggian malaikat-malaikat Tuhan dan sekaligus telah berhasil menghapuskan keraguan terhadap kopetensi manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan untuk menciptakan kesejahteraan umat manusia.
Pembinaan aspek intelek pada dasarnya bertugas mendewasakan aspek kognitif secara wajar. Kedewasaan ini pada saatnya diharapkan dapat membantu mencapai kesempurnaan hidup yang sebenarnya.
2.   Sasaran Pembinaan
Ungkapan-ungkapan al-Qur’an mengenai pembinaan dan pendidikan aspek intelek setidaknya menjadi tiga hal pokok yang menjadi sasaran. Pertama, sebagai sarana penganalan jati diri manusia melalui proses pengamatan, perenungan dan pengkajian-pengkajian terhadap alam. Jalan yang ditempuh al-Qur’an dalam mempnjelaskan rububiyah Tuhan tidak sama sekali mengandung unsur pemaksaan dan keterikatan terhadap Zat-Nya semata-mata, melainkan lebih menciptakan kondisi berfikir liberal dimana manusia di beri kesempatan memikirkan hal-hal metafisik dan berakhir kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan.
Pengalaman terhadap jati diri manusia seperti didiskripsikan al-Quran merupakan jalan paling efektif dalam pendidikan intelek. Mohammad Fadil al-jamaliy meyakininya sebagai tujuan pendidikan yang harus dicapai sebelum manusia dapat sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan. Seluruh tujuan pendidikan qurani terletak kepada persoalan individu manusia dalam hubungannya dengan kedudukan dan dan tanggungjawab dalam kehidupan, dan
3.   Pendidikan Intelek dan pencerahan
Pendidikan intelek pada dasarnya bertujuan membentuk pikiran dengan ilmu-ilmu shari’at dan peradaban modern, serta usaha pencerdasan sehingga terkondisikan tradisi berfikir kritis, radiks dan produktif. Pendidsikan intelek berfungsi sebagai usaha pencerdasan, pemberdayaan dan pengajaran. Tiga persoalan pokok yang terkandung didalamnya, dengan demikian, adalah persoalan pengajaran, pencerdasan dan pemeliharaan kesehatan akal. Hal ini sangat relavan dengan kelima wahyu yang pertama turun telah memproklamirkan kemuliaan berfikir sebagai sebuah pengembaran intelektual dalam memperkaya diri dengan peradaban.
B.   Pendidikan keimanan
Manusia lahir dari dua hakekat berbeda, tanah bumi dan roh suci. Tanah merupakan simbol kerendahan dan kenistaan serta kotoran, sedangkan roh adalah hakekat yang suci. Gabungan debu dan spirit suci manusia menjadi makhluk dua dimensi dengan dua arah, kecenderungan yang satu membawa kepada substansi sedimenter, atau ke dasar hakekatnya yang redah dan dimensi spiritual cenderung naik ke puncak spiritual yang tinggi yaitu Zat Maha Suci.
Terhadap dimensi spiritual manusia Al-Qur’an memberi beberapa ketentuan sebagai petunjuk pensucian tetapi tidak sama sekali mengeliminir aspek-aspek lainnya. Pensucian itu pada dasarnya akan bermuara kepada empat sasaran pokok yang menjadi stressing pendidikan yaitu aspek keimanan, aspek akhlak, aspek intelek,dan aspek fisik jasmani. Adapun jenis dan sasaran pendidikan patut memperhatikan penyempurnaan intelek (ra’sun), hati nurani (qalb) dan ketrampilan (yad).
1.   Pendidikan Keimanan dan Penyempurnaan Hidup
Pendidikan keimanan adalah instrumen penting untuk membantu kedewasaan dan kesempurnaan hidup sebagaimana dikehendaki Al-Qur’an. Fondasi awal yang akan membentuk landasan kuat dan jadi pendorong menuju tindakan dan perilaku baik. Keimanan ibarat sumber mata air yang darinya memancar akhlak dan perilaku baik. Keimanan merupakan hidayah ilahiyah dan saling mempengaruhi antaranya dan perilaku seseorang.
Tinjauan kependidikan bermaksud mencari bentuk dan jenis usaha dan proses mendidik sebagai salah satu keniscayaan bagi tujuan kesempurnaan hidup. Tujuan berikut yang hendak dicapai ialah ditemukannya materi dan pendekatan yang mesti diaplikasikan.
Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk dengan kelebihan beragam. Dalam bidang intelek lebih tinggi dari makhluk lainnya, dalam bidang spiritual ia memiliki kecenderungan untuk dekat dengan tuhan, serta memiliki kesadaran moral, disamping kelebihan-kelebihan yang lainnya. Manusia dengan segala potensi dan keutamaan tersebut dituntut mampu mengarahkan dan mengembangkannya. Dialah yang berkewajiban membentuk dirinya sendiri. Untuk mencapai kesempurnaan yang diinginkannya, manusia dituntut memiliki kepercayaan, keyakinan. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan yang timbul dari kesadaran dan kebebasan yang telah diberikan secara fitrah. Ketakinan adalah langkah awal menuju keimanan, amal saleh dan kerja keras di jalan Allah. Keyakinan dapat merubah ilmu pengetahuan menjadi sangat bermanfaat. Mansia sempurna adalah manusia yang berkeyakinan.
 Keyakinan, kepercayaan dan keimanan adalah fenomena kejiwaan. Dengannya seseorang menangguhkan dan mengesampingkan kemampuan rasio, dengan cara menerima jawaban-jawaban nonrasional. Pada usia anak-anak penanaman penanaman kepercayaan atau keimanan terhadap nilai-nilai agama yang universal merupakan masa sangat effektif, dalam usaha meletakan dasar-dasar keagamaan yang diharapkan dapat memotivasi perilaku dan tindakan baik di masa mendatang.
 Keyakinan keagamaan atau keimanan yang kuat menyebabkan manusia berjuang melawan kecenderungan-kecenderungan buruk. Hal ini sangat memungkinkan jika sejak anak-anak keyakinan dianggap sebagai sesuatu yang benar, karena diajarkan dengan cara-cara yang benar. Keyakinan atau kepercayaan terhadap keluhuran kehidupan spiritual yang diberikan sejak diri diharapkan dapat memotivisir lahir dan berkembang perilaku atau amal saleh dalam segala aspek kehidupan.
2.   pendidikan Keimanan dan Keesaan Tuhan
 Kecenderungan baik dan kecenderungan buruk adalah dua dimensi alamiah manusia. Ia merupakan sesuatu yang wujud dan karenanya mesti dilatih. Tidak adanya latihan secara tepet dan benar mengakibatkan kerusakan-kerusakanyang sangat mengerikan seperti pemujaan terhadap berhala dan sejenisnya. Latihan yang tepat dan benar terhadap fitrah keagamaan akan dapat memberikan jawaban tegas tentang adanya dan esanya tuhan. Kepercayaan beragama atau keimanan pada dasarnya merupakan sekumpulan jawaban yang didasarkan atau teologi, ilmu ketuhanan atau penafsiran atas ketentuan-ketentuan gaib terhadap berbagai masalah mendasar yang ditimbulkan akal fikiran.
Kepercayaa yang benar, hasil latihan yang benar dan tepat, akan memberikan kepastian jawaban adanya Tuhan., keharusan menyembah dan beribadah kepada Tuhan, keharusan menciptakan kesejahteraan dan bentuk-bentuk prilaku baik. Dasar-dasar inilah yang disebut nilai. Sedangkan dasar-dasar yang khusus disebut kepercayaan. Dengan demikian kepercayaan kepada Tuhan merupakan penerapan secara kongkrit nilai-nilai keimanan dan keimanan itu sendiri adalah nilai universal. Oleh karena iti, persoalan beragama adalah kebutuhan setiap individu.
