PENDIDIKAN TASAWUF; TUGAS BARU PENDIDIKAN ISLAM?

Pendidikan Tasawuf; Tugas Baru Pendidikan Islam?

Oleh: SUTEJA

(Dosen Fak. Tarbiyah IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Pendahuluan

Ketika peradaban ummat sampai pada puncaknya, pertanyaan yang mendasar tentang eksistensi kehadiran manusia di dunia kembali muncul untuk mendapatkan jawaban. Apa sebenarnya hakikat manusia hidup di dunia ini ? Ketika pertanyaan itu muncul, peradaban puncak itu runtuh dengan sendirinya. Maka, kehidupan yang masuk fase digitalisasi, dunia serba di ujung jari [1], hanya menjadi tiada berarti. Muncul kegersangan jiwa dan manusia kembali mencari jati diri dalam bentuk lain. Manusia akhirnya kembali mencari dan menggali kedalaman makna kehidupan dan hakikat dirinya.[2]

Eksistensi kehidupan dunia ternyata tak sekedar mencari dan memenuhi hasrat terhadap materi belaka. Jiwa yang selama ini kurus kering dan kering kerontang tak dipenuhi kebutuhannya meminta untuk diisi dan diberi makan juga. Inilah titik balik yang membuat beberapa waktu terakhir munculnya fenomena menarik masyarakat kota. Tumbuhnya pola hidup beragama yang berwajah lain. Agama tak sekedar ritual aktual tetapi menjadi ritual religi yang menumbuhkan aura kesadaran mendalam atas ibadah dan pendekatan diri terhadap Tuhan. Jika selama ini agama hanyalah sebuah bentuk ibadah formal, menyeru kepentingan duniawi atasnya, digali lebih dalam mendekati titik ketakutan manusia atas kematian nurani yang selama ini telah terbelenggu dalam penjara materialisme, terkubur di bawa liberalisme dan kapitalisme. Maka agama kini tak sekedar kegiatan rutin tanpa memberi sentuhan kedekatan bathin terhadap Tuhan. Dengan kata lain, ketika modernisasi Barat meninggalkan agama, mempengaruhi semua lini kehidupan, maka atas kesadaran terhadap kekosongan jiwa, pada saat itulah agama diajak kembali di masa posmodernis saat ini.

Fenomena menarik pada sebagian masyarakat di kota-kota besar sekarang ini, mereka mulai tertarik untuk mempelajari dan mempraktikkan pola hidup sufistik. Hal ini dapat dilihat dari banjirnya buku-buku tasawuf di tokok-toko buku, bermunculannya kajian-kajian tasawuf dan maraknya tayangan-tayangan, televisi dan radio. [3] Fenomena ini menunjukkan bahwa ternyata agama telah dibawa untuk hidup di wilayah industri dan digitalisasi. Kitab suci masuk ruang internet, diolah ke dalam MP3, pesantren virtual, dan lain-lain. Fenomena ini makin menarik dikaji mengingat betapa pongahnya masyarakat modern ketika puncak kehidupannya yang rasional, empiris telah membawa mereka ke puncak peradaban.

B. Krisis Spiritualitas Manusia Modern

Peradaban modern yang berkembang di Barat sejak zaman renaissance adalah sebuah eksperimen yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya, sehingga umat manusia menjadi ragu akan pertanyaan apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di masa yang akan datang. Hal ini, seperti dikatakan oleh Hossein Nasr, karena manusia modern yang memberontak melawan Allah, telah menciptakan sebuah sains yang tidak berlandaskan cahaya intelek. Berbeda dengan yang kita saksikan di dalam sains-sains Islam Tradisional pada masa kejayaan klasik. Barat hanya mendasarkan kekuatan akal (rasio) manusia semata untuk memperoleh data melalui indera, sehingga peradaban modern hanya ditegakkan di atas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial dari manusia itu sendiri.[4]

Ilmu Eropa dapat dijelaskan melalui keadaan-keadaan ketika para ilmuwan menggarap bahan-bahan yang diwarisi selama dua fase berturut-tururt, fase renaisans dan fase revolusi dalam Filsafat Alam. Hal itu mencakup prinsip-prinsip dasar pengenalan dunia alamiah (natural world) melalui argumen-argumen demostratif, prinsip yang pertama kali dicapai oleh peradaban Yunani kemudian diadopsi oleh perdaban Islam. Pada abad ke-17 M. terjadi perumusan kembali yang radikal terhadap objek-objek, metode-metode dan fungsi-fungsi pengetahuan alamiah (the natural sciences). Objek baru adalah fenomena yang teratur di dunia tanpa sifat-sifat manusiwi dan spiritual. Metode-metode barunya merupakan penelitian yang kooperatif. Sedangkan fungsi-fungsi barunya adalah gabungan dan pengetahuan ilmiah serta kekuasaan industrial. Target sasaran revalousi ini ialah pendidikan tradisional yanglebih tinggi yang lazim dikenal Skolastik. Para “nabi” dan tokoh-tokoh revolusioner abad ini adalah Francis Bacon (di Inggris) dan Galileo Galilie (di Italia). Mereka memiliki tekad yang sama terhadap dunia alamiah dan studinya. Mereka melihat alam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai sifat-sifat manusiawi dan spiritual. Tidaklah mungkin adanya dialog dengan alam.[5]

