Pendekatan Sistem dalam Perencanaan Pendidikan

Oleh: Suteja


I. PENDEKATAN SISTEM

Kata sistem (system) dapat dimaknai sebagai  metode (method), rencana (plan), aturan (order), keteraturan (regularity),  aturan, kebiasaan (rule),  (manner), (mode),  susunan, rencana (scheme),  jalan, cara (way),  kebiajakan (policy),  kecerdasan (artifice), (operation),  susunan, aturan (arrangement),  rencana (program).[1]
Istilah sitem berasal dari bahasa Yunani systema  yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compoused with several parts),[2] atau hubungan diantara bagian-bagian secara teratur (an organized, function relationship among units or components).[3] Sistem menunjuk pada pengertian kumpulan benda-benda, himpunan alat-alat, himpunan gagasan (ide), hipotesis atau teori, atau menununjuk pada  metode. Dalam parktiknya, istilah sistem paling sering digunakan untuk menunjuk pengertian metode atau cara sesuatu himpunan unsur atau komponen yang saling berhubungan satu sama lain menjadi satu kesatuan yang utuh.
          Konsep sistem sebagai suatu metode dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan suatu cara dalam usaha  memecahkan masalah. Pendekatan sistem membantu penyadaran terhadap adanya kerumitan di dalam sesuatu masalah. Misalnya,  dalam kasus kemampuan berbahasa Arab dan kaitannya dengan kemampuan menterjemahkan ayat-ayat al-Quran.
Rendahnya kemampuan menterjemahkan ayat-ayat al-Quran (surat-surat pendek)  sebagian besar lulusan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) diasumsikan karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang pas-pasan.  Padahal, jika dikaji lebih cermat, diketahui bahwa kemampuan yang rendah itu bukan merupakan faktor penentu satu-satunya. Sebab, realitasnya faktor yang menentukan rendahnya kemampuan menterjemahkan ayat-ayat al-Quran tidak hanya karena satu faktor saja. Bisa jadi karena faktor kurikulum yang dipaksakan, metode pengajaran yang diterapkan, laboratotoirum bahasa yang tersedia, alokasi waktu yang disediakan, atau juga karena gaya mengajar guru, dan lain-lain.
          Keuntungan yang kita peroleh dengan mengambil kesimpulan (conclussion, natîjah) secara sistematik, ialah dengan melihat masing-masing faktor  yang menjadi penyebab, dibandingkan hanya memusatkan diri pada kemampuan berbahasa Arab saja.
          Pendekatan Sistem (system approach) sangat sulit didefinisikan. “Seyogyanya para  perencana pendidikan lebih berhati-hati di dalam mendefinisikan  dan menempatkannya secara sepesifik”.[4] Kehati-hatian itu akan sangat membantu di dalam merumuskan permasalahaan dan berbagai kemungkinan pemecahannya.[5]
C. West Churcman, seperti dinyatakan Tatang, melukiskan bahwa pendekatan sistem bermula  jika anda memandang dunia ini dari kacamata orang lain. Hal itu terus berlangsung, katanya, untuk menemukan kenyataan  bahwa setiap pandangan dunia itu amat terbatas, dan tidak seorangpun yang piawai, ahli dalam pendekatan sistem.[6]  Kaufman mempergunakan pendekatan sistem sebagai proses  pemecahan masalah secara lojik yang dapat diterapkakan dengan cara  mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah pendidikan yang penting.[7] Mempergunakan pendekatan sistem menuntut pemahaman bahwa, setiap benda atau sistem itu berada (menjadi bagian) dari sistem yang lebih besar atau lebih luas, sehingga semua benda dengan sesuatu cara adalah saling berkaitan.
Semakin maju perkembangan berfikir umat manusia, semakin menghendaki adanya hasil penerapan pendekatan sistem yang lebih obyektif dan tepat. Keinginan ini, menurut Tatang M. Amirin,  terwujud dalam bentuk berkembangnya teknik-teknik pemecahan masalah (problems solving) yang tinggi, canggih (sophisticated), seperti analisis statistik, model simulasi, dan sisem informasi yang mempergunakan komputer. [8] Berbagai macam hasil perkembangan tersebut ditujukan pada peningkatan mekanisme kontrol sistem organisasi, yang dapat  memungkinkan melakukan perencanaan dan menyikapi  perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan secara lebih efektif.