2.      Tugas Pendidikan   
Pendidikan keimanan bertumpu kepada persoalan dasar fitrah manusia. Bertugas menjaga dan memelihara fitrah ketuhanan dan mengembangkannya. Selanjutnya, pendidikan pendidikan bertugas membina nilai-nilai keimanan yang tertanam. Pemeliharaan diarahkan kepada upaya mentauhidkan Allah dan penbinaan nilai mengarah kepada bagaimana nilai keimanan membuahkan rasa persamaan dan keadilan.
Adapun beberapa langkah yang dapat ditenpuh ialah, membina aqidah islamiyah melalui cara-cara penalaran untuk memperkenalkan makna islam, iman dan ihsan. Kedua, melakukun motivasi dengan menanamkan rasa tidak suka terhadap keburukan dan kehinaan serta kerusakan dan kecelakaan. Selain itu, pendidikan bertugas memberikan teladan dan perumpamaan-perumpamaan akibat dari perilaku buruk yang melahirka kerugian dan kebinasaan.
C. Pendidikan Akhlak
Al-Qur’an menggariskan sifat dan pembawaan baik sebagai potensi dasar yang membutuhkan pembinaan dan pengembangan. Sifat baik dibawa sejak anak-anak dan pendidikan bertugas menghidupkan, menyuburkan serta mengembangkannya kedalam jiwa anak. Sedangkan potensi buruk harus di kompensasikan, setidaknya dicegah agar tidak berkembang.
Pendidikan bertugas membentuk pribadu saleh dalam bermasyarakat kesalehan bermasyarakat tercermin dalam prilaku keseharian yang harmonis dan melahirkan timbal balik saling menguntungkan antar perseorangan dalam kelompok sosialnya. Dalam kehidupan nyata, pendidikan akhlak lebih menampilkan diri sebagai sebuah prosrs mengatasi ketidakharmonisan kepemilikan ilmu pengetahuan dengan apa yang disebut dengan amal perbuatan keseharian.
Secara esensial pendidikan akhlak bermaksud untuk berupaya menghapus kesan keberpihakan islam terhadap mementingkan aspek ukhrawi semata-mata di satu sisi, atau keberpihakan terhadap kesalehan individual disatu sisi dan mengesampingkan keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Pendidikan akhlak diharapkan mampu melahirkan pribadi-pribadi inklusif dan tidak eksklusif, tetepi tetap mampu mempertahankan nilai-nilai moral yang islami.
D. Pendidikan Jasmaniah dan Ketrampilan      
Konklusi yang tidak dapat dibantah kebenarannya dari berbegai nas al-Qur’an, bahwa hakekat manusia adalah perpaduan antara unsur materi dan ammateri yang terdiri dari akal, roh dan jiwa. Pembinaan terhadap dua unsur pokok itu hendaknya dinerikan secara imbang dan harmonis. Secara berulang-ulang al-Qur’an menegaskan tugas kekhalifahan manusia mensyaratkan tidak saja keimanan yang kokoh dan moralitas tinggi serta penguasaan sejumlah teori. Untuk dapat menjadi khalifah yang dapat menciptakan kesejahteraan dan mensejahterakan alam, justru kepemilikan terhadap keahlian mengaplikasikan teori-teori merupakan keharusan mutlak.
Pengabdian terhadap Tuhan dan terhadap sesama sebagai dimensi kehambaan dan kekhalifahan secara langsung mensyaratkan keahlian dan ketrampilan, technical skills, disamping kepemilikan terhadap sejumlah keilmuan teoritis. Pendidikan  dan ketrampilan fisik secara umum diarahkan kepada usaha menciptakan individu-individu yang memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan bangsa. Pendidikan jasmani dan ketrampilan bertugas mempersiapkan pribadi-pribadi yang sehat, cakap, trampil, produktif dan mandiri untuk siap melayani kebutuhan masyarakat.
Kedewasaan secara sosial sebagamana diisyaratkan al-Qur’an dan al-Hadith yang menjadi tugas pendidikan adalah terciptanya sumber daya manusia yang tidak menjadi beban bagi masyarakat, baik secara ekonomi atau sosial. Bagi Ibn Kholdun (w. 808 H.) misalnya, pemahaman pemahaman intelektual semata tidak mencukupi kebutuhan dasar hidup manusia. Karenanya, pendidikan ketrampilan khusus semisal perkebunan, pertukangan, perbengkelan, dan sejenisnya merupakan keniscayaan. Pembekalan ketrampilan tersebut setidaknya bertujuan untuk dapat menciptakan berbagai perangkat kehidupan dalam pemenuhan kebutuhan materi yang layak, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang terkait dengan persoalan ekonomi.
Pendidikan ketrampilan pada dasarnya bertugas menyediakan sarana dan bukan umpan. Pendidikan bertugas menyediakan peluang dan kesempatan untuk berproses menjadi kreatif, produktif dan mandiri serta mengembangkan ke arah dinamisasi sesuai perkembangan yang wajar. Manusia, semenjak kanak-kanak dibedakan dari binatang karena dinamika dan progresifitas aktuvitasnya dalam memilih, berbuat dan menghidupi dirinya. Dengan karunia akal fikiran, hati nurani, insting dan potensi lahiriyah berupa tubuh jasmani manusia dipersiapkan untuk dapat hidup dengan potensi yang dimilikinya, tanpa bergantung kepada uluran tangan orang lain.
Pendidikan ketrampilan adalah proses pemberdayaan individu untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi. Proses ini akan melahirkan kosekuensi berupa keharusan melakukan pencerahan dan penyadaran terhadap potensi yang dimiliki serta penyadaran terhadap eksistensi  potensi alam yang disediakan untuk diolah menjadi kesejahteraan umat manusia.
BAB III
PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN ANAK
SUTEJO
A. Konsep tentang Pembinaan Akal Anak
Gambaran sederhana tentang pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan, dengan memperhatikan beberapa karyanya seperti Ihya ‘Ulum al-Din, ayyuha al-Walad, Mizan al-‘Amal, Kimiya al-Sa’adah, Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-‘Abidin, dapat dikemukakan bahwa tidak satupun karyanya yang mambahas secara sistematis mengenai pendidikan sebagaimana para ahli didik sesudahnya. Dengan menjadikan karya-karyanya tersebut sebagai sampel, bagian ini mencoba mengemukakan beberapa poin pembahasaaan yang diharapkan mewakili konseppendidikan al-Ghazali. Atas pentingnya menonjolkan yang hendak dicapai dari sebuah proses pendidikan, bagian ini difokuskan pada empat aspek pembinaan, yaitu pembinaan akal anak, pembinaan keimanan anak, pembinaan akhlak anak dan pembinaan aspek jasmaniyah.
1. Materi Pengajaran
Materi pengajaran pembinaan akal adalah sejumlah ilmu pengetahuan yang harus diberikan. Ilmu pengetahuan dinilai sangat sakral oleh al-Ghazali sebagai sebuah sarana mencapai tujuan yang sangat muli, yaitu kebahagian abadi di akhirat yang dapat dilalui dengan cara mendekatkan diri dan ma’rifat kepada Allah. Penghargaan al-Ghazali terhadap ilmu sebagai sesuatu yang suci sebenarnya merupakan obsesi al-Ghazali sebagai seorangsufi yang bercita-cita mewujudkan pribadi-pribadi peserta didik yang bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, terutama kepada Allah. secara eksplisit dinyatakan bahea, ilmu yang barmanfaat adalah ilmu yang dapat melahirkan rasa takut kepada Allah. Ilmu inilah yag harus diajarkan walaupun secara garis besar saja.
Pertimbangan lain yang akan menguatkan betapa al-Ghazali memposisikan dan memfungsikan ilmu sangat mulia dan suci, al-Ghazali berusaha untuk tidak menjadikan ilmu sebagai sesuatu yang benar-benar bebas dan terpisah dari segala kosekuensi yang harus diwujudkan ketika pengajaran selesai dilakukan. Al-Ghazali tidak pernah memberikan peluang terabaikannya ilmu pemgetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Ia ingin menjadikan ilmu sebagai sesuatu yang menuntut prilaku, tidak semata-mata diakui secara verbal. Ilmu adalah bimbingan Tuhan yang dapat membuahkan prilaku ibadat dan dapat memberikan petunjuk apa yang mesti dijalani dan apa yaang mesti dijauhi.