Tujuan-tujuan penelitian yang masih mempertahankan pengaruh magis dalam idealisasi failosof tradisional digantikan dengan dominasi alam demi keuntungan manusia. Pengetahuan diharapkan akan lebih bermanfaat ketika dihadapkan kepada perbaikan-perbaikan kecilindustri dan ilmu kedokteran, serta tidak bersifat merusak. Revolusi dalam filsafat mengubah bentuk ilmu Eropa menjadi sesuatu yang unik. Di masa sekarang filsafat kemudian disuntikkan ke dalam perkembangan ilmu yang sedang tumbuh subur. Mulanya memang perlahan-lahan, tetapi kemudian aktivitas sintesis mampu menciptakan satu jenis ilmu baru yang ditandai dengan gaya baru aktivitas sosial dalam bidang penelitian dengan jiwa menciptakan etos kerja yang menentingkan kebaikan umum.[6]

Akibat dari fenomena di atas, masyarakat Barat, yang sering digolongkan the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomat. Bukannya semakin mendekati kebahagian hidup, melainkan sebaliknya, kian dihinggapi rasa cemas akibat kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, lalu terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak human. Masyarakat modern sedang berada di wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, baik yang menyangkut dirinya sendiri maupun dalam lingkungan kosmisnya. Mereka merasa cukup dengan perangkat ilmu dan teknologi, sebagai buah gerakan renaissance abad 16 M., sementara pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber pada ajaran wahyu kian ditinggalkan. Dengan ungkapan lebih populer, masyarakat Barat telah memasuki the post-Christian era dan berkembanglah paham sekularisme. Sekularisasi, meminjam penjelasan Peter L. Berger, dapat dibedakan menjadi dua bentuk; dalam arti sosial pemisahan institusi agama dan politik. Yang lebih penting dalam konteks keagamaan adalah "adanya proses-proses penerapan dalam pikiran manusia berupa sekularisasi kesadaran". Sekularisasi terbebasnya manusia dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama.

Proses sekularisasi kesadaran ini, menyebabkan manusia modern kehilangan self control sehingga mudah dihinggapi berbagai penyakit rohaniah. Manusia menjadi lupa akan siapa dirinya, dan untuk apa hidup ini serta ke mana sesudahnya. Masalah penghancuran lingkungan oleh teknologi, krisis ekologi, dan semacamnya, semuanya bersumber dari penyakit amnesis atau pelupa yang diidap oleh manusia modern. Manusia modern telah lupa, siapakah ia sesungguhnya. Karena manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya. Ia hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat eksternal ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra dirinya. Dengan begitu, manusia modern semakin jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam jeratan pinggir eksistensi.

Masyarakat Barat modern yang telah kehilangan visi keilahian, telah tumpul penglihatan intellectus-nya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan. Intellectus adalah kapasitas mata hati (bashiraj), satu-satunya elemen esensi manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta. Akibat dari intellectus yang disfungsional, maka sesungguhnya apa pun yang diraih manusia modern yang berada di pinggir (rim atau periphery) tidak lebih dari sekedar pengetahuan yang terpecah-pecah (fragmented knowledge), tidak utuh lagi, dan bukanlah pengetahuan yang akan mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta sebagai kesatuan yang tunggal, cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Orang dapat melihat realitas lebih utuh manakala ia berada pada titik ketinggian dan titik pusat. Karena, yang lebih tinggi level eksistensinya saja, yang dapat memahami apa-apa yang lebih rendah.

Manusia untuk dapat mencapai level yang eksistensi, tentu harus mengadakan pendakian spiritual dan melatih ketajaman intellectus. Pengetahuan fragmentaris tidak dapat digunakan untuk melihat realitas yang utuh kecuali padanya memiliki visi intellectus tentang yang utuh tadi. Bahwa dalam setiap hal pengetahuan yang utuh tentang alam tidak dapat diraih melainkan harus melalui pengetahuan dari pusat (centre), karena pengetahuan ini sekaligus mengandung pengetahuan tentang yang ada di pinggir dan juga ruji-ruji yang menghubungkannya.[7] Manusia dapat mengetahui dirinya secara sempurna, hanya bila ia mendapat bantuan ilmu Tuhan, karena keberadaan yang relatif hanya akan berarti bila diikatkannya apa Yang Absolut, Tuhan.

Penyebab kejatuhan manusia Barat modern, apabila dilacak ke belakang, akan ditemukan pada aliran filsafat dualisme Cartesian, yang mendapat tempat di Barat. Sejak rasionalisme yang tersistematisasikan ini berkembang, manusia hanya dilihat dari sudut fisiolois-lahiriah. Dualisme Cartesian membagi relitas menjadi dua: realitas material dan realitas mental, atau realitas fisik dan realitas akal (rasio), sementara dimensi spiritualnya tercampakkan. Padahal, konsepsi metafisika pada mulanya merupakan "ilmu pengetahuan suci" (scientia sacra) atau "pengetahuan keilahian" (Divine knowledge), bukan filsafat yang profane (profane philosophy) seperti yang berkembang di Barat sekarang ini.