II. ANALISIS KOMPONEN PENDIDIKAN

            Ada dua komponen besar sebuah perencanaan pendidikan yaitu:  isi pendidikan (educational content) dan proses perencanaan pendidikan (educationalplanning process).  Isi pendidikan terdiri dari : (1) Sistem Manajemen Informasi Pendidikan, (2)  Sistem Komunikasi Pendidikan, (3) Sistem Aktivitas  Pendidikan, (4) Fasilitas Kependidikan, dan (4) Sistem Operasional Pendidikan.
Penetapan itu dimaksudkan sebagai ikhtiar awal bagi sebuah rencana pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan  yang  komprehensif. Pendekatan itu harus dibangun atas asumsi-asumi dasar yang prinsip. Pertama, proses perencanaan pendidikan harus dipahami sebagai sesuatu yang all-inclussive. Kedua, disadari atau tidak disadari  pendidikan akan berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang bersifat spesifik.
A.                Sistem Manajemen Informasi Kependidikan
Informasi pendidikan bagi Sistem Perencanaan Pendidikan menjadi sangat bermakna tidak saja sebagai usaha mendapatkan masukan  berbagai persoalan yang berhubungan dengan kepentingan perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan penialain proses pendidikan.  Sistem manajemen informasi membantu para praktisi perencanaan mengenai berbagai persoalan (sosial, ekonomi, politik, teknologi, kebutuhan dan aspirasi) masyarakat dalam kerangka mendapatkan gambaran masa depan yang ditetapkan sebagai cita-cita bersama masyarakat pendidikan.
1. Peserta Didik
Untuk menguatkan asumsi di atas, perlu ditetapkan poin-poin yang mesti diselenggarakan dalam sistem manajemen informasi ini mengenai peserta didik, staff kependidikan (guru dan karyawan), bangunan/gedung, program kegiatan kependidikan, dan keuangan.
Gagasan yang sangat menarik dicontoh bagi perubahan  pendidikan di tanah air  berkenaan dengan ihwal peserta didik adalah   adanya keterbukaan  lembaga pendidikan terhadap segala ihwal yang bersumber dari peserta didik atau hal-hal yang menjamin kualifikasi mereka baik selama di lingkungan lembaga ataupun setelah mereka menyelesaikan studi dan kertika mereka merasa siap berkiprah di dalam masyarakat. Banghart menetapkan langkah-langkah taktis operasional yang sangat strategis dengan memberikan penghargaan terhadap seluruh  aspirasi peserta didik dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi warga bangsa yang kreatif, mandiri, dan produktif.
2. Staff/Tenaga  Kependidikan (guru/dosen  dan karyawan)
Tatanan nilai sosial bangsa Indonesia masih mengikuti keteladanan pihak orang dewasa, orang tua (ayah dan ibu), penguasa, pejabat, dan sebutan-sebutan lain yang mengandung senioritas. Pemeliharaan dan bahkan pelestarian norma ini sedikit banyak dan besar kecilnya berdampak “negatif” terhadap dunia pendidikan. Budaya ewuh pakewuh  misalnya merupakan salah satu faktor psikologis yang menyumbat dinamika keterbukaan antara pndidik dan peserta didik, atau antara masyarakat dan pendidik dalam mendapatkan informasi yang akurat tentang kompetensi pendidik atau kualifikasi penyelenggara lembaga pendidikan.
Proses perencanaan pendidikan yang komprehensif, memandang norma di atas sangat mengganggu bagi lahirnya transparansi  informasi tentang kualifikasi atau kompetensi tenaga kependidikan. Dia menganjurkan disajikannya infromasi terbuka kepada masyarakat pendidikan (terutama peserta didik) tentang pendidik, misalnya masalah kemampuan pengajar, tugas dan jadwal kegiatan guru secara keseluruhan, effektifias penampilan guru di dalam kelas, status sosial dan ekonomi guru,  ataupun berbagai keahlian yang dibutuhkan dalam usaha meningkatkan keahlian mengajar guru.
3. Bangunan/gedung
Lembaga pendidikan  di tanah air kita, dalam hal ini, belum sampai kepada gagasan Banghart. Lembaga pendidikan persekolahan milik pemerintah ataupun lembaga-lembaga yang dikelola masyarakat (swasta) belum mampu menyajikan informasi yang berkaitan dengan peserta didik tentang pengalaman-pengalaman peserta didik di luar sekolah yang berpengaruh secara signifikan terhadap proses pembelajaran, atau mengidentifikasi masalah yang dapat dijadikan bekal setelah mereka lulus dan ketika hendak berpartisipasi di lingkungan masyarakat sebagai tenaga kerja professional.
Informasi yang tidak kalah pentingnya yang belum pernah dilakukan lembaga pendidikan di negeri ini ialah informasi mengenai struktur, konstruksi dan kualitas sampai pada biaya pemeliharaan bangunan atau gedung-gedung sekolah. Masyarakat dan orang tua peserta didik,  nyaris tidak tahu menahu masalah ini.
4. Program Kegiatan Pendidikan
Pendidikan seharusnya memandang betapa pentingnya ia  berorientasi kepada kepentingan dan masa depan peserta didik. Dunia pendidikan kita tampaknya boleh mengaplikasikan idenya berkenaan dengan setiap program pembelajaran. Lembaga pendidikan disarankan menyajikan informasi secara terbuka dan on-line  tentang efektifitas setiap program, pengaruh masing-masing proyek belajar mengajar, dan manfaat yang diperoleh.