Meskipun al-Ghazli sangat menitikberatkan fungsiilmu sebagai srana kesempurnaan ukhrawi ia masih berperhatian terhadap hal-hal duniawi sehubungan dengan ilmu sebagai materi pengajaran.sebagai seorang tokoh masyarakat yang telah banyak menghabiskan usianya dengan pergaulan masyarakat,ia tidak menutup diri dari realitas penghargaan terhadap ilmu.ilmu,menurutnya,juga dapat memberikan efek  bagi status sosial seseorang.pribadi al-Ghazali sebenarnyatidak memungkiri realitas ini.dia tercatat sebagai salah seorang pemimpin tertinggi Madrasah Nizamiyah.    
       Mengenai jenis dan macam ilmu pengetahuan yang di jadikan bahan pengajaran al-Ghazali telah menggariskan bahwa,pada dasarnya setiap individu memiliki tugas sebagai peribadi,anggota masyarakat,warga negara dan hamba tuhan.untuk dapat melaksanakan kewajiban itu di syaratkan adanya ilmu pengetahuan sebagai sarana.sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban itu,secara umum al-Ghazali menggariskan bahwa ilmu-ilmu yang harus diajarkan terlebih dahulu sebagai prioritas ialah ilmu-ilmu yang memiliki relevansi paling dekat dengan kebutuhan anak sesuai perkembangan. 
        Konsistensi al-Ghazali untuk menciptakan peserta didik yang taat dan takwa,mendorong keberaniannya memastikan ilmu-ilmu syari’at sebagai materi pengajaran prioritas. Ilmu syari’at yang di maksudkan ialah pengetahuan tentang hukum-hukum islam (fikih) yang membantu peroses pencapaian kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhrawi. Termasuk ke dalam kategori ilmu yang mesti  diajarkan sejak dini ialah ilmu tauhid dan ilmu akhlak.
Al-Ghazali selalu  konsisten bahwa, kepemilikan ilmu pengetahuan harus selalu diikuti dengan tanggungjawab pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tegas dinyatakannya, pengajaran materi tauhid bertujuan untuk memperkenalkan pokok-pokok agama secara global. Sedangkan pengetahuan dan pemahaman mengenai materi akhlak dimaksudkan agar anak memiliki jiwa Tuhan dan memiliki motif kuat beramal ikhlas dalam pengertian semata-mata mengharapkan rida Allah. Sementara pengajaran materi hukum islam diformulasikannyasebagai upaya pembekalan kesadaran mengenal kewajiban yang mesti ditunaikan dan larangan yang mesti ditinggalkan.
2. Pendidik dan Peserta Didik
a. Pendidik
pendekatan agamis yang telah menjadi ciri khas pendekatan al-Ghazali turut mewarnai pemikirannya tentang status dan posisi seorang pendidik. Pendidik, dimata al-Ghazali, adalah manusia manusia dewasa yang memiliki derajat dan kemuliaan tinggi dibawah kelompok nabi Allah. Pendidik, dengan berbagai macam sebutannya, merupakan para pewaris nabi dengan tugas mulia mendidik, menyebarkan cahaya Tuhan serta menyuruh manusia berbuat baik. Namun demikian, untuk memelihara kemuliaan itu seorang pendidik dituntut memiliki sifat dan karakter baik.
Sebagai pengajar, dalam arti pihak yang mentransfer ilmu pengetahuan, di depan al-Ghazali yang mendalami filsafat dan juga pendidik, seorang pendidik adalah makhluk dewasa yang bersamanya anak dibantu dan dikembangkan kedewasaan berfikirnya. Sebagai pembari informasi, pendidik memiliki dua tanggungjawab langsung yaitu tanggungjawab yang behubungan dengan ilmu pengetahuan dan tanggungjawab yang berhubungan dengan peesrta didik sebagai penerima informasi. Sehubungan dengan posisinya itu, ia di tuntut dapat memperlakukan ilmu pemgetahuan secara proporsional dan profesional, serta tidak membeda-bedakan ilmu pengetahuan. Kaitannya dengan peserta didiksebagai penerima informasi, dia harus memiliki dua syarat pokok yaitu, kemampuan memahami perbedaan individual peserta didik dan kemempuan memerankan diri sebagai pembukajalan didalam memahami informasi secara komprehensif dengan cara semudah-mudahnya.dalam bahasa keseharian, pendidik adalah pihak yang mampu mrmahami relevansi materi pembelajaran denga peserta didik dan mampu bersikapnetral terhadap ilmu pengetahuan.
Bagi al-Ghazali, pendidik berkewajiban menggali potensi dasar peserta didik dan mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Ia berpendirian bahwa, pembelajaran pada dasarnya merupakan proses [enggalian setiap sesuatu yang telah ada dan dibawa oleh peserta didik. Oleh karenanya, pendidik harus menyediakan sarana dan kemudahan bagi upaya penggalian dan pengembangan potensi bakat, minat dan kecenderungan yang dibawa peserta didik sejak dini.
b. Peserta Didik     
Al-Ghazali memandsang anak sebagai manusia dengan fitrahnya yang suci dan dapat menerima pengaruh luar. Faktor luar dari anak merupakan salah satu sumber pengetahuan dan akal menjadi berpotensi dengan bantuan dunia empiris, baik melalui pengamatan ataupun penyelidikan. Akal akan menyimpan kesan dari hasil pengamatan dan penginderaan. Dengan demikian, pembinaan aspek kognitif sangat ditentukan oleh faktor-faktor luar diri anak seperti pendidik, pergaulan dan lingkungan, disamping faktor-faktor intarn anak.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, al-Ghazali mencanangkan pentingnya pemberian motivasi. Asumsi kuat terhadap posisi ilmu pengetahuan masih jelas terlihat ketika al-Ghazali menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh didalam proses pembelajaran. Ia menghendaki kesiapan penuh peserta didik dalam menerima dan menyerap ilmu pengetahuan. Konsentrasi dan motivasi kuat diharapkan tidak saja dapat mendorong keberhasilan pemahaman tetapi juga dapat membantu peserta didik memahami tujuan pembelajaran.
Al-Ghazali meyakini sepenuhnya jiwa dan fikiran anak yang bersih. Namun demikian, baginya, sebagai peserta didik perlu dilakukan kepadanya pembersihan dan pensucian sebelum memasuki proses pembelajaran. Konsistensinya yang kuat terhadap tujuan mulia belajar, dan obsesinya yang kuat untuk tetap memelihara bawaan anak, mendorong keberaniannya untuk memasukkan unsur-unsur agamis kedalam motif  belajar. Motif belajar yang di nilainya telah sesuai dengan nilai-nilai agama diharapkan dapat menjadi peserta didik sebagai pribadi yang pandaidan tetap setia terhadap kemuliaan ilmu pengetahuan sebagai sarana mencapai kebahagiaan abadi.