Metafisika Barat sekarang yang seharusnya berintikan kecintaan kepada kebijakan (the love of wisdom) beralih kepada kebencian kepada kebijakan (the hate of wisdom). Konsep metafisika Barat berasal dari philosophia menjadi data empiris, sehingga hanya mampu melahirkan konsepsi rohaniah yang palsu (pseudo-spiritual). Dalam paham rasionalisme Descartes, dikatakan bahwa kebenaran sesuatu boleh diyakini kalau sesuai dengan kriteria yang dirumuskan oleh rasio. Dalil Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada), dapat dinilai sebagai metode kaca mata kuda yang terlalu mengagungkan rasio dan cenderung menafikan keberadaan manusia lebih utuh sebagai totalitas yang bereksistensi.

Pengetahuan yang hanya dihasilkan oleh kesadaran psikis (bukan spiritual) dan rasio hanyalah bersifat terbagi-bagi dan sementara. Pengetahuan yang akan membawa kebahagiaan dan kedamaian, hanyalah akan dapat diraih bila seseorang telah membuka mata hatinya, atau visi intellectusnya, lalu senantiasa mengadakan pendakian rohani (suluk) ke arah titik pusat lewat hikmah spiritual agama. Manusia yang demikian, meskipun ia hidup dalam batasan ruang dan waktu serta berkarya dengan disiplin ilmunya yang fragmentalis, namun ia akan dapat memahami rahasia watak alam sehingga dapat mengelolanya. Sementara mata hatinya menyadarkan bahwa alam yang dikelolanya adalah sesama makhluk Tuhan yang mengisyaratkan Sang Penciptanya, Yang Rahman dan Rahim. Manusia modern, telah menciptakan situasi sedemikian rupa yang berjalan tanpa adanya kontrol, sehingga mereka terperosok dalam posisi terjepit yang pada gilirannya tidak hanya mengantarkan pada kehancuran lingkungan, melainkan juga kehancuran manusia.

Akibat dari terlalu mengagungkan rasio, manusia modern mudah dihinggapi penyakit kehampaan spiritual. Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat rasionalisme abad 18 M. dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Berger menegaskan bahwa, nilai-nilai supra-natural telah lenyap dalam dunia modern. Lenyapnya niali-nilai tersebut dapat diungkapkan dalam suatu rumusan kalimat agak dramatis sebagai “Tuhan telah mati” atau “Berakhirnya Zaman Kristus”. Hilangnya batasan-batasan yang dianggap dan diyakini sebagai sakral dan absolut, menjadikan manusia modern hanya melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif, terutama sistem nilai dan moralitas yang dibangunnya. Marcel A. Boisard menyatakan bahwa, Barat telah kehilangan rasa supernatural secara besar-besaran.

Manusia modern yang mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar yang bersifat spiritual tidak bisa menemukan ketentraman batininiah, yang berarti tidak adanya keseimbangan dalam diri. Keadaan ini akan semakin akut, terlebih lagi apabila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat sehingga keseimbangan akan semakin rusak. Menyadari bahwa modernisasi ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat spiritual, maka tidak heran kalau sekarang manusia beramai-ramai untuk kembali kepada agama yang memang berfungsi, antara lain, untuk memberikan makna kepada kehidupan. Naisbitt dalam Megatrends 2000, mengatakan bahwa, fenomena kebangkitan agama merupakan gejala yang tidak bisa dihindarkan lagi pada masyarakat yang sudah mengalami proses modernisasi, sebagai counter terhadap kehidupan yang semakin sekuler.

Di dunia Barat, kecenderungan untuk kembali kepada dunia spiritual ditandai dengan semakin merebaknya gerakan fundamentalisme agama dan kerohanian. Munculnya fenomena ini cukup menarik dicermati karena polanya jauh berbeda dengan agama-agama mainstream (agama formal), kalau tidak dikatakan malah bertentangan. Sehingga persoalan spiritualitas bukan "organized religion". Corak keberagamaannya cenderung bersifat pencarian pribadi, lepas dari agama-agama ada di sana, seperti Kristen, Budha, dan lainnya. Akibat dari kecenderungan ini, muncul kultus-kultus dan sekte-sekte spiritual ekstrim yang sangat fundamentalis. Sebagai contoh, misalnya kasus David Koresh dengan Clan Davidian-nya, yang membakar diri setelah dikepung tentara Amerika, atau Pendeta Jim Jones yang mengajak jama'ahnya bunuh diri secara massal di hutan, atau kasus sekte sesat Ashahara di Jepang yang membunuh massa di jembatan kereta api bawah tanah.

Semua itu pada dasarnya, akibat kebingunan mereka dalam menentukan hidupnya. Mereka kalut dan kehilangan kendali dalam menghadapi kehidupan yang semakin sulit. Jiwa-jiwa dan batin-batin mereka sibuk mencari, tapi mereka tidak tahu apa yang mereka cari. Spiritual dalam pengertian Barat cenderung dipahami sekedar sebagai fenomena psikologi. Perkembangan ini tidak dapat dilepaskan dari akibat-akibat kemanusiaan yang muncul dalam proses modernisasi, yang kemudian mendorongnya mencari tempat pelarian yang memberikan perlindungan dan kepuasan yang cepat. Hal ini diperoleh dengan memasuki kelompok fundamentalisme dan kerohanian.

Perkembangan spiritualitas dalam bentuk gerakan fundamentalisme, dalam banyak kasus, sering menimbulkan persoalan psikologis. Spritualisme dalam bingkai fundamentalis hanya menawarkan jani-janji keselamatan absurd atau palsu dan ketenangan batin yang bersifat sementara (palliative). Lebih dari itu, fundamentalisme agama melahirkan sikap-sikap eksklusif, ekstrim, dan doktrinal, dan tidak toleran dengan pemahaman lain.

