FORMAT PENGEMBANGAN KURIKULUM

FORMAT PENGEMBANGAN KURIKULUM, PEMBELAJARAN, DAN EVALUASI PENDIDIKAN.
Oleh: Suteja (IAIN SYKEH NURJATI CIREBON)

a. Kurikulum
Kurikulum memuat setidaknya tiga hal pokok terkait dengan kepribadian manusia yaitu : ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai. Ketiga unsur utama kepribadian itu adalah potensi dasar dan kekayaan rohaniah yang mesti diperlihara, dibina, dikembangkan serta disempurnakan.
Ketika pendidikan Islam bermaksud diformat menjadi pendidikan yang komprehensif seyogyanya kruikulum didisain sedemikiran rupa sehingga dapat mendorong lahirnya peserta didik yang secara individual dan sosial memiliki integritas moral, mental dan spiritual, sebagai prasyarat melaksanakan amant kekhalifahan di muka bumi.
Kurikulum lebih memfokuskan diri kepada persoalan pemenuhan kebutuhan dasariah dan tuntutan masa depan peserta didik. Orientasinya adalah minat, bakat, dan kecenderungan personal setiap peserta didik. Kurikulum tidak lagi membelakukan generalisasi materi pembelajaran atau bahan pengajaran, sehingga terkesan memaksakan kehendak (doktriner) atas kecenderungan murid yang beragam dan sangat personal. Bahan atau materi pembelajaran setidaknya dapat merepresentasikan seperangkat kemampuan dasar manusia sebagai hamba dan khalifah Allah.
Dengan demikian, kurikulum pendidikan Islam lahir dari pemahaman tentang hakikat manusia, hakikat alam, dan hakikat kehidupan serta lingkungan sosial. Kurikulum harus menjadi cerminan dari kehendak dan iradah Allah sebagai pemberi mandat kekhalifahan. Muatan kurikulum pendidikan Islam harus dapat memadukan sumber-sumber ketuhanan (ayat-ayat quraniyah), kemanusiaan (realitas kehidupan), dan kealaman (ayat-ayat kawniyah).
b. Pembelajaran (Guru, metode, media, sarana, dan lingkungan pendidikan).

1). Guru
Guru tidak lagi memposisikan diri sebagai pengajar (instructur) dengan tugas utama mentransfer ilmu pengetahuan. Guru adalah teladan (qudwah, uswah). Dia adalah sumber utama pembelajaran bagi peserta didiknya. Setiap ucapan, tindakan dan perbuatannya adalah cermin dari nilai-nilai ketuhanan. Guru adalah wakil Allah. Karenanya, kepribadian guru adalah cerminan dari asma’, sifat dan pekerjaan Allah Yang Maha Baik dan Sempurna.
Metode
Pilihan terhadap berbagai metode hasil kreasi para ahli didik Barat dan Muslim ternyata tidak bisa terepas dari kekurangan dan kelemahan. Metode pendidikan yang dikehendaki Islam adalah metode yang lahir dari pendekatan Allah dalam proses penciptaan, pemeliharaan dan pembinaan fitrah manusia. Allah dan juga Rasulullah selalu saja mengutamakan keteladanan dan kebijaksanaan. Allah dan Rasulullah juga mengedepankan kasih sayang (rahmah) dan keadilan (‘adalah), serta cara-cara menghargai usaha (syukr) semua ciptaan-Nya.
Metode pendidikan Islam yang mewakili nama, sifat dan pekerjaan Allah Yang Maha Baik dan Maha Sempurna niscaya akan dapat dirasakan manfaat dan hasilnya bagi sebuah proses pendidikan Islam yang komprehensif. Metode pendidikan Islam, dengan demikian, adalah metode kasih sayang, keadilan dan rasa syukur dalam wujud keteladanan nilai-nilai dan kepribadian Rasulullah SAW secara alamiah, tanpa rekayasa “kepentingan”.
Media
Media pendidikan adalah semua bentuk peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi, gagasan kepada peserta didik. Media harus diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran, karena ia dimaksudkan untuk lebih meningkatkan mutu pembelajaran. Media pendidikan Islam dengan demikian, dapat memanfaatkan berbagai media yang bersumber dari pengalaman guru, pengalaman murid, pengalaman hidup keeseharian yang berlangsung di dalam masyarakat, serta media yang bersumber langsung dari gejala alam semesta ciptaan Allah.