Selain memiliki parhatian besar terhadap motivasi, al-Ghazali yang di akhir hayatnya menjalani dunia tasawwuf, mencoba memasukkaa n apa yang di yakininya kedalam konsep pendidikannya. Etika seorang pelajar atau peserta didik adalah salah satu buah jiwa sufistik al-Ghazali yang mewarnai pemikiran pendidikannya. Peserta didik, yang dfalam pandangannya masih bersih, diharuskan memahami sisi-sisi perbedaan dan persamaan, dan karakteristik setiap ilmu pengetahuan. Dengan bimbingan pendidik disarankan peserta didik memahami karakteristik ilmu pengetahuan dan tidak mengaplikasikan perbedaan-perbedaan kedalam kehidupan praktis sehari-hari yang di khawatirkan akan menimbulkan friksi-friksi dan persaingan negatif. Oleh karananya, menurut al-Ghazali, selain harus bersikap netral terhadap ilmu pengetahuan, peserta didik di tuntut untuk memiliki pemahaman  yang benar terhadap tujuan, metode dan target pembelajaran setiap disiplin ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang sufi yang mengaku telah mendalami ajaran tasawwuf dan menguasai doktrin-doktrin guru sufi melalui tulisan dan pengajaransecara lisan, pemikiran al-Ghazali tentang peserta didik selalu saja mengaitkan etika pergaulan guru-murid. Pergaulan guru-murid harus di bangun menjadi pergaulan  yang harmonis layaknya seorang anak dan orang tua kandung. Peserta didik, di stu sisi, harus memposisikan diri secara proporsional dengan jiwa dan semangat pengabdian dan penghormatan secara utuh kepada guru. Hubungan kemanusiaan guru-murid semaksimal mungkin di uasahakan dapat mencegah lahirnya insiden-insiden yang menghambat tujuan dan target pembelajaran, akibat kasalahpahaman dan kasalahan dalam berkomunikasi.
3. Metode Pendekatan
Pebinaan aspek intelek bagi al-Ghazali selain berfungsi bagi usaha mencapai kebahagiaan dunia juga sangat menentukan pencapaian kebahagiaan ukhrawi. Asumsi dasar ini selalu melekat  dan manjadi ruh pendekatan dan metode paembalajarannya. Karakter pribadinya yang sufistik itu telah merasuk kuat kedalam pendekatan dan metode pembalajaran al-Ghazali sebagai sesuatu yanh khas meskipun masih membutuhkan penafsiran dan pengkajian lebih kritis. Metode dan pendekatan pembelajaran al-Gahazali yang masih umum itu tampak jelas sekali dari dua pandekatan yang di rumuskannya sebagai usaha pencegahan dan pembiasaan.
Dibalik sifatnya yang umum, metode dan pendekatan al-Ghazali yang khas juga didapati dari warna religiusnya. Konsistensinya yang kuat terhadap kemuliaan ilmu, urgensi akhlak karimah dan orientasi tujuan ukhrawiah semakin mendukung kekhasan metode pendidikn al-Ghazali. Nampaknya ia tidak menghendaki pengukangan pengalaman sejarah masyarakatnya yang mempolotisir ilmu pengetahuan sebagai konsumsi politik, tendensi dan kecenderungan pribadi dan kelompok kepentingan yang memperjuangkan kepuasan materi dan duniawiah.
B. Konsep tentang Pembinaan Keimanan
Keimanan, bagi al-Gahazali, adalah hidayah Tuhan yang dibawa semenjak lahir sebagai pemberian secara Cuma-Cuma, tetapi perkembangan selanjutnya membutuhkan pembinaan dan pengembangan secara positif-konstruktif. Ketika anak memasuki usia tujuh tahun, kepadanya harus di lakukuan pembinaan dan penyempurnaan-penyempurnaan ke arah yang di kehendaki Tuhan. Secara alamiah tugas dan tanggungjawab mulia itu di bebankan kepada kedua orang tua, ayah dan ibu kandung. Sasaran dan targetnya ialah berkembangnya fitrah keagamaan dan ketuhanan yang tercermin dalam amaliah sehari-hari berupa akhlak karimah dalam arti yang luas. Secara khusus, tujuan itu di arahkan kepada terciptanya pribadi yang taat dan dekat dengan Tuhan.
Pendekatan dan metode yang sangat khas, dari konsepnya, ialah usaha menciptakan lingkungan dan kondisi bagi tumbuh dan berkembangnya naluri keagamaan terutama pada usia anak-anak. Secara tegas, lingkungan kondusif yang harus diciptakan ialah lingkungan pergaulan dan suasana yang bersih dan bebas dari keburukan-keburukan. Hal ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh keyakinannya tentang anak yang sangat rentan terhadap pengaruh luar dan berkecenderungan untuk berbuat baik dan buruk. Hal lain, yang masih mewarnai kekhasannya , ialah pendiriannya tentang pendidikan sebagai proses membershikan keburukan-keburukan dari dalam diri anak.
Materi pemgajaran yang harus diberikan dalam proses pembelajaran ini pada dasarnya merupakan perpaduan antara materi pengajaran kategori ibadah, akhlak dan keimanan. Perpaduan ini merupakan kelaziman dari tujuan pembelajaran yang di formulasiaaakan sebagai usaha menciptakan pribadi yang taat, berakhlak karimah dan dekat dengan Tuhan. Mengenai jenis-jenis ilmu pengetahuan yang di pilih al-Ghazali dalam proses pembelajaran ini ialah ilmu pengetahuan pendukung bagi kebahagiaan ukhrawi (ilmu fikih), ilmu ketuhanan, ilmu akhlak yang berfungsi mensucikan hati dan ilmu-ilmu lain dari syari’at islam. Secara spesifik tujuan pembelajaran ilmu fikih ialah untuk membekali peserta didik dalam memahami dan menyadari hak-hak kewajiban sebagai pribadi di hadapan Tuhan, serta penyadaran terhadap sesuatu yang mesti di jalankan dan hal-hal yang mesti di tinggalkan. Sedangkan pembelajaran tentang tauhid bertujuan agar dapat mentauhidkan Tuhan secara benar. Selain itu, juga bertujuan untuk memperkanalkan pokok-pokok ajaran agama terutama mengenai ketuhanan secara global. Adapun tujuan pembelajaran materi akhlak ialah untuk membekali peserta didik dalam perjuangannya membersihkan hati dari pengaruh luar yang buruk.
Pembelajaran atau pendidikan keimanan sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Sebagai seorang tokoh, ia telah berhasil memadukan fiqh dan tasawwuf, teologi dan tasawwuf sehingga terbangunlah satu kesatuan antara iman, islam dan ihsan. Al-Ghazali semakin kokoh untuk mewujudkan keimanan yang tercermin dalam perilaku keseharian. Proses pembelajaran ini tidak berhanti kepada pemahaman secara teoritis. Pengetahuan tentang keimanan dan keberagaman menuntut aplikasi yang di dasari keikhlasan. Baginya, ketinggian derajat malaikat dapat di capai oleh seseorang beriman yang secara ikhlas bersungguh-sungguh mengamalkan settiap ajaran agamanya dengan baik dan benar.
Al-Ghazali adalah tokoh pendidikan yang kondang bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Di mata kaum teolog dia di kenal sebagai penulis teologi yang paling menyenangkan dan mudah di dekati. Tetapi yang tidak bisa terlupakan bahwa, dialah peletak teologi Ash’ariyah sehingga menjadi teolog sangat berpengaruh. Alasan terakhir inilah yang sangat logis tentang konsep epndidikan keimanannya sebagai proses pembelajaran yang sangat khas dan dapat menciptakan peserta didik menjadi terbentuk sedemikian rupa semenjak dini. Di sisi lain, pembelajaran ini lebih menonjolkan pendekatan doktriner yang di pandang tepat bagi proses pembelajaran bagi anak-anak.
Dari beberapa pernyataan tersebut, pembelajaran dan pendidikan keimanan al-Ghazali di pandang sebagai pembelajaran teologi Ash’ariyah dalam bentuk doktrinasi bernuansa etis-sufistis. Pembelajaran ini lebih mengedepankan keyakinan dan pelaksanaan ajaran daripada pencerahan atau rasionalisasi ajaran. Proses pembelajaran lebih bersifat idiologis dan pendidikan akidah.
C. Konsep tentang Pembinaan Akhlak         
Bagi al-Ghazali pendidikan merupakan usaha penyelamatan anak sebagai peserta didik dari siksa neraka dengan cara menjauhkannya dari lingkungan dan pergaulan buruk. Dengan nerujuk pada ayat ke enam surat al-Tahrim dengan berani ia menyatakan bahwa, menyelamatkan anak dari siksa neraka adalah lebih utama di bandingkan usaha menyelamatkan anak dari kesengsaraan duniawi seperti kemiskinan harta benda.
