OREINTASI PEMBELAJARAN KITAB FIQH

OREINTASI PEMBELAJARAN KITAB FIQH
Oleh : Suteja
Dosen IAIN SYEKH NURJATI Cirebon


A. Pendahuluan
Abad pertama islamisasi Asia Tenggara berbarengan dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Beberapa tokoh yang berpengaruh secara signifikan antara lain: al-Ghazali (450-505 H./1058-111 M.), yang telah menguraikan konsep moderat tasawuf  akhlaqi  yang dapat diterima di kalangan para fuqaha’, Ibnu ‘Arabi (560-638 H./1164-1240 M.), yang karyanya sangat mempengaruhi ajaran hampir semua sufi, serta para pendiri tarekat semisal ‘Abd. al-Qadir al-Jaylani (470-561 H./10771-165 M.) yang ajarannya menjadi dasar tarekat Qadiriyah, Abu al-Najib al-Suhrawardi (490-563 H./1096–1167 M.),  Najmudddin al-Kubra (w. 618 H./1221 M.) yang ajarannya sangat berpengaruh terhadap tarkeat Naqsyabandiyah, Abu  al-Hasan al-Syadzali (560-638 H./1196-1258 M.) sufi asal Afrika dan pendiri tarekat Syadzaliyah,  Bahauddin al-Bukhari al-Naqsyabandi (717-781 H./1317-1389 M.), dan ‘Abdullah al-Syattar (w. 832 H./1428 M.).[1] 
Islam yang diterima orang-orang Asia Tenggara yang pertama memeluk Islam barangkali sangat diwarnai oleh berbagai ajaran dan amalan sufi.[2]  Di Indonesia dan khususnya di Jawa, awal mula perkembangan agama (Islam)  adalah  dalam bentuk  yang sudah bercampur baur dengan  unsur-unsur India dan Persia,  terbungkus dalam praktik-praktik keagamaan.[3] Islam yang datang ke Indonesia dan khususnya di Jawa adalah Islam yang bercorak sufistik.[4]  Para sufi (wali), ulama dan kyai di tanah Jawa  cenderung bersikap simpatik dan akomodatif terhadap tradisi budaya lokal.
Tasawuf berkaitan dengan hakikat, yang mereka sebut dengan istilah khawariq al-‘adah (berlawanan dengan hukum alam).[5] Pada praktikya, tasawuf merupakan adopsi ketat dari prinsip-prinsip Islam dengan jalan mengerjakan seluruh perintah wajib dan sunnah agar mendapat ridha Allah. Hasil sampingan dari pengamalan tasawuf, jika ridha Allah diperoleh, adalah berupa kemampuan mengetahui kebenaran Ilahi, ilmu hakikat. Pencapaian kebenaran ini disebut ma’rifat, yang secara literal berarti mengetahui Realitas (gnosis).
Tarikat (thariqah) dapat didefinisikan sebagai jalan kontemplatif Islam, berbeda dengan syariat yang lebih mengarah kepada kehidupan tindakan. Tarikat diasosiasikan atau bahkan dapat disamakan dengan sufisme, karena dalam arti yang lebih sempit  ia mengacu kepada ajaran sufi.[6]

B. Perjalanan Pesantren
Pesantren-pesantren tua biasanya selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta kemampuan mempertahankan budaya local. Denominasi keagamaan dalam pendidikan pesantren yang Fikih-Sufistik (Syafi’i-Asy’ari-Ghazalian-Oriented) terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksanaan konsep cultural resistance.