Kurikulum  semestinya menyajikan informasi yang menggugah adanya peran serta secara aktif setiap masyarakat pendidikan kaitannya dengan setiap perubahan dinamis kurikulum pendidikan kita. Peserta didik dan masyarakat adalah  sumber pembelajaran. Kurikulum bersumber dari kebutuhan masyarakat dan, dengan demikian, semestinya menempuh tahapan=tahapan : proses perumusan, pelaksanaan dan penilaian dari masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Sangat jauh dengan kurikulum pendidikan di Indonesia sekarang yang cenderung paket atau titipan dari kebiajakan negara yang relatif berubah setiap terjadi pergantian penyelenggara dan pembuat kebijakan. Kurikulum pendidikan Indonesia dibuat oleh pemerintah selaku penyelenggara dan pembuat kebijakan, dilaksanakan oleh kaum pendidik sebagai pelaksana, dan peserta didik sebagai objek kebijakan diberi kesempatan sebatas mengkonsumsi kebijakan tersebut, tidak memiliki ruang gerak untuk mengevaluasi. Sementara pihak orang tua dan masyarakat pada umumnya, harus siap menyambut apapun kompetensi output dan outcome.  Tidak ada kesempatan untuk menguji performance peserta didik disandingkan atau dihadapkan dengan sasaran/tujuan yang ditetapkan.
5. Keuangan
Lembaga pendidikan seperti sekolah/madrasah dan pondok pesantren diakui bukan lembaga sosial atau lembaga ekonomi seperti  koperasi  ataupun  perseroan terbatas (PT). Pendirian ini sepintas menjadi alat  pembenaran bagi adanya ketertutupan lembaga-lembaga tersebut dalam hal keuangan. Masyarakat tidak pernah tahu, karena memang tidak diberitahu, berapa jumlah uang yang diterima dan dibelanjakan oleh sekolah atau pondok pesantren, atau manfaat dari pemakaian uang/dana tersebut.
Lembaga persekolahan, termasuk juga pondok pesantren, dipastikan belum bisa melakukan pelaporan secara rutin kepada masyarakat  karena sistem pembukuan keuangan masih bersifat alami. Lembaga persekolahan tidak memiliki otoritas dan otonomi dalam melakukan proyeksi anggaran belanja dan pendapatan. Konsekuensinya,  sekolah-sekolah yang dikelola negara tidak memiliki daya tumbuh dan daya kembang secara progressif. Sedangkan lembaga-lembaga pesekolahan swasta perkembangannya tidak meyakinkan.
Sistem manajemen keuangan sekolah setogyanya mengacu kepada sistem manajemen lembaga keuangan yang terbuka, efektif, efesien dan poyektif layaknya lembaga yang mengandalkan eksistensinya dari uang dengan tetap menjaga essensinya sebagai lembaga pendidikan.
B.                Sistem Aktivitas Pendidikan
Beberapa poin yang mesti diadakan dalam sistem aktivitas pendidikan ini. Beberapa poin yang diusulkannya menyangkut masalah ín-place,  schedule time, program kurikuler, dan program hubungan sekolah dengan masyarakat.
Program hubungan masyarakat merupakan salah satu  program yang tidak dapat diabaikan oleh setiap lembaga pendidikan yang menghendaki dirinya tetap survive. Masalah hubungan sekolah dan masyarakat yang perlu segera dirumuskan adalah  program-program yang menumbuhkan kesadaran masyarakat pendidikan terhadap mutu pembelajaran dan keberanian masyarakat melakukan penilaian secara obyektif terhadap seluruh program sekolah.
C.                Sistem Komunikasi Pendidikan
Penyelenggarakan sistem komunikasi pendidikan bertumpu kepada tiga hal penting,  yaitu :  (1) transportasi,  (2) informasi, dan (3) energi. Sistem tranportasi dan informasi berkaitan dengan persoalan-persoalan yang bersifat non-fisik. Sedangkan sistem energi berhubungan dengan masalah fisik  persekolahan.
Sepintas gagasan ini mengesankan keharusan lembaga pendidikan benar-benar lahir dari sejak awal sebagai lembaga yang  bonavide dari sudut pandang keuangan, semisal Yayasan Paramadhina. Sudut pandang ini muncul akibat keterputusan (yang mestinya tidak terjadi) dalam sebuah proses perencanaan. Melihat sebuah persoalan secara parsial dan tidak menggunakan pendekatan sistem tentunya akan melahirkan pesimisme dan pandangan yang kabur menjangkau masa depan serta  keraguan untuk melangkah secara pasti. Pandangan ini juga lahir sebagai akibat ketidak mampuan sekolah dalam mengaplikasikan gagasan pada poin-poin sebelumnya.
  Merealisasikan gagasan ini memang sangat membutuhkan dana yang mencukupi. Akan tetapi sebenarnya ia dapat dilakukan dengan melalui  eksperimen bagi peserta didik.  Andai saja lembaga peserkolahan di negeri ini dikaruniai kemauan dan kemampuan sistem finansial  yang memadai, persoalannya menjadi lebih sederhana. Proses pembuatan anggaran, pembelanjaan uang dan pembukuan serta pelaporan rutin yang transparan dan melibatkan seluruh masyarakat pendidikan menjadi salah satu modal dasar lembaga persekolahan di Indonesia untuk mampu melaksanakan berbagai proyek kegiatan eksperimen secara berkala dan dirasakan manfaatnya secara langsung, khususnya oleh peserta didik.

