يا أيّها الّذين آمنوا قوا انفسكم و اهلكم نارا
Artinya: “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. (Q.S. 66; Al-Tahrim:6). 
Konsep itu tidak saja lahir sebagai konsekuensi dari pembatasan al-Ghazali tentang akhlak secara kaku, tetapi berakibat bagi lahirnya pribadi-pribadi yang eksklusif. Akhlak di rumuskan secara ketat sebagai pendidikan batin dan penanaman ajaran-ajaran agama secara normatif. Al-Ghazali telah membangun akhlak sebagai etika sufistis yang telah mempengaruhi jiwanya secara dominan. Konsep akhlak al-Ghazali lebih terfokus pada masalah-masalah keagamaan dan sangat khas.
Pemahaman tersebut memberikan konsekuensi-konsekuensi logis terhadap perumusan materi pembelajaran, metode pendekatan, kriteria pendidik dan peserta didik serta kondisi lingkungan yang ideal sebagai faktor pendukung tercapainya tujuan pendidikan. Pemahaman al-Ghazali tentang hakekat pendidikan dan prioritas yang hendak di capai oleh proses pendidikan mewarnai setiap sub, atau komponen pendidikan. Proses pembelajaran dan pendidikan akhlak yang di kehendaki al-Ghazali adalah proses moralisasi setiap komponen yang terkait.
1.  Dasar dan Tujuan Pembelajaran
Secara alamiah pendidikan akhlak merupakan tanggung jawab dan kewajiban ibu bapak sebagai pendidik pertama bagi anak. Persepsi al-Ghazali bahwa, menyelamatkan anak dari kesengsaraan ukhrawi lebih utama daripada  usaha menghindarkan anak dari kesengsaraan dunuawi, menjadikan rumusan pendidikannya sebagai upaya menanamkan akhlak terpuji dan mencabuti potensi buruk anak sampai ke akar-akarnya. Pendidikan, dalam pandangannya, merupakan usaha membentuk pribadi-pribadi saleh.
Konsep itu lebih mencerminkan telah merasuknya ajaran-ajaran sufi yang telah mendarah daging dan telah di pilihnya sebagai jalan hidup yangpaling benar. Dia sendiri menyadari telah menguasai doktrin-doktrin sufi melalui para guru besar sufi seperti al-Muhasibi (w. 262 H/837 M.), al-Junaid (w. 298 H/854 M.) dan al-Bastami (w. 262 H/ 875 M.). Bahkan, bisa jadi, akibat ketidakpuasannya terhadap kenyataan masyarakat pada zamannya yang di penuhi konflik kepentingan dan kecenderungan materialis serta para prilaku ulama yang gemar bergaul dengan para penguasa dengan cara-cara tidak terhormat mengatas namakan agama. Pada saat itulah, ia mencari dan kemudian menemukan kepuasan jiwa melalui tasawwuf setelah melalui beberapa pengalaman pencarian kebenaran.
Karakter pribadi al-Ghazali dan kondisi sosial keagamaan masyarakatnya telah berhasil melahirkan sosok tokoh pendidikan dengan corak khas sufistik. Obsesinya yang kuat untuk melahirkan pribadi-pribadi saleh nampak lebih mengutamakan aspek akhlak meskipun tetap memberikan aspek-aspek lainnya. Akhlak terpuji dan mulia merupakan cerminan keimanan dan sekaligus indikator keberhasilan pendidikan anak-anak.
2.  Pendidik   
Pelaku utama pendidikan atau pendidik dengan berbagai sebutannya yang di kehendaki al-Ghazali pada dasarnya tidak terbatas kepada pendidik formal seperti guru atau dosen. Dari beberapa pernyataannya di temukan penekanan al-Ghazali terhadap tugas, peran dan fungsi pendidik yang berkaitan dengan kompetensi dan memiliki kredibilitas serta integritas pribadi secara moral. Kriteria pendidik tidak terbatasi oleh hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmaniah. Pendidik atau guru adalah bapak rohani yang bertugas mendidik dan membersihkan jiwa dari akhlak tercela, serta selalu menunjukkan dan mencontohkan akhlak baik dan mulia. Formulasi tentang kriteria inilah yang mendorong keharusan pendidik sebagai bapak rohani. Al-Ghazali memang sangat mahir mendemonstrasikan kewajiban sehari-hari dengan kaidah-kaidah teologis sehingga dapat berjalan harmonis dengan aktivitas lahiriah dan dapat menyatu dengan kehidupan rohaniah secara mendalam. Di samping itu, perkenalannya dengan dunia sufi telah di lakukannya sejak usia muda setelah ia mendalami studi filsafat dan isma’iliyah.
Obsesinya tentang kriteria ideal seorang pendidik, di ungkapkannya sebagai etika seorang guru, yang memerankan diri sebagai penerus dan pewaris para nabi yang menerangi masyarakat dengan cahaya Ilahi. Seorang pendidik adalah pribadi dewasa yang dapat memerankan dirinya seperti ayah kandung dengan segala kebaikannya, mampu bersikap adil, memahami kecenderungan individual anak serta dapat berlaku persuasif dalam usaha mencegah anak dari pengaruh buruk. Sebagai pewaris nabi pendidik tidak di perkenankan bergelut dengan urusan duniawi yang menyangkut penggajian dan pengupahan pekerjaan mendidik. Dialah pribadi yang patut di teladani karena tidak mengumbar kata-kata melainkan mendahulukan teladan.
Dengan mengacu kepada prikehidupan Nabi Muhammad sebagai wakil Tuhan, al-Ghazali menghendaki menghendaki pendidik sebagai wakil Tuhan setelah Nabi dengan mandat dan kuasa kekhalifahan yang memiliki ketegaran jiwa dengan hiasan akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku saleh dan keteladanan di harapkan akan dapat mempermudah dan membantu ketercapaian tujuan pendidikan.
3.  Materi dan Metode Pembelajaran
    Asumsi dasar al-Ghazali tentang materi pembelajaran ialah sejumlah ilmu pengetahuan yang dapat menjamin adanya kedekatan dengan Tuhan sebagai prasyarat tercapainya kebahagiaan abadi. Untuk mencapai tujuan itu ia menjadikan kebiasaan sehari-hari berupa kewajiban-kewajiban agama sebagai materi pembelajaran yang prioritas. Pilihan terhadap masalah tersebut lahir atas keyakinan al-Ghazali sebagai fitrah dan potensi baik anak sebagai kekayaan rohaniah yang harus di bina, di jaga dan di kembangkan, serta di jauhkan dari kemungkinan buruk dari luar.
Secara sederhana materi pilihan itu di gambarkan sebagai berikut:
a.                  Akhlak yang berhubungan dengan kebiasaan sehari-hari yang bersifat individual seperti etika makan, minum, tidur, berpakaian, berjalan, berbicara dan sebagainya.
b.                 Akhlak pergaulan dengan ibu bapak, guru dan teman-teman.
c.                  Akhlak yang berkaitan dengan usaha penyempurnaan pelaksanaan ibadah seperti bersuci, shalat, puasa dan sebagainya.
d.                 Akhlak yang berkaitaaan dengan usaha peningkatan kepribadian dan pengembangan personaliti (kepribadian) seperti kejujuran, keadilan, amanat  dan sebagainya.
e.                  Akhlak yang bertujuan membantu pengendalian hawa nafsu dan kecenderungan buruk-destruktif. 
Perhatian besar al-Ghazali terhadap pendidikan akhlak setidaknya dikarenakan konsistensi dan obsesinya menghidup-suburkan nilai-nilai agama, dalam warna sufistik, dalam bentuk akhlak karimah, yang di lakukan secara sadar dan di dasari keikhlasan.