Pesantren adalah adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya modal keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[7] Pengertian tradisional di sini menunjuk bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) telah hidup sejak 300 – 500 tahun lalu dan telah menjadi bagian yang mengakar dalam kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tradisional bukan berarti tetap tanpa mengalami perubahan.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia.[8]  Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad  sebagai lembaga pendidikan dan pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan agama Islam di Nusantara. Lembaga ini berdiri untuk pertama kalinya di zaman  Wali Songo.  Syaikh Mawlana Malik Ibrahim atau Mawlana Maghribi (w. 822 H./1419 M.) dianggap sebagai pendiri pesantren yang pertama di Jawa.[9] Syaikh Mawlana Malik Ibrahim  dipandang  sebagai Spiritual Father Wali Songo,  gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa.[10]
Menyusul kemudian pesantren Sunan Ampel di daerah Kembangkuning  Ampel Denta Surabaya, yang pada mulanya hanya memiliki tiga orang santri atau murid.[11] Pesantren Sunan Ampel inilah yang melahirkan kader-kader Wali Songo  seperti Sunan Giri (Raden Paku atau Raden Samudro). Sunan Giri kemudian mendirikan pesantren di Desa Sidomukti Gresik.  Pesantren itu sekarang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Giri Kedaton.[12]
Raden Fatah adalah juga murid Sunan Ampel dan berhasil pesantren di Desa Glagah Wangi, sebelah Selatan Jepara (1475 M./ 880 H.). Di Pesantren ini pengajarannya terfokus kepada ajaran tasawwuf para  wali  dengan sumber utama Suluk Sunan Bonang  (tulisan tangan para wali). Sedangkan kitab yang dipergunakan adalah Tafsir al-Jalalayn.[13] Ketika Demak dipimpin oleh Sultan Trenggono (memerintah 1521 – 1546 M./ 928 – 953 H.)  Fatahillah (Fadhilah Khan) yang dipandang ‘alim dan dihormati masyarakat dipercaya untuk mendirikan pesantren di Demak.[14]
Satu abad setelah masa Wali Songo,  abad 17, Mataram memperkuat pengaruh ajaran para wali. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, yang dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidina Penotogomo ing Tanah Jawi  (memerintah 1613-1645 H./022-1055 M.) mulai dibuka kelas khusus bagi para santri untuk memperdalam ilmu agama Islam (kelas takhashshush) dengan spesialiasi cabang ilmu tertentu,   serta  pengajian tarekat,[15] atau pesantren tariqat.[16]
Hal baru yang sangat menarik adalah inisiatif Sultan Agung untuk memperhatikan pendidikan pesantren secara lebih serius. Dia menyediakan tanah perdikan bagi kaum santri serta memberi iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan (Islam) hingga mereka berhasil mengembangkan tidak kurang dari 300 buah pondok pesantren.[17] Kenyataan ini identik dengan dinamika dan kemajuan yang dinikmati Madrasah Nidzamiyah Baghdad ketika pada masa-masa keemasannya di bawah kepemimpinan al-Ghazali yang fikih-sufistk oriented.

C. Mengapa Fikih-Sufistik
Tasawuf yang berkembang pertama kali di abad ke-15 Masehi sangat berbeda dengan tasawuf yang dipahami dan berkembang luas di tengah masyarakat sekarang ini. Tasawuf pada masa itu masih kental dengan ajaran-ajaran filosofisnya, mempunyai watak dinamis akibat nilai-nilai spekulatif-nya (tasawuf falsafi).  Sementara pada saat ini, tasawuf yang diajarkan leih pada aspek amaliah yang bisa diamalkan secara luas dengan menekankan  pada amalan dan wiridan-wiridan, kurang menonjolkan pengungkapan rasa cinta mahabbah  kepada Allah, dan kaang-kadang sulit dibedakan dengan pendidikan akhlaq.
Persantren, bagi Zamalhsyari, tidak dapat dipisahkan dengan tasawuf.[18] Seluruh sejarah pesantren, baik dalam bentuk “pertapaan” maupun dalam bentuk pesantren abad ke-19 Masehi, materi yang diajarkan sudah memasukkan tasawuf. Sejak pesantren itu ada tasawuf telah diajarkan. Berbeda dengan materi ushul fiqh yang baru muncul belakangan (1880 M.) dalam kurikulum pesantren, yakni sejak meluasnya lulusan Haramayn yang menguasai bidang tersebut.