III.  PROSES PERENCANAAN PENDIDIKAN
            Proses perencanaan adalah komponen besar kedua dalam Sistem Perencanaan Pendidikan Banghart. Proses perencanaan harus memperhatikan berbagai aspek seperti : tujuan, input, proses, output, dan kriteria. Bisa dipastikan semua lembaga pendidikan di Indonesia memahami proses perencanaan yang demikian.
Persoalannya adalah kenyataan di lapangan tidak seluruhnya dapat mengaplikasikan teori tersebut. Perubahan kurikulum pendidikan secara nasional, proses seleksi di awal tahun ajaran, pelaksanaan kurikulum dengan semangat otonomisasi pendidikan, serta peneyelenggaraan dan pelaksanaan ujian akhir kelulusan mengesankan keterputusan antara : tujuan, input, proses, output dan krietria.
Proses pembelajaran dengan memfaatkan tenaga guru bantu (GBS) dan masih mengharapkan kualitas lulusan yang memenuhi standar adalah sebuah pemandangan yang sangat tidak  menjadikan tentram para orangtua/wali. Ketidak tentraman itu, setidaknya karena kita menemukan kekaburan informasi tentang kompetensi dan kualifikasi guru.
Kajian kita adalah, seberapa besarkah kemungkinan ketercapaian tujuan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dengan mengandalkan proses pembelajaran yang dipimpin oleh tenaga pengajar yang motivasi dasarnya “mencari nafkah”, dan bukan pengabdian untuk mencerdaskan anak bangsa  (masalah nilai). Apakah mungkin pula tujuan itu tercapai, bila sekolah-sekolah di daerah-daerah  yang putra-putrinya tergolong tertinggal atau minus (masalah input) memasuki sebuah sekolah dengan fasilitas yang kurang memadai secara kuantitas dan kualitas,  dibimbing oleh tenaga pengajar  honorer, muatan kurikulum yang relatif tidak sebanding dengan alokasi waktu belajar, penerapan pendekatan dan metode pengajaran yang monoton,  serta lingkungan belajar yang tidak kondusif (proses).
Tujuan yang dikehendaki adalah bukan sembarang tujuan melainkan harus benar-benar realistis. Nilai realitas tujuan setidaknya mesti diukur (have to be measured) dan disesuikan dengan  kondisi riil dan kecenderungan dinamika  peserta belajar dan masyarakat pendidikan umumnya, baik menyangkut norma-norma (moral, sosial, dan agama) dan juga kebutuhan di masa depan ketika hendak berkiprah di masyarakat. Dengan demikian tujuan yang ditetapkan mesti futuristic  dengan mengacu kepada kondisi yang ada sebagai data  factual yang dijadikan pedoman melakukan perkiraan-perkiraan secara realistis.
          Tujuan yang realistis pada gilirannya akan sangat membantu dalam melakukan identifikasi masukan dan keluaran dalam rangkaian sebuah proses yang utuh. Pembatasan tujuan kepada tujuan yang realistis setidaknya bisa dijadikan standar masing-masing sub sistem perencanaan disamping dapat dijadikan standar bagi kelayakan dan  ketercapaian tujuan itu sendiri.
Sedangkan kriteria dipergunakan dalam penetapan satu kesatuan proses perencanaan dari mulai penetapan tujuan, masukan dan keluaran, serta proses yang melibatkan aktivitas rekrutmen human resources (Sumber Daya Manusia) dan pengorganisasian  natural resources (Sumber Daya Alam).
Pembatasan-pembatasan diharapkan dapat menyederhanakan sebuah rencana pendidikan menjadi tidak kaku, terukur, mudah dilaksanakan, dan mudah dievaluasi. Pembatasan sangat bermakna bagi usaha pencarian umpan balik (feedback), perubahan-perubahan atau peninjauan ulang di tengah perjalanan, dan dilakukannya terobosan-terobosan baru.




