KEWALIAN

kewalian

a. Wali Sufi

Iman atau keimanan seorang mu’min, dalam pandangan memiliki empat tingkatan yang membedakan kedudukan dan derajat kesufian seseorang. Pertama, Iman Yaqin yaitu imannya orang mu’min dan ulama kebanyakan. Orang mu’min yang demikian bila mampu melakukan mujahadah selama enam tahun, maka ia akan memiliki kedudukan atau Maqam muraqabah. Derajat kedua adalah Iman ‘Ayn al-Yaqin, yakni iman yang dimiliki oleh hamba Allah yang, berkat mujahadahnya selama tiga tahun, telah mencapai Maqam Musyahadah. Ketiga, Iman Haqq al-Yaqin, yaitu derajat keimanan hamba Allah yang telah mencapai Maqam inskisyaf. Dan, terakhir adalah Iman Haqiqat al-Yaqin, yaitu derajat keimanan hamba Allah yang telah mencapai Maqam istighraq alias fana` dan baqa`. Fana` ialah sirnanya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa` ialah kekalnya sifat-sifat terpuji.[1] Di saat roh rabbani seseorang telah menghadap bertemu Allah lantaran terbawa oleh kekuatan dzikr dan amal saleh yang dikerjakannya. Pada saat itulah roh rabbani berada di ‘Alam Amr, yakni alam yang tidak memiliki ruang dan waktu.[2]

Al-Jilli berpendapat bahwa, pada tahap ‘ilm al-Yaqin seorang sufi disinari oleh asma Tuhan, maka tingkat ini disebut tajalli al-Asma`. Pada tingkat ‘ayn al-Yaqin, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, maka tingkat ini disebut tajalli al-Shifat. Sedangkan pada tingkat haqq al-Yaqin, sufi disinari oleh dzat Tuhan, maka tingkat ini disebut tajalli al-Dzat. Dengan demikian, diri sufi sirna di dalam asma, sifat-sifat dan dzat Tuhan.[3]

Haqq al-Yaqin, dalam pemahaman Abu al-Najib al-Suharawardi, adalah martabat iman yang berada di atas martabat iman ‘ayn al-Yaqin atau Musyahadah. Dia adalah martabat keimanan orang-orang khawash al-Khash. Sedangkan martabat iman ‘ayn al-Yaqin (martabat keimanan orang-orang khash) berada satu tingkat di atas martabat ‘ilm al-Yaqin (derajat keimanan orang ‘awam).[4] Martabat iman haqq al-Yaqin adalah martabat ahli ma’rifat dan Musyahadah.[5] Dalam keadaan keyakinan yang paripurna, terkadang, seseorang hamba dikarunia kemampuan dapat mengetahui Allah dengan sebenarnya.[6]

Ma’rifat pada dzat Allah adalah tujuan utama dari inti ajaran tasawuf. Ia merupakan penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati dzat Allah bukan dengan pikiran atau panca indera, melainkan dengan hati atau kalbu. Ma’rifat kepada Allah di alam dunia ini merupakan keagungan dan kesempurnaan yang dicita-citakan setiap sufi.[7]

Muhammad ‘Abduh, seperti dikutip Martin Lings, menyatakan bahwa, para sufi berurusan dengan penyembuhan hati dan pemurnian dari segala yang menghalangi mata batin. Mereka berusaha berdiri tegak dalam ruh di depan wajah al-Haqq (Allah) Yang Maha Tinggi sampai mereka jauh dari segala hal kecuali Dia, sehingga diri mereka menyatu dalam dzat-Nya dan sifat-sifat mereka menyatu dalam sifat-sifat-Nya. Para ahli ma’rifat di antara mereka, adalah mereka yang telah mencapai akhir perjalanan, yakni berada dalam derajat paling tinggi kesempurnaannya setelah Nabi.[8]

Menurut al-Ghazali, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peratutan-Nya tentang segala yang ada.[9] Al-Ghazali menolak faham hulul dan ittihad. Untuk itu ia menyajikan faham baru tentang ma’rifat (melihat Allah dengan hati), yakni pendekatan diri kepada Allah tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat ialah perpaduan antara ilmu dan amal.[10]

Kenikmatan hati, sebagai alat mencapai ma’rifat Allah, terletak ketika melihat Allah (Musyahadah). Melihat Allah merupakan kenikmatan paling tinggi yang tiada taranya karena ma’rifat Allah itu sendiri agung dan mulia.[11] Kenikmatan dan kelezatan dunia, menurut al-Ghazali, bergantung pada nafsu dan akan sirna setelah manusia mati. Sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Allah bergantung pada hati dan tidak akan sirna walaupun manusia sudah mati. Karena, hati tidak akan mati, bahkan kenikmatannya bertambah lantaran ia dapat keluar dari kegelapan menuju ke cahaya terang.[12]