Sejak abad ke-16 Masehi di pesantren-pesantren telah diajarkan kitab-kitab tasawuf seperti  Ihya’ ‘Ulum al-Din, Bidayat al-Hidayah, Talkish al-Minhaj, Syar fi al-Daqaiq, al-Kanz al-Khafi,  dan Ma’rifat ‘Alam.  Disamping itu juga, meskipun agak terbatas dipelajari juga karya-karya tentang wadat al-Wujud dan al-Insan al-Kamil karya al-Jiyli.[19] Bahkan, kitab karya Ibnu ‘Athoillah al-Sakandari (w. 796 H./1394 M.)  yakni al-Hikam  dan Hidayat al-Atqiya’ ila Thariq al-Awliya’  karya Zain al-Din al-Malibari (w. 914 H./1508 M.).[20] 
Di Jawa, kita bisa mencatat sejumlah nama yang lazim disebut walisongo  yang mempunyai peran penting dalam penyebaran tasawuf. Sunan Bonang di Tuban (w. 1525 M.) jelas-jelas  mengajarkan tasawuf al-Ghazali sebab kitab Primbon 15 yang sering dinisbatkan kepadanya, isinya merupakan rangkuman dari kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din  karya al-Ghazali. Primbon ini, menurut  Wiji Saksono, ditemukan kembali oleh armada Belanda yang pertama kali berlayar ke Nusantara dengan suasana damai di Sedayu pada tahun 1597 M. yang kemudian dikenal dengan Het Boek Van Bonang.  Kitab ini berisi wejangan Sunan Bonang yang ditulis oleh muridnya dengan menggunakan bahasa dan aksarana Jawa Tengahan.[21]
Secara edukasional, peran kitab-kitab klasik adalah memberikan infromasi kepada para santri bukan hanya mengenai warisan yursiprudensi di masa lampau atau tentang jalan terang untuk mencapai hakikat ubudiyah kepada Tuhan,  namun juga mengenai peran-peran kehidupan di masa depan bagi suatu masyarakat. Didalam pendidikan pesantren peran ganda kitab-kitab klasik itu adalah memelihara warisan masa lalu dan legitimasi bagi para santri dalam kehidupan masyarakat di masa depan.
Kehadiran tasawuf memiliki makna  korektif terhadap ideologisasi dan formalisasi Islam yang dilakukan masing-masing kaum modernis Islam dan  fuqaha’. Alam pikiran fuqaha’ lebih menekankan agama sebagai hukum formal dan kaum modernnis mengembangkannya menjadi semacam ideologi.  Kaum modernis dan fuqaha’ mendekati Tuhan  secara kalkulatif rasional, sedangkan kaum sufi mendekati Tuhan dengan menggunakan bahasa cinta dan bersifat intuitif. Pola keberagamaan ahli fikih dan kaum modernis terutama diwujudkan dalam bentuk ketaatan hamba kepada tuannya. Konstruk keberagamaan seperti ini kurang memberi kemungkinan untuk menghayati dimensi kedalaman dari agama (Islam).
Tasawuf  memberikan reaksi keras terhadap  formalisasi dan ideologisasi Islam. Tasawuf mengupayakan pengembangan spiritualitas . Tasawuf menghadirkan Tuhan sebagai yang bisa dikenal oleh pengetahuan manusia.  Kaum sufi memandang Tuhan sebagai  Sang Kekasih. Karena itu, keberagaman diwujudkan dalam bentuk kecintaan sang perindu kepada Yang Dirindukan (al-Ma’syuq). Kebutuhan jangka panjang  umat Islam  sekarang adalah bukan penafian Konsep-konsep fikih yang legal-formalistik, melainkan bagaimana fikih itu memiliki dimensi spiritualitas. Perjumpaan antara lahiriah fikih dan batiniyah tasawuf inilah yang dimaksud dengan fikih-sufistik. Konvergensi antara fikih dan tasawuf ini dimaksudkan untuk menhela agar fikih tidak terjebak pada logosentrisme, formalisme, dan simbolisme yang terus melorot kehilangan spirit dan rohnya.