Secara umum, seperti yang tergambar dalam rumusan pendidikannya, metode pembalajaran atau pendidikan akhlak al-Ghazali terlihat sebagai sebuah pendikatan yang sangat simpel. Pendekatan dan metode itu ialah metode pencegahan dan pembiasaan. Pencegahan di maksudkan untuk menghindarkan anak sejak dini dari pengaru luar yang destruktif. Sedangngkan meeetode pembiasaan di harapkan dapat menimbulkan kesadaran berakhlak karimah dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebagai kelanjutan dari metode pembiasaan di tetapkannya metode latihan dalam rangka memelihara kecenderunga baik anak. Hal itu, baginya, dapat mempermudah kedewasaan dan kesempurnaan akhlak anak. Selain itu, di harapkan akan lahir pemahaman yang benar terhadap urgensi kebaikan dan bahaya yang timbul dari perilaku buruk berupa penyesalan, kerugian, kehancuran dan kerusakan individual dan sosial.
Al-Ghazali sangat berkeinginan keberhasilan pendidikannya dapat melahirkan pribadi-pribadi saleh. Perhatiannya yang besar terhadap aspek mental spiritual mendorong keberaniannya memprioritaskan aspek akhlak yang harus di fahami sacara benar dan di realisasikan dalam praktek keseharian. Penguasaan teori-teori bukanlah sesuatu yang di prioritaskan al-Ghazali. Pribadi saleh sebagai akhir tujuan pendidikannya adalah pribadi yang saru antara pribadi dan perbuatan, memiliki integritas pribadi yang utuh.   
4.  Limgkungan Pendidikan
Al-Ghazali adalah tokoh pendidikan yang sangat konsen terhadap pengaruh pendidikan sebagai faktor yang dapat membentuk dan mewarnai kepribadian anak. Lingkungan dengan segala potensinya harus di cermatisebagai komponen pendidikan yang tidak bisa di abaikan sama sekali. Lingkungan dan fitrah keberagamaan adalah dua dunia yang saling mempangaruhi. Fitrah keberagamaan pada saatnya akan naik dan turun ke titik paling ekstrim karena adanya pengaruh kuat lingkungan. Pengaruk lingkungan yang buruk-destruktif menjadi penghambat ketinggian fitrah ke arah puncak kesempurnaan, demikian sebaliknya.
Al-Ghazali sangat berfihak kepada kekuatan lingkungan. Keberfihakannya itu di munculkannya melalui kekhawatirannya terhadap lingkungan yang buruk sebagai ancaman fitrah keberagamaan. Dinamika fitrah keberagamaan dan dinamika lingkungan adalah dua hal yang saling tarik menarik. Pemahamannya terhadap empiritas lingkingan dan pendiriannya bahwa, menjauhkan keburukan merupakan hal sulit dari mengajar kebaikan, semakin memperkuat mengapa ia memilih metode pencegahan dalam pembinaan akhlak anak.     
D.  Konsep tentang Pendidikan Jasmani dan Ketrampilan
Al-Ghazali menjalani kehidupannya melalui tahapan kebenaran adan hakekat kedamaian. Dia adalah teolog, fqih, filosof, dan terakhir sufi. Jalan tasawwuf adalah pilihannya yang terakhir dan, di yakininya sebagai jalan paling tepat memenuhi hasrat dan kehausan rohaniahnya. Kondisi sosio-kultural umat al-Ghazali menetapkan jalan tasawwuf di nilainya sebagai zaman sangat memprihatinkan. Sebagai lingkungan pendidikan masyarakat di gambarkannya sebagai komunitas yang penuh nuansa konflik dan friksi dari kepentingan dan kecenderungan politik pribadi dan golongan mengejar kebanggan duniawiah dan kemewahan materi. Kondisi sosial masyarakat dan cita-cita al-Ghazali adalah dua dimensi yang sangat berseberangan. Kebobrokan masyarakat dan pemerintahan pada masa al-Ghazali dan cita-cita dan mencegah terulang kembalinya kebobrokan itu, menjadi faktor penyabab ketidakseriusannya terhadap aspek jasmani dan ketrampilan fisik anak-anak.
Sebagaimana para pemerhati dan ahli didik generasi sebelumnya, al-Ghazali hanya memberikan peluang terciptanya proses pembinaan aspek jasmani dan ketrampilan fisik sebagai koponen pendidikan. Meskipun demikian, obsesinya tentang pribadi-pribadi saleh yang tidak mengulang kembalinya masa lampau yang sangat memprihatinkan, dia tidak sedemikian keras berkeinginan menjadikannya sebagai sistem tersendiri yang utuh. Konsekuensinya, konsep al-Ghazali tentang pembinaan aspek jasmani dan ketrampilan fisik tidak memiliki kejelasan dan keutuhan sebagai sebuah sistem yang memiliki sub-sub yang bermuara kepada satu titik.
Dengan mengacu kepada amanat hadith yang memerintahkan pengajaran dan latihan amanah, menunggang kuda dan berenang , al-Ghazali berkeinginan menjadikan permainan dan ketrampilan fisik di berikan sebagai sebuah selingan saja. Secara tegas hadith dimaksud memerintahkan para orang tua dan guru membina potensi dasar jasmani dan fisik anak sejak dini.
علّموا أولادكم السباحه والرّمايه
Artinya: “ Ajarilah anak-anak kalian berenang dan memanah….” ( H.R. Ahmad dari Ibn ‘Abbas )
Pendidikan jasmani baginya hanyalah sebagau aktifitas pengisi waktu luang atau selingan. Pemberian peluang untuk bermain dan berolah raga dimaksudkan agar dapat membangkitkan kembali gairah dan semangat belajar anak. Namun demikian kesempatan itu diusahakan agar jangan sampai menyita waktu belajar da menjadikan anak lalai dan lelah sehingga malas belajar.  Perlu ada batasan waktu tersendiri dalam memberikan kesempaatan bermain. Bermain, berolah raga dan sejenisnya  bagi al-Ghazali bukan tujuan tetapi hanya instrumen. Al-Ghazali tidak saja memperkecil perhatiannya tetapi juga memperkecil porsi olah fisik anak. Hal itu senafas dengan para generasi sebelumnya seperti al-Qabisi (w. 1012 M.), al-Zarnuji (w. 1016 M.), dan al-Qurtubi (w. 1092 M.).
Orientasi pendidikan al-Ghazali selalu saja bermuara kepada tujuan akhir kesempurnaan ilmu pengetahuan dan akhlak. Aspek pendidikan jasmani dan ketrampilan fisik tidak di seriusinya sebagai komponen pendidikan yang mesti di perlakukan secara proporsional. Namun demikian, asumsi tentang perlunya kreativitas dan kekuatan fisik, serta uasha mencegah sikap malas anak, meski tidak di tindak lanjuti secara konkrit, masiiiih sempat memotivasinya untuk mencoba manawarkan beberapa kegiatan keseharian yang mesti di inadahkan anak. Al-Ghazali menghendaki pertumbuhan fisik yang sehat dan normal. Karenanya ia menawarkan pola hidup sehat seperti tidur malam yamn cukup, tetpi bukan kebiasan tidur siang bagi ank karena akan melahirkan kemalasan.
Sebagai penganut dan pengamal setia ajaran guru-guru sufi, al-Ghazali menawarkan di masukkannya nilai-nilai sufistik di dalam pendidikan ini. Baginya tubuh dan jasmani fisik dengan berat badan tidak wajar atau gemuk menjadi pendorong lahirnya sikap malas dan kelambanan dalam beribadah, di samping mengkhawatirkan melemahnya stamina. Untuk tujuan itulah ia menganjurkan menghindarkan ank dari kebiasaan tidur siang dan menikmati makanan yang lezat-lezat sebagai sebuah ketentuan yang harus di taati.