Musyahadah berawal dari mukasyafah, yakni terbukanya hijab penghalang antara hamba dan Allah. Mula-mula ia tumbuh dari keyakinan terhadap kehadiran dzat Allah dalam setiap ciptaan-Nya. Pada akhirnya seorang sufi benar-benar merasakan terbuka (inkisyaf) dapat menyaksikan dzat Allah dengan mata hatinya (bashirah) ketika ia berada dalam keadaan fana`.[13]

b. Wali Ma’rifat

Tasawwuf mempunyai dasar pikiran khusus yaitu mencari hubungan langsung dengan dunia immateri, metafisik atau gaib, dan memuncak kepada cara ma’rifat pada Dzat Allah. Para sufi yang mendapatkan anugerah ilmu kasyf berarti mengalami dan menguasai ilmu gaib (‘ilm al-Mughayyabat). Mereka berhasil mengalami penghayatan kasyf. Mereka pun dipuja-puja sebagai wali Allah.[14] Para ahli ma’rifat, bangkit dari dataran rendah suatu metafor ke puncak Kenyataan. Begitu naik, mereka melihat langsung dan bertatap muka dengan Allah, tidak ada sesuatu pun kecuali hanyalah Dia.[15] Sufi yang telah ma’rifat, telah beridiri tegak di dalam Maqam penglihatan langsung kepada Allah.[16] Kepada mereka yang telah dekat sedekat-dekatnya dengan Allah, senantiasa faqr dan berharap kepada-Nya, Allah memberikan derajat ma’rifat dan mukasyafah. Hal ini semata-mata karena hati mereka benar-benar bersih dan dipenuhi dengan cahaya yaqin (nur al-Yaqin).[17]

Wali ma’rifat yang sejati adalah wali yang telah mencapai tingkatan ma’rifatullah dengan mata hatinya dan dialah yang disebut manusia sempurna (al-Isnan al-Kamil). Tetapi, bukan penyatuan atau al-Hulul. Bagi al-Suhrawardi, meyakini adanya al-Hulul sebagaimana konsep diajarkan al- Hallaj adalah merupakan perbuatan orang zindiq. [18] Al-Junayd menegaskan bahwasanya ajaran al-Hulul muncul dari pemahaman para pemeluk Nasrani dalam mentafsirkan konsep nasut dan lahut. Kesalahan itu juga berlaku bagi ajaran yang dibawa oleh Abu Yazid al-Basthami yang diketahui sebagai hasil dari perjalanan ruhaninya mengalami fana` dan ketika merasa telah dapat menyaksikan Dzat Allah (Ghalabat al-Syuhud). Kedua ajaran tersebut sangat bertentangan dengan ajaran rasul Allah, Muhammad SAW.[19]

Ma’rifat dalam dunia tasawwuf memang merupakan kenikmatan dan kelezatan terbesar yang khusus diperuntukkan bagi hati. Hati yang sudah ma’rifat kepada Allah akan bahagia dan tidak sabar ingin segera berjumpa dengan Dia. Ma’rifat adalah nikmat yang tidak pernah berhenti, karena hati tidak pernah rusak meskipun jasad manusia telah mati.[20] Seseorang yang telah sampai tahapan ma’rifat merasa yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa memberi faidah apapun bahaya kecuali Allah. [21]



[1] Ibid., h. 16.

[2] Ibid., h. 16.

[3] al-Jilili, al-Insân al-Kâmil, J. II, h. 145.

[4] Abu al-Najib al-Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif (Indonesia: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, t.th.), h. 287.

[5] Ibid., h. 286.

[6] Ibid., h. 288.

[7] al-Ghazali, Op. Cit., h. 2.

[8] Syaikh Martin Lings, Ahmad al-‘Alawi Wali Sufi Abad 20, terj. (Bandung: Mizan, 1971), h. 100.

[9] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h. 78.

[10] Abu Hamid al-Ghazali, IhyâOp. Cit., juz IV, h. 263.

[11] Abu Hamid al-Ghazali, Kimiyâ’, Op. Cit., h. 130-132.

[12] Ibid., h. 130.

[13] al-Naqsyabandi, Op. Cit., h. 211.

[14] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya di Dunia Islam., h. 226.

[15] al-Ghazali, Misykat al-Anwar, h. 113-114; al-Ghazali, al-Jawahir (Kairo : 1345), h. 103-105.

[16] Martin Lings, Syaikh Ahmad al-‘Alawi Wali Sufi Abad 20, terj. (Badung : Mizan, 1993), h. 127.

[17] al-Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif (Indonesia : Makatabah Usaha Keluarga Semarang, t.th.), h. 301.

[18] al-Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif, h. 384.

[19] Ibid., h. 8-9.

[20] al-Ghazali, Kimia’ al-Sa’adah (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), h. 9-10.

[21] al-Ghazali, Ihya` ‘Ulum al-Din, Juz I (Surabaya: Salim Nabhan wa Awladih, t.th.), h. 230.

0 Response to "KEWALIAN"

Posting Komentar