Sarana
Sarana pendidikan Islam, tidak lagi sebatas benda-benda konkrit. Pendidikan Islam dapat saja memberdayakan berbagai pengalaman keseharian, disamping kekayaan alam dan lingkungan hidup secara kreatif dan inovatif. Tentunya, ia hanya membutuhkan guru-guru yang kreatif. Sarana dan juga media pendidikan, bagi guru yang kreatif dan inovatif, bukanlah penghalang dalam meningkatkan mutu proses pendidikan.
Lingkungan Pendidikan
Pendidikan Islam hanya membutuhkan lingkungan pendidikan (fisik dan nonfisik) yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik untuk dapat tumbuh menjadi dewasa, terhindar dari kebiasaan serta pengaruh dan pergaulan teman yang buruk. Pendidikan islam sangat membutuhkan lingkungan pendidikan yang kondusif bagi pelaksanaan amanat kekhalifahan Allah bagi manusia yang berorientasikan “mengutamakan mencegah keburukan dari mengejar kemaslahatan”, untuk menciptakan kesejahteraan, kemakmuran dan menegakkan kemanusiaan.
c. Evaluasi Pendidikan yang Inklusif.
Evaluasi atau penilaian adalah bukan pengadilan atau justifikasi terhadap benar salah. Evaluasi adalah usaha memahami keberhasilan dan ketertundaan pencapaian tujuan pendidikan. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui baik dan buruk, terpuji dan tercela, dan bukan untuk mengetahui benar salah, pahala dan dosa, sorga dan neraka. Evaluasi berorientasi kepada persoalan nilai dan bukan persoalan kecerdasan intelektual semata-mata, atau prestasi akedmik.
Evaluasi adalah alat pengukur yang berorientasi kepada moralitas dan bersifat edukatif. Evaluasi tidak menganut asas hukum legal formal yang mengedepankan indikator hitam putih secara kaku. Evaluasi pada akhirnya harus membantu peserta didik dapat menemukan jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah dan pribadi dengan segala potensi dan kelemahan masing-masing.
Evaluasi dalam perjalananya bertugas mengarahkan dan membimbing peserta didik menemukan dengan sadar berbagai kekurangan dan kelemahan, serta mengarahkan mereka melakukan perubahan-perubahan konstruktif secara terencana, sistematis, dan beresinambungan (mudawah), sebatas yang dapat dilakukan.
1. PENDIDIKAN ISLAM PADA JENJANG PENDIDIKAN TINGGI
Tradisi dan budaya doktriner atau dogmatik adalah warian sejarah masa lampau dan generasi feodal. Feodalisme pendidikan Islam dimulai semenjak kejayaan Mataram Islam mengendalikan pendidikan sistem pesantren di bawah kekuasaan Panembahan Senopati dan diperkokoh semasa pemerintahan Sultan Agung Mataram. Dan, pada akhirnya berlangsung dalam tradisi pendidikan pondok pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan tinggi (UIN/IAIN/STAIN).
Untuk beberapa dekade kesan doktriner dan dogmatik masih dialamatkan kepada lembaga pendidikan tradisional semisal pondok pesantren dan madrasah (bukan sekolah). Udara perubahan dengan munculnya kelompok-kelompok modernis dan rasionalis, secara berangsur menghapus kesan doktriner dan dogmatik dari proses pembelajaran di lembaga pendidikan tinggi semisal IAIN. Kesadaran itu juga tumbuh subur di kalangan mutakhharij (alumni) pendidikan pesantren.
Akan tetapi perubahan dahsyat, yang secara essensial mengulang sejarah feodalisme mulai menyusup kembali kedalam lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia akibat dari jiwa para praktisi lembaga pendidikan tinggi yang shock culture.
Sejarah memang selalu berulang. Semangat doktirnasi, anarkhisme ilmiah, dan pembunuhan karakter terjadi kembali di lembaga perguruan tinggi Islam. Akibat salah kaprah memahami percepatan globalisasi sains dan teknologi di dunia perguruan tinggi secara tidak disadari sedang berlangsung anarkhisme ilmiah di satu sisi dan di sisi lain terjadi kultus inividu dan pendewaan terhadap sekelompok ilmuwan tertentu, yang diidolakan tentunya. Pembunuhan karakter juga tidak bisa dihindarkan.
Kenyataan ini justru berlangsung di jenjang pendidikan tinggi dan menjadi makanan “sepesial” kalangan ilmuwan. Multikulturisme juga memiliki andil tidak kecil dalam hal ini sebagai sumber inspirasi anarkhisme, dan “kebanggan” (bandingan dari tawadhu’) ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan Islam di jenjang pendidikan tinggi telah tercabut dari akar budaya dan kukltur Islam semasa Rasulullah SAW masih jumemeng (hidup). Kemauan melepaskan diri dari doktrin juga sangat kuat dan terbukti membuahkan hasil terlepasnya ikatan-ikatan secara kuktural-kesejarahan genarasi muda dengan generasi terdahulu.