Perkembangan tasawuf yang cukup signifikan mengantarkan pesantren menjadi institusi terbaik untuk membentuk pribadi-pribadi muslim. Pengaruh nilai-nilai yangdikembangkan tasawuf memberikan bekal yang baik bagi para santri di pesantren. Pesantren telah menjadi sebuah komunitas tersendiri, dimana kyai, ustadz, santri, dan pengurus pesantren hidup bersama dalam satu lingkungan pendidikan berlandaskan norma-norma agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.                    
Kajian fikih-sufistik di sau pihak dan pendalaman ilmu fiqh melalui berbagai macam alat Bantu di dalam dunia pesantren telah melahirkan ulama-ulama yang mempunuai cirri khas dan karakter berbeda dengan ulama-ulama di daerahj-dearah lain terutama Timur Tengah. Ulama-ulama pesantren tetap berpegang pada akhlak sufistik yang telah berkembang selama berabad-abad di Indonesia. Dari latar belakang historis keagamaan dan keilmuan Islam inilah, tradisi keilmuan Islam di pesantren berasal.[22]
Perjalan sejarah pesantren mengajarkan bahwa, penguasaan atas ilmu-ilmu keislaman dalam arti pendalaman yang menuju pada penguasaan fikih merupakan kekhasan pesantren di Indonesia. Namun, pada saat yang sama tradisi tersebut tidak melupakan sisi lain yaitu  fikih-sufistik  yang merupakan topangan tradisi keilmuan Islam sebelum abad ke-19 Masehi, dimana bukan pendalaman ilmu dalam arti penguasaan untuk berargumentasi, melainkan pengamalan ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagai ukuran utama  kesantrian atau kekyaian seseorang. Fikih-sufistik  dengan demikian tumbuh dan berkembang dari  tradisi keilmuan pesantren yang memiliki asal usul sangat kuat, yaitu di satu satu sisi berasal dari perkembangan tasawuf masa lampau dan di sisi lain pada pendalaman ilmu-ilmu fikih melalui penguasaan alat-alat bantunya.
Pesantren mempunyai watak yang secara kuat mengajarkan dan mendidik para santrinya untuk memperkaya amalan-amalan ibadah, shalat, dzikir, puasa, membaca al-Quran dan sejenisnya, bukan sekadar menajamkan intelektualitas pengetahuan keislaman. Sebab, doktrin yang dikembangkan di pesantren adalah bahwa ilmu itu bermanfaat jika bisa mendekatkan diri kepada Allah. Jadi, karena inti ajaran tasawuf adalah taqarrub  kepada Allah, maka tasawuf menempati posisi utama dalam pesantren.
Pesantren salafi (sufistik) adalah pendidikan yang memposisikan pribadi pada pelatihan untuk menjadi manusia yang mendekati alam lahutr  dimana seorang sufi  meski setinggi apapun ilmunya maka di aakan semakin tawadhu’ dan semakin menyeleksi ucapannya dan tindakannya. Seorang sufi memiliki kebiasan menyedikitkan tiudur, makan dan menyedikitkan perkataan. Hal inilah yang mendorong mengapa pesantren mendidik santri dalam kehidupan yang zuhud sehingga akan senantiasa menjauhkan diri dari paham materialis.