C. Fenomena Tasawuf Kontemporer

Sufi (pengamal ajaran tasawuf) adalah orang yang berusaha membersihkan diri dari sesuatu yang hina dan menghiasi dirinya dengan sesuatu yang baik, yaitu akhlak rabbaniyah, atau sampai pada maqam tertinggi.[8] Dan jika seseorang telah dekat dengan Allah dan meraih cinta-Nya, karena kemuliaan akhlaknya, maka secara otomatis ia pun akan dekat dan dicintai oleh sesama manusia. Pemahaman itu tetap dipedomani sampai sekarang. Tasawuf kontemporer tidak terlepas dari kontek ajaran tasawuf klasik. Tetapi tidak memiliki silsilah secara langsung terhadap tasawuf klasik. Kalau masih ada silsilah, tentu saja ia masih masuk kategori tasawuf klasik.

Tasawuf kontemporer terdapat di wilayah masyarakat kota mengambil ajaran tasawuf dan mengemasnya menjadi industri baru berbasis agama karena dibutuhkan oleh masyarakat kota. Kejenuhan masyarakat kota terhadap persaingan hidup membuat pasar tasawuf tumbuh dan masuk wilayah komunikasi massa dan teknologi. Tasawuf kontemporer adalah penamaan yang pada dasarnya berakar dan berada pada barisan neo-sufisme Rahman [9] dan tasawuf modern, yang diusung Hamka. Menurut Hamka, tasawuf modern adalah penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri (‘uzlah). Neo-sufism menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat secara lebih dari pada sufisme terdahulu. Neo Sufism cenderung menghidupkan kembali aktifitas salafi dan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan. [10]

Pemahaman ini bisa memberi bukti konkrit ketika melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kota saat ini. Terdapat lembaga-lembaga tasawuf yang tidak memiliki akar langsung kepada tarekat dan digelar massal juga komersial. Sekedar misal, Indonesian Islamic Media Network (IMaN), Kelompok Kajian Islam Paramadina, Yayasan Takia, Tasauf Islamic Centre Indonesia (TICI). Kelompok ini mencoba menelaah dan mengaplikasikan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari secara massal. Misalnya Dzikir Bersama, Taubat, Terapi Dzikir. Wajah tasawuf dalam bentuk lain dilakukan —dan sangat laku—Emotional Spritual Question (ESQ) di bawah pimpinan Ari Ginanjar. Konon, konsep awal ESQ ini, dilakukan oleh kaum nashrani di Eropa dan Amerika dalam mengantisipasi kebutuhan jiwa masyarakat kota setempat.

Selain bentuk lembaga, dalam pengembangannya melibatkan komunikasi massa. Misalnya, promosi dalam bentuk buku, pamflet, iklan, adventorial, program audio visual CD, VCD, Siaran Televisi, hingga internet. Siaran televisi yang sehari-hari dapat ditonton, memperlihatkan kecenderungan yang sama besarnya dengan booming sinetron misteri dengan tayangan dzikir bersama dan ceramah agama. Karena masuk pada ranah industri dan bersentuhan dengan komersialisme, tasawuf terkesan menjadi alat untuk mengedepankan perilaku keagamaan yang katarsis. Bersedih dan disedih-sedihkan. Taubat, sebuah jendela masuk tasawuf menjadi arena penyesalan yang dipertontonkan. Dzikir dilapadzkan secara bersama-sama dan dipandu, yang dipaksa-paksa menjadi seolah-olah khusu’, Dan, doapun disandiwarakan dengan tetes air mata. Jika tidak hati-hati, pola seperti ini akan terjerumus dalam pseudo tasawuf. Tasawuf yang hanya mengedepankan tontonan daripada substansi penghayatan dan internalisasi dalam keseharian.

Karena ia masuk dalam wadah publikasi, maka ongkos yang harus dibayar adalah tumbuhnya idola baru yang menjadi pujaan. Berbeda dengan tasawuf klasik dan tarekat yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap guru spiritual, Tasawuf kontemporer adalah pemujaan idola yang tiada berbeda dengan pemujaan manusia sekuler terhadap Madonna. Maka, tidaklah heran, jika hari lebaran, salah satu baju “wajib” dibeli kaum muslim adalah baju (simbol) yang dipakai sang idola. Suasana religius yang terpaksa hadir itu juga dibayar mahal jika akan menghadirkan sang idola ke sebuah majelis. Sungguh naif, bila dipandang dari segi ajaran tasawuf itu sendiri. Selain bentuk-bentuk di atas, tanpa mengurangi kehadiran tasawuf klasik yang masih berkembang bersamaan juga dengan tarekat yang sudah pula masuk ke kota besar, tasawuf kontemporer juga ditunjukkan dalam bentuk terapi pengobatan. Pengamalan ibadah mahdhah yang lengkap dan metode tasawuf yang dijalankan selama 24 jam dengan paket pengobatan yang mahal pula.[11]

Agaknya, inilah yang lebih spesifik dalam tasawuf kontemporer. Sebuah bentuk baru yang terjadi di tengah masyarakat kota. Jika masa modern banyak dihadapkan pada semangat untuk kembali kepada bentuk lebih positif dan kemurnian ajaran agama, maka pada tasawuf kontemporer adalah beralihnya model dari sifat tasawuf individual kepada wilayah massa. Hal ini berangkat dari kegagalan dalam pencitraan dan kekosongan jiwa, setidaknya pada massa terdapat pengakuan terhadap diri individu yang masuk kelompok ibadah tersebut. Wilayah massa itu adalah masyarakat yang memiliki wadah komunikasi massa dan teknologi informasi. Tasawuf masuk menjadi bagian dari perangkat hidup dengan wajah baru yang sesuai pada selera zamannya.