Beberapa uraian di atas menjelaskan bahwa perumusan al-Ghazali tantang materi dan metode pembinaan aspek jasmani dan ketrampilan fisik masih sangat umum dalam arti membutuhkan reinterpretasi dan rekontekstualisasi pesan-pesan universalnya. Al-Ghazali berkeinginaan keras memposisikan dan memfungsikan jenis permainan dan olah raga sebagai pengisi waktu luang dan sebagai selingan untuk menghilangkan kejenuhan dan kebosanan anak. Al-Ghazali tidak berkeinginan menjadikannya sebagai sebuah komponen pendidikan yang utuh.
BAB IV
PEMIKIRAN JOHN LOCKE TANTANG PEDIDIKAN ANAK
SUTEJO
A. Ide tentang Pendidikan Intelek
John Locke, dalam dunia pendidikan, tergolong sebagai ahli dan tokoh empirisme modern yang pertama. Idenya yang sangat abadi ialah, bahwa jiwa manusia ketika di lahirkan maish dalam keadaan bersih bagaikan kertas putih, tabula rasa. Pengetahuan jiwa ialah pengetahuan yang di dapat melalui pengalaman dan penginderaan terhadap dunia empiris. Karenanya ia menghendaki pendidikan harus dapat baradaptasi dengan kebutuhan dan kenyataan hidup anak sebagai peserta didik. Pendidikan harus di bangun atas dasar realitas dan realita merupakan sesuatu yang nyata dan berubah, dinamis. Realita dan kenyataan yang berkembang meruoakan karakter dan ciri khas pendidikan Locke. Pendidikan harus menyentuh secara langsung pengalaman hidup dan kebutuhan anak. Dengan kata lain, lingkungan empiris adalah sumber dan bahan pengajaran yang sangat menentukan. Pernyataan di atas memberikan kesan kuat bahwa sumber belajar berupa lingkungan menjadi pusat perhatian Locke yang sangat besar. Selain lingkungan alam dan kenyataan sosial sehari-hari, lingkungan keluarga dan pergaulan mendapat perhatian yang sama. Locke menghandaki sejak dini anak-anak di biasakan berada dalam suasana rumah dan keluarga yang kondusif bagi lahirnya suasana saling pengertian, saling menghormati dan saling mengerti antar sesama anggota keluarga. Hal ini di maksudkan agar anak tumbuh sebagai individu yang terbiasa berfikir kritis dan rasional terhadap kaidah dan norma-norma, serta aktif dalam mempergunakan nalar didalam mengamati kenyataan hidup. Karena, Lock menilai, kebiasaan berfikir bebas dan mandiri serta kemampuan mengekspresikan ide-ide tidak akan tercipta tanpa adanya dukungan dunia empiris yang nyata dan dinamis. Orang tua dan pendidik bertugas menciptakan lingkungan yang mampu manjadi sumber  inspirasi dan bahan pembelajaran. Locke menghandaki di perolehnya ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan secara empiris yang berinteraksi secara aktif dengan dunia dalam anak (introspective experience). Pengalaman iternal dan pengalaman eksternal adalah sumber pengetahuan yang dapat membentuk kepribadian.
1.  Dasar dan Tujuan Pembelajaran
Tidak di sangsikan, Locke merupakan tokoh pendidikan empiris yang mengakui potensi dasar manusia dan pengaruh lingkunga empiris yang dinamis. Potensi dasar manusia berupa daya ingat dan pengamatan bila di lakukan pelatihan-palatihan kepadanya secara tepat, di harapkan akan melahirkan kesanggupan-kesanggupan yang terlatih dan kerja induktif. Pengamatan terhadap objek pengetahuan dan alam empiris dapat membantu keberhasilan proses pelatihan daya inagat dan daya kerja rasio. Ia berpendirian, ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang empiris dan hasil kerja induktif. Karena, pada dasarnya pengetahuan manusia datang dari hasil pengalaman dan merupakan refleksi pengalaman itu sendiri. Pelatihan-pelatihan di tujukan untuk menciptakan keharmonisan pengalaman empiris dan potensi jiwa anak.
Penguasaan teori-teori atau  ide-ide harus mendapatkan dukungan dunia empiris. Dunia empiris harus benar-benar di jadikan sumber pembelajaran. Keharmonisan dan kesesuaian antara keduanya dapat membentuk dan mengisi fikiran dengan ide-ide. Akal fikiran itu sendiri memiliki koneksi erat dengan objek alam dan dunia empiris. Pelatihan-pelatihan yang baik turut membantu mengembangkan dan memelihara akal fikiran sebagai potensi yang memberikan arti dan memaknai objek, dunia empiris.
Pembelajaran juga bertujuan untuk membentuk peserta didik dan menempatkan akal sesuai posisi dan proporsinya. Usaha yang di lakukan secara baik dalam membantu membuka dan mengembangkan akal fikiran sangat membantu kehidupan anak. Kemampuan aplikasi terhadap kunci-kunci pengetahuan teoritis harus di dukung pelatihan-pelatihan yang dinamis. Hal ini, menurut Locke, sesuai dengan substansi pendidikan sebagai proses penyadaran pemahaman persoalan secara baik dan tepat, di samping merupakan proses penyadaran terhadap pentingnya memahami apa yang menjadi miliknya berupa potensi persepsi, fikiran, keyakinan, kehendak dan keinginan.
Anak tidak selamanya dapat mengemukakan ide-ide dengan baik tanpa dukungan praktek. Pembelajaran tidak semata-mata ingin menciptakan anak pandai. Pembelajaran dan pendidikan intelek secara khusus bertujuan membantu kerja fikir, dalam kaitannya memahami kesinambungan ide-ide dengan dunia empiris. Pelatihan di lakukan semenjak dini agar dapat membantu anak berfikir rasional, tidak sekedar mengetahui dan mengikuti  kaidah-kaidah empiris yang berlaku. Pembelajaran harus melibatkan daya cipta anak di dalam aktivitas pengamatan dalam dunia empiris.
Pembelajaran dan pendidikan anak dengan bertujuan meningkatkan kematangan berfikir dan wawasan, serta dapat mancegah lahirnya pemahaman anak secara verbalistik.
2.  Materi dan Metode Pembalajaran 
    Ilmu pengetahuan, bagi Locke, merupakan hasil dari pengalaman dan refleksi dari pengalaman itu sendiri. Ia merupakan sesuatu yang bersifat empiris dan dinamis dari hasil kerja akal secara induktif. Sebagaimana manusia umumnya, perkembangan akal dan daya kerja intelek anak berkembang secara alamiah melalui tahapan-tahapan tertentu.  Untuk itulah Locke menghandaki adanya pelatihan-pelatihan daya kerja akal secara baik dan cepat.
Pendirian tersebut tentunya memberikan konsekuensi-konsekuensi terhadap pemilihan materi pembelajaran. Pemilihan materi pembelajaran pendidikan intelek dalam rumusan Locke sesungguhnya menunjuk pada konsistansinya terhadap rumusan dasar dan tujuan pndidikan Locke.
Locke menaruh perhatian sangat besar terhadap dunia empiris termasuk lingkungan alam. Gejala-gejala alam atau dunia empiris merupakan salah satu objek ilmu pengetahuan. Pelatihan-pelatihan tentang pengamatan dan penginderaan secara umum, hendaknya menyajikan materi tentang kealaman atau ilmu pengetahuan alam. Hal ini menunjuk kepada pendiriannya tentang kesesuaian antara fikiran dengan objek alam sebagai yang memiliki hubungan atau koneksi erat satu dan lainnya.
Namun demikian, karena pada dasarnya akal dapat memaknai atau memberikan arti terhadap objek alam dan dunia luar, dan pengetahuan merupakan konsistensi kesesuaian antara ide-ide, maka Locke menyarankan agar dilakukan proses pelatihan secara hati-hati, disamping bimbingan secara benar dan tepat. Locke menyadari tidak selamanya anak dapat mengemukakan ide-ide atau fikirannya secara baik, tanpa di lakukan bimbingan dan pelatihan-pelatihan secara intensif.