D. Kyai ; Fenomena Supranatrural
Islam di Indonesia sampai sekarang bahkan masih diliputi dengan sikap-sikap sufistik dan kegemaran kepada hal-hal yang mengandung keramat  (Tariqat: karomah). Ajaran tasawuf yang mengarahkan pemikiran Islam kepada ilmu gaib (ilmu kasyfi) dan sistem pendidikan ketarekat-an yang sangat mengkultuskan pada guru, telah menjiwai masyarakat dan sistem pendidikan pesantren. Karena itu, jika tidak mempertimbangkan ajaran tasawuf dengan sistem pendidikan ketarekatan tentu akan sulit memahami watak pesantren.[23]
Di Pulau Jawa, pesantren dan jalan mistis tarekat adalah label Islam tradisional. Pesantren adalah tempat syariat (dimensi eksoterik Islam) sedangkan tarekat merupakan suatu organisasi yang dipakai untuk membangun dimensi esoteric Islam. Pola Islam tradisional dalam masyarakat pesantren, dengan demikian,  sama dengan pola budaya Islam sufi yang bersifat sangat ekspresif dan mistis.[24]
 Di kebanayakan pesantren, ulama atau kyai memegang peranan yang lebih dari sekadar seorang guru. Dia bertindak sebagai seorang pembimbing spiritual bagi mereka yang taat dan pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta membacakan doa pada berbagai upacara penting. Seperti dikemukakan Martin van Bruinessen, banyak kyai di Jawa yang dipercaya mempunyai kemampuan penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu. Kyai juga dipercaya sebagai perantara antara dunia nyata dengan dunia arwah.[25] 
Kyai dan ulama dalam konteks lingkungan masyarakat Islam sering diidentifikasikan kepada pemahaman sebagai ahli waris para Nabi (waratsat al-Anbiya’). Sejak abad pertengahan, sistem guruisme memberikan sumbangan besar kepada umat Islam untuk  memberikan kedudukan yang tinggi terhadap ulama, hal ini berkat pengetahuan keagamaan mereka yang fakih (ahli dalam masalah-masalah hukum fikih).[26] 
Berdasarkan  pada ketaatan terhadap ajaran Islam dalam praktik sesungguhnya, sistem nilai  fikih-sufistik  pesantren memainkan peranana pening dalammembentuk kerangka berfikir santri dan komunitas pesantren. Literatur yang menjasi sumber pengamalan nilai adalah kepemimpinan  kyai dan literature universal yang digunakan oleh pesantren. Pengamalan ajaran-ajaran  Islam secara total dalam praktik kehidupan sehari-hari menjadi legitimiasi bagi kepemimpinan kyai dan penggunaan literature universal hingga sekarang. Literatur  yang menjadi sumber pengambilan nilai-nilai dan kepemimpinan kyai sebagai seorang model bagi penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata merupakan arus utama dari sistem nilai ini.

E. Dampak Fikih-Sufistik  Pesantren
Pengamatan terhadap kurikulum yang dipergunakan pendidikan pesantren, berdasarkan hasil penelitian Martin Van Bruinessen, ditemukan kebenaran anggapan bahwa pondok pesantren dengan  kurikulum yang dikenal sekarang memang sudah ada sejak zaman Wali Songo (Abad ke-15 dan 16 M.).[27]  Namun demikian,  diperlukan kehati-hatian dalam menarik kesimpulan bahwa tarekat memainkan peranan yang sangat penting pada gelombang islamisasi yang pertama. Di antara naskah-naskah Islam paling tua, dari Jawa dan Sumatera, yang masih ada sampai sekarang  (dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600 M.) kita menemukan tidak adanya risalah-risalah tasawuf dan cerita-cerita penting keajaiban yang berasal dari Persia dan India, tetapi juga kitab peganagan ilmu fiqih yang baku. Risalah-risalah keagamaan berbahasa Jawa paling tua yang masih ada sekarang tampaknya menunjukkan adanya usaha mencari keseimbangan ajaran-ajaran ketuhanan, fiqih dan tasawuf.[28]