D. Analisis Tasawuf Kontemporer

Tasawuf kontemporer merupakan bentuk aktual corak beragama masyarakat kota. Jika tidak hati-hati, atau salah dalam pengajaran dan aplikasinya akan membawa bentuk pemalsuan tasawuf. Atau lebih ekstrim lagi, tasawuf kontemporer yang bersentuhan dengan corak sufistik, hanyalah mengambil semangat yang tidak utuh dari tasawuf konvensional yang dikenal selama ini. Apabila kita memahami corak sufistik, seakan-akan hanya mengarah kepada dunia tasawuf, bukan masuk ke dalam ranah tasawuf secara total.

Pencapaian yang hendak ditujukan oleh tasawuf kontemporer adalah sama dengan konsep para sufi terdahulu (sufi klasik). Seperti kedekatan (qurb) dengan Allah, kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari (muroqobah), dan menjadi al-Insan al-Kamil. Melihat coraknya, pengembangan tasawuf kontemporer mengarah kepada tubuhnya tasawuf akhlaqi, yang lebih mengedepankan sikap kesahajaan dan ibadah yang banyak untuk mencapai kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Allah, yang harus dilalui dari tahap pensucian diri (tazkiyat al-Nafs).

Menurut al-Ghazali, setiap orang dapat menempuh cara-cara ke arah itu dengan melalui penyucian hati, konsentrasi dalam berdzikir, dan fana` fillah atau mukasyafah. [12] Penyucian hati terdiri dari atas dua bagian, yaitu mawas diri dan penguasaan serta pengendalian nafsu-nafsu alias muhasabah. Kedua, membersihkan hati dari ikatan pengaruh keduniaan.[13] Di dalam hati sendiri terdapat ruh dan sirr. Sirr adalah tempat atau alat untuk musyahadah sedangkan ruh merupakan tempat atau alat untuk mahabbah dan qalb adalah tempat atau alat untuk ma’rifatullah.[14] Nafsu-afsu yang bersemanyam di dalam hati setiap manusia, menurut al-Ghazali, terdiri atas nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Keduanya merupakan musuh dalam selimut. Nafsu lawwamah laksana babi yang amat rakus dunia, tidak ingat batalatau haram. Sedangkan nafsu ammarah laksana srigala yang berwatak buas dan ingin menang sendiri. Disamping itu masih banyak lagi nafsu-nafsu yang membahayakan kesucian jiwa manusia, terutama nafsu sabû’iah, bahimiah dan nafsu syaythaniah. Sedangkan nafsu yang sangat konstruktif adalah nafsu rabbaniah. [15] Kesucian batiniah seorang hamba ditandai dengan adanya sesuatu selain Allah di hatinya. Kesucian yang sempurna darinya akan menjadi tempat yang sangat subur bagi datang dan tumbuhya ‘ilmu ladunni dan limpahan nur ilahi (al-Faydh al-Rabbani). Maka, terbukalah semua rahasia ketuhanan.[16]

Tetapi, apresiasi positif yang patut diberikan kepada mereka yang mengusung tasawuf dengan wajah baru ini adalah, mereka masuk dalam mewarnai zaman. Tak terbayangkan, jika mereka tidak ada. Kekosongan pada wilayah massa akan membuat kepercayaan diri (confidence self) beragama masyarakat akan terus menurun. Tentu saja, nuansa keagamaan akan tidak terlihat lagi di permukaan. Setidaknya, mereka sekarang sudah memulainya untuk menjawab kebutuhan rohani masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf kontemporer merupakan bentuk alternatif beragama sebagai pilihan setelah goncangan ketiadaan dan kekosongan jiwa. Sentuhan terhadap jiwa-jiwa yang kurus kering tidak pernah mendapat cahaya religi, sementara kebutuhan itu adalah primer tetapi tidak pernah diberikan.

Tasawuf kontemporer menempatkan nilainilai tasawuf menjadi kecil atau justru menjadi bahan dari teknologi. Tasawuf kontemporer masih diragukan otentitasnya. Ia hanya menjadi bagian kecil dari teknologi maju. Bukan sebagai subjek dari kemajuan. Meskipun demikian, ia masih berlandaskan al-Quran dan al-Sunnah, tetapi mengedepankan packaging dari pada esensi. Mereka yang terlibat di dalam dunia tasawuf kontemporer, meskipun demikian, masih terus mencoba dan menggali serta merasakan dan mengakui bahwa mereka sudah mulai memasuk sufi. Tentulah tidak akan mampu ruh tasawuf yang pernah ada pada masa lalu bisa dijemput secara total tanpa mengetahui secara utuh ajaran dan doktrin tasawuf tersebut. Apalagi hanya mencomot bagian-bagian penting dan menjadikannya sebagai bahan dari apa yang dikomersilkan sebagai bahan komoditi kepada masyarakat kota.