Sikap ketidak mengertian terhadap aspek kesejarahan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, merupakan salah satu penyebab sikap appriori setiap generasi. Appriori yang terlanjur terpelihara inilah sebenarnya sumber permasalahan pertama yang melahirkan sikap dan perilaku doktrinasi, anarkhisme dan pembunuhan karakter dalam proses pembelajaran di lembaga perguruan tinggi Islam.
Ketika pemahaman yang tidak memihak (neutral) diarahkan kepada aspek kesejarahan umat Islam, kita akan mendapatkan beberapa fakta sejarah pendidikan islam di Indonesia yang tidak seluruhnya baik tetapi juga tidak seluruhnya buruk.
Mencari sisi-sisi kebijakan kultural yang terbebas dari kesan doktriner, dogmatik dan anarkhis mesti diawali dengan penelaahan dan pemahaman kritis terhadap fakta sejarah pendidikan islam di Indonesia. Penelaahan dimaksudkan untuk mencari bukti-bukti konkrit praktek kependidikian yang bersifat doktriner dan dogmatik. Penemuan ini diharapkan mampu membantu pemahaman baik secara ontologis, epsitemologis ataupun aksiologis tentang pendidikan yang dikesankan sebagai doktriner. Karena, istilah dibentuk oleh sejarah dan bukan sebaliknya.
Pemahaman terhadap fakta sejarah berarti langkah indah memahami kultur atau budaya Islam. Kultur Islam adalah dibentuk oleh kehendak wahyu dan tradisi yang berlangsung sebelum wahyu itu turun ke bumi. Maka, membebaskan lembaga perguruan tinggi Islam dari kesan dan praktek doktrinasi, dogmatisme, dan anarkhisme mau tidak mau harus dikembalikan kepada sumber wahyu, Allah dan Rasulullah SAW.
Akan tetapi, langkah startegis yang lebih esensial adalah menelaah kembali perjalanan sejarah doktrinasi dan dogmatisme sebelum meloncat jauh ke sumber Islam karena persoalan doktrinasi bukan persoalan penedekatan kewahyuan. Persoalan doktrinasi adalah persoalan pengalaman sejarah umat manusia yang keliru memahami teks-teks wahyu dan karenanya harus didekati secara humanis-empiris.
Untuk merumuskan kebijakan kukltural pendidikan islam yang terbebas dari kesan doktrinasi selain menggunakan pendekatan kesejarahan dituntut mampu memahami kultur umat Islam itu sendiri. Dengan demikian, pendekatan kulktural adalah kunci bagi perumusan upaya dalam kerangka mencari kebijakan kukltural tersebut. Pendekatan kuktural adalah pendekatan yang memiliki karakter adaptatif, akomodatif dan persuasive terhadap berbagai kemajemukan tradisi dan budaya. Target utama pendekatan kultural adalah mengislamkan setiap apa pun tanpa harus merubah bentuk dan penampilan luarnya.





2. KOMENTAR ATAS PEMIKIRAN MAJID IRSAN AL-KAILANI SEKITAR FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM AL-QURAN DAN AL-SUNNAH, TUJUAN DAN SASARAN PENDIDIKAN, SERTA LANDASAN PENDIDIKAN ISLAMI.

A. Falsafah Pendidikan dalam al-Quran dan al-Sunnah
Layaknya para failosof dan kelompok pecinta atau penggemar filsafat, al-Kailani memposisikan persoalan manusia, alam dan kehidupan sebagai diskursus penting dari filsafat pendidikan Islam. Ia memandang pentingnya alam dan kehidupan sebagai prasyarat bagi ada tidaknya kekhalifahan manusia di muka bumi ini. Tanpa keduanya tidak akan pernah ada kekhalifahan Allah bagi manusia. Sayangnya, argumen yang ia pergunakan selalu mengandalkan dalil naqli; sangat langka argumen-argumen empiris. Dia juga menerapkan pendekatan yang lazim berlaku dalam tradisi kaum mutakallim generasi awal (scholastik), yakni dengan melalui jalan ikhtira’. Ia mengajak pembaca mempelajari ayat-ayat kawniyah (alam semesta) dalam kerangka berfikir secara analogis (qiyasi) dan induktif (istiqrai).