Sejarah mencatat bahwa, perjalanan Islam ke Indonesia melalaui Persia dan anak benua India ketika itu dicatat sangat berorientasi pada tasawuf. Kitab-kitab yang berhasil menggabungkan fikih dengan amalan-amalan akhlak merupakan pelajaran utama di pesantren-pesantren. Karaya-karya al-Ghazali  seperti  Ihya’ ‘Ulumal-Din, Bidayat al-Hiadayah, Minhaj al-‘Abidin,  dan sebagainya merupakan karya fikih-sufistik yang sangat mendominasi kurikulum pendidikan pesantren. Sepanjang tujuh abad lamanya (abad ke-13 sampai 19 M.), fikih-sufistik itu berkelindan dengan mistik Jawa dan budaya-budaya lain di Indonesia, sehingga ia tidak hanya memasuki dunia pesantren, tetapi juga seluruh kehidupan umat Islam Indonesia. Sifat utama dari fikih-sufistik ini ialah mementingkan pendalaman akhlak yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.[29]
Selain kitab-kitab karya al-Ghazali, sampai saat ini di seluruh pesantren masih sangat kuta pengaruh kitab Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum karya al-Zarnuji. Kitab ini merupakan pedoman bagi santri dalam menuntut ilmu di pesantren, bersama-sama dengan kyai dan sesama santri. Di antara materi kitab ini adalah adanya penekanan untuk menghormati dan mematuhi guru dan  kitab-kitab yang diajarkannya.[30]
Karena itu, pemberian ilmu yang bersifat penalaran akal di pesantren agak tersingkir, dan sebaliknya hal-hal yang bersifat dogmatis lebih mendalam.[31] Selain disebabkan oleh karena pemberian materi pendidikan yang kurang seimbang, juga karena lingkungan budaya Islam pesantren bersifat sangat ekspresif dan mengarah pada mitologisasi para wali yang konon menguasai berbagai macam ilmu gaib (keramat). Lingkungan budaya Islam di Jawa pada dasarnya bersifat tradisional dan lamban. Sistem guruisme di dalam tradisi tarekat yang lebih menomorsatukan ilmu gaib, turut mendukung sulitnya system Pendidikan pesantren salafi untuk mengembangkan  daya kritis seperti dalam pendidikan model Barat.[32]
Materi pengajaran pendidikan pesantren bercorak fikih-sufistik  kemudian mengarah pada orientasi nilai yang sangat menekankan pentingnya kehidupan ukhrawi di atas duniawi,  agama di atas ilmu, dan moral di atas akal. Meskipun demikian, tidak seluruhnya model pendidikan ini buruk karena ternyata ia mampu menghasilkan pertahanan mental spiritual yang kuat, dan telah mampu memberikan pembinaan moral sehingga mendapat tempat di hati masyarakat dan kaum muda umat Islam.
Namun demikian, tanpa tidak disadari, sesungguhnya  pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menumbuhkan fanatisme keagamaan yang mendalam dan emosional, dan telah ikut menambah rasa anti penjajah.[33] Komunitas  pesantren termasuk kelompok masyarakat yang pada umumnya memiliki tingkat agresivitas dan fanatisme yang sangat tinggi.[34] 
Corak pendidikan fikih-sufistik  sempat mengalami masa ‘uzlah tetapi sampai sekarang masih tetap berjalan. Ada beberapa dampak positif dari corak fikih-sufistik  yang dilesatrikan didalam pendidikan pesantren. Dampak positif itu antara lain timbulnya nilai kependidikan yangpositif yaitu sikap yang memandang semua kegiatan pendidikan sebagai ibadah kepada Allah. Kedua, tumbuhnya pemmbagian tugas dalam menjaga nilai-nilai yang mendasari pesantren.  Ketiga, tumbuhnya nilai-nilai dalam pesantren yang berbeda dengan nilai yang hidup di kalangan masyarakat luas, dimana nilai dalam pesantren didasarkan atas ajaran fikih sedangkan nilai-nilai dalam masyarakat didasarkan atas realitas sosial.[35]
Corak ajaran yang bersifat fikih-sufsitik juga membawa santri berperilaku sacral dalam kehidupan sehari-hari dan kepekaan yang luar biasa terhadap kejadiabn-kejadian yang berkaitan dengan hukum agama. Sehingga, menimbulkan pribadi yang peka terhadap hal-hal yang sifatnya karitas  (charitable) dan kurangpeka terhadap hal-hal yang sifatnya sekular, pragmatis dan kualitatif.[36]

E. Penutup
Pada masa sekarang pesantren sedang berada dalam pergumulan antara “identitas dan keterbukaan”, di satu pihak ia dituntut untuk menemukan identitasnya kembali, di pihak lain ia harus terbuka bekerja sama dengan sistem-sistem yang lain di luar dirinya yang tentu tidak selalu sepaham dengan dirinya. Namun demikian, corak fikih-sufistik dalam sistem pendidikan pesantren memang sudah berkembang sangat lama dan relatif cukup  teruji kehandalan dan daya serapnya sampai dengan sekarang.