Walaupun secara tidak langsung ada akar klasik dan konvensional, sesungguhnya mereka mempelajari secara mendalam setiap ajaran dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada kerinduan masyarakat kota untuk kembali hidup pada akar budaya agama yang mengedepan ruh beragama. Tidak sekedar formalitas aktual tetapi juga memiliki makna yang dalam terhadap kehidupan sehari-hari. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, semestinya harus terus dievaluasi karena tasawuf ini bersentuhan dengan industri yang cenderung bermata dua. Terlepas dari plus dan minus ajaran, juga corak dan potret kehidupannya yang nyaris mengarah kepada pseudo tasawuf, semangat dan pengaruhnya membawa arti penting bagi agama Islam di tengah masyarakat. Lebih-lebih masyarakat kota yang memang merindukan khazanah kehidupan beragama.

G. Pembelajaran Tasawuf; Kebutuhan Sejak Dini

Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosialisasi dan enkulturasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan-pengetahuan yang terakumulasi di masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat, berkembang pula proses sosialisasi dan enkulturasinya dalam bentuknya yang diserap secara optimal. Dewasa ini pendidikan terlihat lebih mengupayakan peningkatan potensi intelegensia manusia. IQ telah menjadi sebuah "patok absolut" dalam melihat tingkat progresivitas kedirian manusia. Manusia dituntut mengasah ketajaman intelektualnya demi kemampuan mengoperasikan mekanisme alam yang menurut Jurgen Habermas, menghunjamnya hegemoni rasio instrumentalis. Produk dari instrumentalisasi intelek ini adalah terbangunnya manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri, atau dalam istilah Herbert Marcuse, one dimensional men.

Multikulturalisme berkembang sebagai sekolah yang menaruh pentingnya keragaman sumber-sumber serta kantung-kantung budaya yang menjadi oasis penghayatan hidup dan acuan makna penganutnya, justru dalam penghayatan jagat-jagat nilai kelompoknya. Tuntutan multikulturalisme ini mekar bersama memadatnya kesadaran terhadap keterbatasan tradisi-tradisi besar yang setelah krisis monopoli tafsir kebenaran tunggal ternyata ambruk dalam rasionalisme demokrasi, serta krisis-krisis dehumanisme dan kukuhnya teknologis-instrumental yang membuat hidup menjadi sempit satu dimensi.

Maka pendidikan pun perlu diarahkan untuk melakukan perombakan substansial menuju penyadaran hakiki dengan bertumpu pemaknaan hidup secara lebih human. Perubahan ini sepatutnya dibidikkan pada wilayah esoteris yang merupakan kesadaran hakiki yang berwatak multi dimensional. Kesadaran esoteris senantiasa meneguhkan nilai-nilai keillahiahan yang menjadi sumber segala bentuk kesadaran. Padahal, kesadaran akan hadirnya kekuatan illahiah bisa menghadirkan kesadaran praksis yang amat signifikan bagi pengembangan kepribadian baik privat maupun sosial.

Di atas kondisi multikulturalisme, ada pemikiran yang berlandasan pendalaman wisdom tentang pemikiran yang substansial, universal, dan integral melalui jalur yang emansipatoris, moralis, dan spiritual. Sebuah pengayaan proses pendidikan yang berlambar nilai-nilai tasawuf dengan tujuan praksis sosial. Tasawuf bukan penyikapan pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah revolusi spiritual di masyarakat. Bukankah aspek moral-spiritual ini sebagai ethical basic bagi formulasi dunia pendidikan? Kaum sufi adalah elite di masyarakatnya dan sering memimpin gerakan penyadaran akan adanya penindasan dan penyimpangan sosial. Tasawuf merupakan metodologi pembimbingan manusia menuju keharmonisan dan keseimbangan total. Interaksi kaum sufi dalam semua kondisi adalah harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal.

Bertasawuf berarti pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang sebenarnya adalah belajar untuk tetap mengikuti tuntutan agama, saat berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kekayaan, kemiskinan, pengendalian diri, dan pengembangan potensi diri. Bukankah lahirnya sufi-sufi besar seperti Rabi'ah Adawiah, Al-Ghazali, Sari al-Saqothi atau Asad al-Muhasabi telah memberi teladan, pendidikan yang baik, yakni berproses menuju perbaikan dan pengembangan diri dan pribadi.

Disadari, pendidikan yang dikembangkan masih terlalu menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak, dan jarang sekali pendidikan tentang kecerdasan emosi dan spiritual yang mengajarkan integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, keadilan, kebijaksanaan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi. Akibatnya, berkecambahnya krisis dan degradasi dalam ranah moral, sumber daya manusia dan penyempitan cakrawala berpikir yang berakibat munculnya militansi sempit atau penolakan terhadap pluralitas. Dalam tasawuf, antara IQ (dzaka al-Dzihn), EQ (tashfiat al-Qolb) dan SQ (tazkiyah al-nafs ) dikembangkan secara harmonis, sehingga menghasilkan daya guna luar biasa baik horizontal maupun vertikal.

Sufi besar, Ibnu 'Arabi, melihat manusia perlu memekarkan apa yang disebut sebagai daya-daya khoyyal yakni suatu potensi daya dan kekuatan substansial yang mengejawantah secara hakiki, tetapi faktawi dan bergerak menuju pengungkapan diri dalam dunia indrawi yang merupakan bentuk abadi dan azali. Demikianlah, manusia perlu dikembalikan pada pusat eksistensi atau pusat spiritual dan dijauhkan dari hidup di pinggir lingkar eksistensi.