Kajiannya tentang persolan manusia, juga mempergunakan pendekatan filsafis dengan bersandar kepada wahyu. Karenanya, ia mnetepkan kesucian fitrah sebagai prasyarat kesempurnaan manusia. Dan, untuk mengembalikan manusia ke asal fitrahnya sebagai ahsan taqwim itu, ia memilih pendidikan sebagai satu-satunya wasilah yang menjamin dapat tercapainya tujuan tersebut.
Pendidikan diharapkan dapat menjadikan pribadi-pribadi yang yang memiliki jiwa dan perilaku khasyah (takut) kepada Allah. Pendidikan hendaknya dipola sedemikian rupa, sehingga dapat mengembalikan manusia kepada asal usul semula manusia sebagai makhluk yang suci.
Falsafah pendidikan al-Kailani menetapkan empat faktor penting sebagai penopang yaitu: faktor aqidah atau keyakinan, faktor sosial, faktor gegografis, dan faktor usia atau waktu. Dan, untuk mendukung keempat faktor itu kemudian ia merekomendasikan perlunya melibatkan empat macam ilmu pengetahuan yang berhubungan secara langsung dengan persoalan kemanusiaan peserta didik. Keempat ilmu pengetahuan itu adalah: biologi, ilmu ekonomi, ilmu sejarah dan ilmu sosial.
B. Tujuan Umum (Ahdaf) Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan yang dikehendaki al-Kailani adalah keharmonisasn antara dua aspek kehidupan manusia, yaitu kehidupan individual dan sosial, serta kehidupan duniawi dan ukhrawi. Berkenaan dengan harmonisasi kedua aspek utama itu, ia menyarankan dilakukannya kajian serius sekitar : hakikat manusia, upaya pembinaan dan pengembangan kepribadian, dan upaya mempersiapkan masa depan individu.
C. Tujuan Aspek-aspek Pendidikan Islam
Beberapa aspek pendididikan Islam yang dicanangkan al-Kailani adalah hal-hal yang terkait dengan persoalan pembinaan aqidah islamiah, pensucian jiwa, pembinaan pola fikir dan pilihan prioritas pengetahuan islami, persiapan pelaksanaan tugas-tugas professional akademis, serta aspek-aspek lain pemandu pendidikan Islam. Semua aspek tersebut dapat dinilai sebagai pemikiran yang mewakili ide umum al-Kailani di muka tentang manusia sebagai makhluk ruhaniah, makhluk pribadi dan makhluk sosial.
Aspek-aspek yang musti ada dalam pendidikan Islam yang dikehendaki al-Kailani adalah: pemahaman tentang perkembangan sebagai sebuah keniscayaan karena ia merupakan sunnah (hukum) kehidupan. Kedua, bersikap bijkasana terhadap tradisi dan kebudayaan. Ketiga, keterbukaan terhadap berbagai kemajemukan informasi terkait dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Keempat, keserasian antara ilmu dan amal, kelima, kewajiban belajar, keenam faktor keikhlasan, ketujuh, kontinuitas pembelajaran, kedelapan, pembatasan aspek rasio, dan urgensi relasi guru-murid.
1. Perkembangan Peserta Didik
Perkembangan dipahami sebagai sebuah realitas perubahan yang dinamis. Pendidikan dapat saja melakukan berbagai antisipasi dan bahkan tindakan pengubahan dan pembaharuan (tajdid). Akan tetapi al-Kailani menghendaki usaha itu disesuaikan dengan dasar-dasar yang dikehendaki Islam agar tidak menyalahi sunnah. Pembaharuan dibatasinya dalam hal-hal yang dipandang baik dan terpuji secara syar’i.
2. Akomodatif terhadap Tradisi dan Kebudayaan
Sebagaimana metode dan pendekatan yang lazim dalam cara-cara dakwah pegiat atau aktivis Islam Inklusif al-Kailani berusaha memperlakukan tradisi dan budaya lokal yang secara turun temurun sudah terkristalisasikan sebagai sesuatu yang tidak harus dibuang tetapi juga tidak dipelihara sepenuhnya secara utuh. Dia hanya menghendaki ikhtiar islamisasi isi atau essensi sebuah trdaisi atau budaya.
3. Kontinuitas Pendidikan
Urgensi proses pendidikan yang berkesinambungan di mata al-Kailani semata-mata karena keyakinannya yang kuat bahwa “di atas langit ada langit”, “di atas ilmu Musa masih ada ilmu Khidhir”. Ketertutupan terhadap berbagai informasi mengakibatkan pendidikan Islam stagnant, statis dan bahkan mati.