Perkembangan sekarang mencatat bahwa, pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) berhasil melahirkan suatu lapisan  masyarakat  dengan tingkat kesadaran dan pemahaman keagamaan (Islam)  yang relatif utuh dan lurus.  Di sisi lain,  sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memegang peranan penting dalam penyebaran ajaran agama (Islam) prinsip dasar pendidikan dan pengajaran pesantren adalah pendidikan rakyat. Dan, karena tujuannya memberikan pengetahuan tentang agama,  ia tidak memberikan pengetahuan umum.
Karena konsep di atas pula pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar. Pesantren-pesantren tua biasanya selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta keampuan mempertahankan budaya lokal. Denominasi keagamaan dalam pendidikan pesantren yang Fikih-Sufistik (Syafi’i-Asy’ari-Ghazalian-Oriented) terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksanaan konsep cultural resistance.
 Tradisi keilmuan pesantren sampai sekarang nampaknya tidak pernah bergeser dari aspek essensinya. Layak adanya, dalam hal ini, adanya kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di beberapa sektor dan kantor swasta dan negara di Indonesia.  Karena itu, lazim kuatnya  keyakinan di kalangan komunitas pesantren bahwa, meskipun setiap pesantren memiliki spesialisasi masing-masing, akan tetapi tidak satupun pesantren salafi  yang tidak memiliki orientasi pada  fikih-sufistik dalam mendidik santri-santrinya. Komunitas pesantren berkeyakinan bahwa, tidak satupun pesantren salafi yang tidak menekankan pentingnya nilai-nilai: kehidupan ukhrawi di atas kehidupan duniawi, pentingnya agama di atas ilmu, dan pentignya moralitas (akhlak) di atas rasionalitas. Tidak satupun pesantren salafi yang dibangun oleh kekuatan infra struktur masyarakat bawah berubah total meninggalkan materi pendidikan bercorak fikih-sufistik.

END NOTE


[1] Martin van Bruinessen ,Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,  (Bandung: Mizan,  1994), hal. 188.
[2] Ibid.,188.
[3] Jones, A., “Tentang Kaum Mistik danPenulisan Sejarah”, dalam, Taufik Abdullah, Islam di Indonesia,   
[4]  Simuh,  Islam dan Tradisi Budaya Jawa, (Jakarta : Teraju, 2003), hal. 162
[5] Simuh, Ibid.,  hal. 131-132.
[6] Danner, The Islamic Tradition: An Introductioan,  New Toprk, Amity House, 1988, hal. 242
[7] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren  (Jakarta : INIS, 1994), h. 55.
[8] Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam, Ismail Huda SM, ed., Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 3.
[9] Kafrawi,  Pembaharuan SistimPendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa  (Jakarta : Cemara Indah, 1978), h. 17.
[10] Abdurrahman Wahid,  Bunga Rampai Pesantren  (Jakarta : Dharma Bhakti, 1399 H.), h. 52.
[11] Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren  (Jakarta : Dharma Bhakti, 1982), h. 25.
[12] Abu Bakar Atjeh, seperti dinukil Marwan,  melukiskan bahwa pesantren Giri Kedaton sebagai pesantren yang termasyhur di wilayah Jawa Timur. Para santri yang datang untuk belajar di sana berasal dari daerah yang sangat beragam seperti : Madura, Lombok, Bima, Makasar, dan Ternate (Halmahera), selain daeri daerah-daerah di Jawa Timur sendiri. Sampai dengan abad ke-17 M. pesantren ini masih tetapharum dan didatangi oleh para santri untuk menimba ilmu agama Islam di sana. (Marwan Saridjo, h. 25).