IV. SIMPULAN
            Pendekatan Sistem (System Approach) dalam Perencanaan Pendidikan adalah sebuah cara dalam memecahkan persoalan (problems solving) dengan memandang persoalan sebagai sebuah sistem yang masing-masing sub-nya tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya. Ia sanggup memandang secara cermat dan tepat seluruh faktor pendidikan dan menempatkan pendidikan sebagai sistem  yang all-inclussive.
Kelebihan  pendekatan ini tidak saja karena ketepatan melihat masalah-masalah pendidikan secara sistematis, tidak parsial, menghemat waktu, memungkinkan analisis data yang kompleks dengan level cost  yang relatif rendah dan membantu melakukan determinasi startegi perencanaan yang bagus. Akan tetapi juga karena hasil atau simpulan yang diperolehnya bersifat komprehensif.

والله أعلم بالصواب
         



















 







[1] Devlin, Joseph, A Dictionary of Synonyms and Antonyms,  Angkasa : Bandung, 1961,h. 307.
[2] Shrode, William,  and Dan Voich, Organization and Managmenet; Basic Systems Concepts, Malaysa : Irwin Book, Co., 1974,  h. 115.
[3] Awad, Elias M., System Analyziz and Design, Illinois :  Richard D. Irwin, Homewood, 1979, h. 4.
[4] Banghart, Frank W.,  Educational Planning, h. 107.
[5] Ibid.
[6] Amirin, Tatang  M.,  Pokok-pokok Teori Sistem, Jakarta : Rajawali, 1984, h. 8.  
[7] Kaufman, Roger A.,  Educational System Planning, New Jersey : Rnglewood Cliffs, N.J., h. 2.
[8] Ibid., h. 9.

0 Response to " "

Posting Komentar