4. Keserasian Ilmu dan Amal
Adalah pendirian yang benar sepanjang zaman dimanapun bahwa, ilmu harus menjadi penggerak amal saleh dan amal perbuatan musti didukung oleh ilmu pengetahuan. Pendirian inilah yang menjadi jiwa pendidikan yang dicanangkan al-Kailani.
5. Keniscayaan (Kewajiban) Belajar
Program Wajib Belajar versi al-Kailani adalah sama persis dengan program wajib belajar yang dicanangkan Allah dan Rasulullah bagi setiap pribadi muslim (lelaki dan permepuan, manusia merdeka dan budak/golongan terjajah)
6. Faktor Keikhlasan
Seperti asumsi yang beraku dalam konunitas failosof muslim dan para sufi, al-Kailani bermaksud memberlakukan keikhlasan sebagai motivasi awal yang musti dimiliki oleh setiap calon peserta didik. Dia menetapkan motif dasar belajar adalah ikhlash dalam arti semata-mata karena mencari mardhatillah, dan bukan karena tujuan-tujuan duniawi, baik yang bersifat materi kebendaan, popluritas, jabatan, ataupun status sosial seseorang di tengah-tengah pergaulan masyarakat.
7. Pembatasan Aspek Rasio
Pembatasan aspek rasio lahir dari asumsi dasar al-Kailani tentang dua kategorisasi ilmu secara epistemologis. Ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya didalam al-Quran dikategorikan menjadi ilmu pengetahaun yang diperoleh dengan jalan wahyu Allah dan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan jalan eksperimen secara empiris. Ilmu jenis pertama, menurutnya, terkait dengan masalah-masalah metafisik atau mughayyabat. Ilmu ini diharapkan dapat memperkuat dan menyempurnakan ilmu dan keimanan.
8. Relasi Guru-Murid
Konsepsi relasi guru-murid yang dianut al-Kailani, lazimnya pendirian penganut setia Islam, tidak lain adalah pola relasi yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW yang seluruh aspek kehidupannya merupakan uswah hasanah.
3. PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA BELUM MENUNJUKKN RATE OF RETURN YANG IDEAL

Penyebab Pendidikan Islam di Indonesia masih Under Invesment in Human Capital adalah akibat dari keseluruhan dan kesatuan sistem pendidikan Islam itu sendiri. Sistem yang dimaksud adalah integrasi seluruh komponen yang terlibat dalam pendidikan. Beberapa faktor yang sering dituduh sebagai penyebab dalam hal ini adalah sebagai berikut :
1. Input lembaga pendidikan Islam yang tergolong berkategorikan rendah dan kurang dalam berbagai aspek. Akan tetapi, hal ini tidak akan terjadi manakala ada seleksi yang benar-benar memenuhi standar seleksi yang berkualitas sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku umum di semua lembaga pendidikan.
2. Program kependidikan yang relatif tidak terencanakan secara sistematis dan berkseinambungan. Disamping ketidak-pastian sistem kebijakan nasional yang ditetatpkan kepadanya akibat pergantian kepentingan politis para penyelenggara kebijakan dalam bidang pendidikan dan pemerintahan pada umumnya.
3. Sumber Daya Manusia (pimpinan, tenaga pengajar atau guru, staff administrasi dan petugas layanan umum) yang rendah dalam hal kompetensi, baik kompetensi personal, sosial, maupun akademik atau professional.
4. Sarana fisik yang dimiliki terkategorikan belum memnuhi standar kelayakan, belum dapat mendorong terciptanya situasi dan kondisi yang adaptatif dan konudusif bagi proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
5. Aspek budgeting yang menyangkut penganggaran, pembelanjaan serta pengawasan terhadap pemakaian angaran belanja pendidikan yang tidak dikelola secara professional oleh pihak-pihak yang memiliki integritas tinggi, kompetensi dan pengalaman dalam bidang perencanaan pendidikan serta bidang ekonomi dan pembiayaan pendidikan.
Strategi Peningkatan Investasi dan Efektivitas Pencapaian Rate of Return yang ideal sangat bergantung kepada baik tidaknya upaya perbaikan mutu SDM, keseluruhan program pendidikan, budgeting, serta pemenuhan standar sarana fisik. Selain itu, pergantian kepemimpinan negara dan iklim politik secara keseluruhan hendaknya tidak mempengaruhi sistem kebijakan pendidikan nasional.

0 Response to "FORMAT PENGEMBANGAN KURIKULUM"

Posting Komentar