[13] Mahmud Yunus,  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia  (Jakarta : Dharma Bhakti, 1982), h. 257.
[14] Marwan Saridjo Op. Cit., h. 27.
[15] Mahmud Yunus, Op. Cit.,  h. h. 257.
[16] Lihat Ensiklopedi Islam  (Jakarta : Ikhtiar Baru, 1993).
[17] Abdurrahman Saleh, dkk.,  Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren  (Jakarta : Binbaga Islam, 1982), h. 6.
[18] Dzofir, Zamakhsyari,  Pesantren dan Thariqah”,  dalam Jurnal Dialog, Jakarta, Libang DEPAG RI, 19878, hal. 10-12.
[19] Martin van Bruniessen,  Kitab Kuning,  hal. 27-28.
[20] Karel A. Steenbrink,  Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad  ke-19,  Jakarta, Bulan Bintang, 1984, hal. 157.
[21] Wiji Saksono,  Mengislamkan  Tanah Jawa; Telaah atas Metode Dakwah Walisongo,  Bandung, Mizan, 1995, hal. 29.
[22] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi,  (Yogjakarta: LkiS,  2001), hal. 167.
[23] Ilmu kasyfi merupakan paradigma sufisme yang mengutamakan penghayatan kejiwaan. Ilmu kasyfi berlawanan dengan logika rasional dan menolak kritik rasional. Simuh,  Islam dan Tradisi Budaya Jawa, (Jakarta : TERAJU, 2003, hal. 131).. Kaum muslim  pesantren atau santri adalah kebalikan dari muslim kejawen yang  bersifat sinkretis, menyatukn unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam (Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa,  hal. 310.)
[24] Simuh, Ibid.,  hal. 133. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya dakwah Islam yang disebarkan oleh kalangan ulama lain, seperti ulama fikih, ulama kalam, dan lainnya. (Saefudi Zuhri,  Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,  Bandung, al-Ma’arif, 1979).
[25] Martin van Bruinessen ,NU, (Yogjakarta: LkiS, 1994), hal. 22-23.
[26]  Selectore,  Elit dalam Perspektif sejarah,  Jakarta, LP3ES, 1983, hal. 129. Para kyai biasanya memiliki identitas yang sama dengan khalayak lingkungannya, umpamanya sebagai petani. (Sartono Kartodirdjo,  Kepemimpinan dalam sejarah Indonesia,  Yogjakarta, UGM, 1974, hal. 16).
[27] Abdurrahman Wahid, “Martin Van Bruinessen dan Pencariannya”, dalam Martin Van Bruinessen, Ikitab Kuning Pesantren dan Tarekat,  hal. 13.
[28] Martin Van Bruinessen, Ikitab Kuning Pesantren dan Tarekat,  hal. 190.
[29] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, hal. 30-31.
[30] al-Zarnuji,  Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum , hal. 26-27.
[31] Madjid, Nurcholis,  “Keilmuan Pesantren Antara Materi dan Metodologi,  dalam, Majalah PESANTREN, No. Perdana, Oktober/desember, 1984, hal. 18.
[32] Simuh,  Islam dan Tradisi Budaya Jawa, (Jakarta : TERAJU, 2003), hal. 112.
[33] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,  hal. 33.
[34] Sartono Kartodirdjo,  Kepemimpinan dalam Sejarah Indonesia,  hal. 224.
[35] Abdurrahma Wahid,  Bunga Rampai Pesantren,  Jakarta, , 1309 H., hal. 169.. Di kalangan pesantren terkenal prinsip pergaulan bahwa,  “orang harus mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentigan diri sendiri”, “orang harus mendahulukan kewajiban diri sendiri, sebelum orang lain”, dan “memelihara hal-hal yang baik yang ada, sambil mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik”, dan seterusnya.
[36] Mastuhu, Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,, hal. 148.

0 Response to "OREINTASI PEMBELAJARAN KITAB FIQH"

Posting Komentar