Dalam kerangka pembentukan peserta didik yang mampu mengetahui, menyadari dan menginsafi batas-batas kemampuan fikir dan sekaligus ketepatan dan kesesuaian dalam mengamati suatu persoalan Locke menetapkan materi pengajaran matematika. Pengajaran materi itu tidak semata-mata untuk menjadikan anak dapat menguasai pengetahuan semata-mata, melainkan meahami proses atau cara memperoleh pengetahuan itu sebagai prioritas. Dengan demikian, Locke lebih menanamkan pentingnya metodologi daripada materi.
Locke sangat memperhatikan urgensi membaca bagi anak. Sebagai seorang tokoh yang sangat konsen terhadap penguasaan metodologi, Locke menghendaki aktivitas membaca tidak sebatas kemampuan verbalistik. Pengajaran membaca membutuhkan keahlian pendidik di dalam membimbing dan mengarahkan teknik membaca secara tepat.  Bimbingan bertujuan dapat membantu menjauhkan pemahaman secara  verbal dalam kerangka pelatihan daya fikir. Aktivitas membaca secara verbal akan melahirkan pemahaman hampa.
Untuk membantu menambah wawasan anak, selain mengajarkan ilmu pengetahuan alam, matematika dan membaca, Locke menghendaki pengajaran bahasa dan gramatikalnya. Pengajaran ini bertujuan meningkatkan intelektualitas dan kematangan daya fikir. Sedangkan untuk membukakan wawasan, dipandang penting di ajarkannya materi-materi mengenai sejarah, geografi, anatomi tubuh dan lain-lain. Dengan memasukan materi mengenai anatomi, dapat di fahami dari pengalaman hidupnya yang secara praktik di nilai kualifaid dalam bidang kedokteran, meskipun secara akademis is tidak pernah maraih gelar kesarjanaan, locke dipandang mampu dalam bidang farmasi  dan apoteker, serta dipandang sangat serius dalam bidang biologi.  
3. Pendidik
Konsep pendidikan Locke yang memihak kapada pengaruh lingkungan dan dunia empiris dapat memberikan kejelasan posisi dan fungsi pendidik dalam proses pembelajaran. Selain sebagai lingkungan bagi anak atau peserta didik, seorang pendidik bertugas menciptakan kondisi lingkungan yang dapat di jadikan sumber dan atau bahan belajar. Pendidik di tuntut mampu melakukan penyesuaian hidup anak secara realistis dan dinamis.
Lingkungan dan dunia empiris merupakan suatu kesatusn integral dengan anak. Dalam proses pembalajaran, pendidik bertugas dan di syaratkan mampu menciptakan kesesuaian-kesesuaian antara lingkungan dan peserta didik, kesesuaian antara pengalamana hidup dan kebutuhan anak.
Kaitannya dengan proses pembelajaran materi ilmu pengetahuan alam, matemetika dan kegiatan membaca, misalnya, Locke mensyaratkan penguasaan teknik dan metodologi pemahaman materi, dasamping syarat kemampuan menjadikan peserta didik mahir dalam bidang tersebut. Sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk meletih daya fikir dan meningkatkan kematangan nalar, seorang pendidik di tuntut memerankan diri sebagai pembimbing yang dapat dengan tepat dan benar melakukuan pelatihan-pelatihan secara hati-hati. Kemampuan anak terhadap teori-teori atau ide-ide harus didukung oleh pengalaman empiris. Oleh karenanya, seorang pendidik bertugas memadukan secara harmonis antara keduanya.
Sebagaimana di kehendaki Locke tentang pentingnya lingkunga keluarga, seyogyanya pendidik memulai dari dirinya menciptakan tradisi pergaulan yang di dasari kasih sayang dan suasana saling mengerti, saling menghargai dan salinh menghormati. Tradisi dan suasana itu di harapkan dapat membantu persepatan perkembangan kedewasaan anak, tradisi berfikir rasional dan kritis serta keaktifan mempergunakan nalar dalam mengamati kenyataan empiris yang selalu dinamis. Dalam pandangan Locke, kebiasaan berfikir bebas dan mandiri akan menjadi impian belaka manakala pendidik tidak mampu menciptakan lingkungan yang dinamis dan diterima anak sebai bagian dari kehidupan mereka.
Ilmu pengetahuan, bagi Locke, di peroleh dari dunia empiris sebagai sumber pembelajaran dan dapat berinteraksi dengan dunia nyata. Setiap pendidik, karenanya, harus menyadari bahwa dirinya harus berada di tengah-tengah keduanya dan dapat menyatukan pengalaman luar dengan pengalaman dalam peserta didik.
Seorang pendidik, sesuai dangan substansi pembelajaran sebagai proses penyadaran terhadap potensi diri, di tuntut mampu memfasilitasi sarana-sarana pendukung ke arah penyadaran. Penyadaran adalah kesadaran pemahaman terhadap setiap persoalan secara tepat. Pendidikan adalah proses penyadaran dengan pendekatan dan metode yang baik dan tepat.
B.  Ide tentang Pendidikan Agama dan Moral  
Locke adalah penganut kristen yang taat dan meyakini agamanya sebagai sesuatu yang rasional, dan mesti didekati secara rasional. Para ahli mengakuinya sebagai penganut kristen yang puritan, tegus secara moral, kasih sayang dan lemah lembut di dalam bertetangga dan bermasyarakat. Namun demikian empirismenya membentuk keberanianya mengoreksi dan mengkritik ajaran-ajaran injil yang menurutnya di penuhi dengan dogma-dogma dan tidak rasional. Locke menghendaki pemahaman dan pengalaman agama yang terbentuk dari keterpaksaan dan ketakutan.
Pemahaman dan pengalaman ajaran-ajaran agama, menurutnya, harus lahir dari dalam diri anak berdasarkan kebutuhan rasional. Pengamalan ajaran agama harus di hindarkan dari rasa keharusan atau kewajiban. Mereka harus di hindarkan dari dogma-dogma ajaran agama. Karenanya, Locke menghendaki kesadaran kesederhanaan dalam proses pendidikan keagamaan dalam arti jauh dari dogmatisme.
Sebagai penganut agama yang taat dan puritan, Locke menekankan penanaman kecintaan terhadap Tuhan sebagai prioritas. Kecintaan terhadap Tuhan, bagi Locke, merupakan ajaran fundamental semua agama-agama besar dunia. Namun demikian, sebagai tokoh empirisme, ia tetap menekankan rasionalisasi. Kecitaan tarhadap Tuhan harus ditanamkan sejak dini secara rasional dan mesti dinyatakandalam prilaku sehari-hari. Penanaman kecintaan terhadap Tuhan diharapkan dapat melahirkan ketaatan dan kepatuhan rasional.
Erat kaitannya dengan pendidikan keagamaan, Locke menaruh perhatian terhadap persoalan moral. Tetapi sebagai tokoh empirisme, ia tetap konsisten dan terkait dengan pengalaman empiris. Pendidikan moral harus di berikan semenjak dini kepada anak-anak. pendidikan moral yang ideal, menurutnya dalah proses yang dapat memenuhi pencapaian idealisasi manusia menurut Locke. Manusia ideal adalah manusia yang selalu mengandalikan diri dan memiliki harga diri , kehormatan dan kepatuhan.
Secara realistis, Locke menunjuk masyarakatnya sebagai kenyataan yang tidak dapat disangkal. Para orang tua dan pendidik  di sekolah tidak dapat sepenuhnya membimbing dan mengawasi perilaku setiap peserta didiknya. Karenanya, aspek-aspek pendidikan yang ppokok menjadi terabaikan sementara mereka tidak memiliki inisiatif belajar dari pengalaman. Sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya harus melakukan reformasi dengan sasaran dapat lebih mengutamakan pendidikan aspek moral sebagai fondasi dan tercegahnya nilai-nilai yang merusak agama. SUTEJO
     
Enhanced by Zemanta

0 Response to "AL-GHAZALI vs. JOHN LOCKE"

Posting Komentar