Di tengah kondisi multikulturalisme, yang patut dipertahankan dan
dikembangkan adalah penguatan pendidikan yang berbasis spiritualitas yang justru akan meneguhkan otentisitas kemanusiaan yang senantiasa dicitrai oleh ketuhanan.
Doktrin sufistik bisa dijadikan dasar etik pengembangan kehidupan lebih humanis dengan tetap memelihara produktivitas di tengah gaya hidup modern yang memproduksi ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Fungsionalisasi ajaran sufi itu lebih urgen ketika berbargai wilayah negeri ini dilanda bencana alam akibat salah urus. Konflik menajam dalam pertarungan politik setiap pergantian pimpinan partai dan pemilihan kepala daerah yang mulai berlangsung di seluruh kawasan Tanah Air, membuat kemiskinan dan penderitaan rakyat semakin mengenaskan. Fakir-miskin dan korban bencana alam itu makin tak terurus saat elite partai dan bahkan keagamaan terperangkap perebutan kekuasaan materiil. Doktrin sufi mengajarkan bagaimana cara pembebasan manusia dari perangkap hasrat kuasa dan kaya yang mejadikan pelaku ekonomi, politik dan tokoh agama kehilangan rasa kemanusiaannya.

Tuduhan ajaran sufi menjadi penyebab utama lemahnya etos sosial, ekonomi dan politik sehingga mayoritas pemeluk Islam tergolong miskin dan berpendidikan rendah adalah akibat kesalahpahaman memaknai ajaran-ajaran sufi, yang jelas-jelas bersumber kepada Kitabullah dan al-Sunnah. Ajaran sufi bisa menjadi basis etik dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik kebangsaan yang humanis dan berkeadilan dalam dunia global, jika dimaknai sebagai praksis kemanusiaan. Akar etik sufi ialah kesediaan manusia menempatkan dinamika kebendaan dan duniawi (sosial, ekonomi, politik) sebagai wahana pencapaian tahapan kehidupan (maqam) lebih tinggi dan bermutu. Bagi kaum sufi, kehidupan sosial, ekonomi dan politik bukanlah tujuan final, tapi tangga bagi kehidupan lebih luhur. Inilah maksud ajaran suluk sebagai jalan mencapai ma’rifat; Ma’rifat adalah karunia tertinggi tentang hakikat kehidupan dinamis alam dan manusia. Karunia ma’rifat yang futuristik itu menciptakan manusia-manusia yang piawai melihat hukum kausal sejarah dan berbagai kemungkinan kejadian di masa depan.

Realisasi doktrin sufistik bukanlah dengan menjauhi, menolak dan menghindari pergulatan bendawi, melainkan melampaui dan menerobos batas-batas dinamika bendawi yang materialistik. Perilaku dan pola hidup sufistik merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap materiil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi dan politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Itulah basis etik setiap laku sufi yang seharusnya meresap kedalam setiap tindakan manusia di dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta berbagai kegiatan ilmiah. Inti ajaran sufi demikian itu mudah kita kenali di semua ajaran agama-agama samawi. Berbasis etika sufistik seseorang bersedia membantu meringankan penderitaan orang lain, walaupun diri sendiri menghadapi kesulitan dan penderitaan. Prestasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik penganut sufi, selalu terarah bagi capaian kualitas spiritual, bukan semata bagi status sosial, penumpukan harta dan kuasa pribadi.

Konsep faqr misalnya, bukan pola hidup miskin tanpa harta dan kekuatan, tapi berlaku bagi si miskin kepemilikan atas harta dan “kekuasaan” yang dimiliki, sehingga dia dapat dengan mudah memberikan harta dan kuasanya bagi kesejahteraan publik. Sufistisasi ekonomi inilah yang belakangan berkembang menjadi faktor penentu dinamika sosial dan politik. Sufistisasi berarti peletakkan tiap usaha dan prestasi sosial, ekonomi, dan politik pada akar nilai kemanusiaan, bukan sebagai berhala-berhala ketika harta dan kuasa dianggap lebih berharga dari praksis pemihakan kepentingan humanitas universal.

Kerakusan kapilatistik dan politik yang cenderung korup adalah lahir akibat perilaku ekonomi dan politik yang berororientasi hanya bagi peraihan kekayaan harta finalistik. Gagasan Imam al-Ghazali seringkali dijadikan referensi penolakan pelibatan diri dalam dinamika sejarah, ekonomi dan politik dalam doktrin zuhd dan faqr. Ajaran itu bagi al-Ghazali berarti peletakkan kegiatan ekonomi dan politik bagi pengabdian kepada Allah. bukan menolak atau lari dari kehidupan empiris. Inilah transendensi dan radikalisasi dalam pemikiran filsafat. Proses demikian akan menumbuhkan kesadaran tentang diri, realitas alam raya, dan Allah. [17]

Sufistisasi ialah praksis sufi dalam kehidupan empirik sehingga kebekuan sosial, eknomi, politik, dan keberagamaan dicerahi kemanusiaan dan diresapi logika sejarah kritis dan dinamis. Bukan lari dari kecenderungan ekonomi dan politik yang culas dan korup, tapi kerja keras menahan diri mengatasi perangkap finalitas ekonomi dan politik. Tidak jarang kegiatan ritual keagamaan terperangkap finalitas serupa ketika ditujukan hanya untuk meraih pahala sebesar mungkin tanpa keterkaitan fungsional pemecahan problem kehidupan riil. Prestasi sosial, ekonomi, politik, dan kesalehan religius lebih bermakna saat seseorang memasuki wilayah tanpa batas penuh kenikmatan hidup dan melampaui dimensi bendawi. Sufistisasi produktif penting dalam keberagamaan non-produktif fatalis yang lebih menekankan pencarian kekayaan moral-spiritual menolak kekayaan dan kuasa bendawi. Pemahaman ajaran zuhud seperti itulah penyebab ketertinggalan masyarakat muslim yang miskin dan terkebelakang.

E. tasawuf; Alternatif Spiritualitas Masa Depan

Spiritualitas Islam atau sufisme memiliki aspek-aspek lain yang tercermin dalam ungkapan merenungkan keindahan manusia adalah media untuk dapat merenungkan keindahan Allah.[18] Spiritualitas Islam atau tasawuf nampaknya mempunyai signifikansi yang kuat bagi masyarakat Barat modern yang mulai merasakan kekeringan batin dan kini upaya pemenuhannya kian mendesak. Mereka mencari-cari, baik terhadap ajaran Kristen maupun Budha atau sekedar berpetualang kembali kepada alam sebagai 'uzlah' dari kebosanan karena lilitan masyarakat ilmiah-teknologis. Dalam situasi kebingunan seperti itu, Islam masih belum dipandang sebagai alternatif pencarian, karena Islam dipandang dari sisinya yang legalistis-formalistis dan banyak membentuk kewajiban bagi pemeluknya serta tidak memiliki kekayaan spiritual. Atau, karena Islam di Barat bercitra negatif karena kesalahan orientalis dalam memandang Islam lewat literatur dan media massa. Akibatnya, Islam dipandang sebelah mata oleh masyarakat Barat. Barat juga masih amat asing kalau Muhammad ditempatkan sebagai tokoh spiritual, dan Islam memiliki kekayaan rohani yang sesungguhnya amat mereka rindukan. Citra idola seorang tokok spiritual menurut mereka hanyalah berkisar pada Budha Gautama yang meninggalkan kemewahan hidup kerajaan, atau Kristus sang penebus dosa anak cucu Adam, atau pada Gandhi yang hidupnya begitu sederhana meski pribadinya amat besar. Sementara Nabi Muhammad SAW, lebih dikenal sebagai panglima perang yang terlalu sibuk dengan penaklukkan wilayah dan membangun kekuasaan duniawi.

Islam, sebagai agama samawi paling akhir diturunkan, merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-Nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wujd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik, seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Tasawuf merujuk pada dua hal pokok yaitu, penyucian jiwa (tazkiyy al-nafs) dan pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.

Faktor yang paling penting dalam membangun dan membuat identitas muslim masa kini adalah system pendidikan Islam tradisional, sepeti yang diteladankan kaum sufi.[19] Indonesia mencatat betapa besar pengaruh tasawuf kedalam dunia pendidikan sebelum masa kemerdekaan. Pengaruh tasawuf sudah sejak lama memasuki lembaga-lembaga pendidikan seperti Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Jami’at Khair, Madrasah al-Khaerat, Nahdhatul Ulama dan Pesantren.[20] Kini saatnya Lembaga Pendidikan Islam mensosialisasikan dan menginternasikan dimensi batiniah Islam kepada peserta didik (murid, tholib) sebagai alternatif. Islam perlu disosialisasikan pada mereka, setidak-tidaknya ada tiga tujuan utama. Pertama, turut serta berbagi peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat dari hilangnya nila-nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris Islam, terhadap masyarakat Barat modern. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni tasawuf, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak lagi berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam.

Ada tiga tataran Islam yang dapat mempengaruhi umat manusia. Pertama, ada kemungkinan mempraktekkan ajaran spiritual Islam secara aktif. Pada tahap ini orang harus membatasi kesenangan terhadap dunia materi dan kemudian mengarahkan hidupnya untuk bermeditasi, berdo'a, mensucikan batin, mengkaji hati nurani, dan melakukan praktek-praktek ibadah lain (mujahadah dan riyadhoh). [21]. Mujahadah adalah memerangi atau mencegah kecenderungan hawa nafsu dari masalah-masalah duniawi. Mujahadah yang lazim berlaku di kalangan orang ‘awam adalah berupa perbuatan-perbuatan lahiriah yang sesuai dengan ketentuan syari’at. Sementara di kalangan khawash Mujahadah dimaknai sebagai usaha keras menuscikan batin dari segala akhlak tercela. [22] Mujahadah yang berat dan lama yang dipusatkan untuk mematikan segala keinginannya selain kepada Allah, dan menghancurkan segala kejelekannya dan menjalankan bermacam riyadhoh yang diatur dan ditentukan oleh para sufi sendiri.[23]

Kedua, tasawuf mungkin sekali mempengaruhi Barat dengan cara menyajikan Islam dalam bentuk yang lebih menarik, sehingga orang dapat menemukan praktek-praktek tasawuf yang benar. Maka, umat Islam harus mampu menyajikan dan mendakwahkan Islam kepada umat manusia dengan lebih menarik, yakni keseimbangan antara aktivitas duniawi dengan ukhrawi. Cara seperti ini telah dipraktekkan secara sukses dalam penyiaran Islam di India, Indonesia, dan Afrika Barat. Ketiga, dengan memperkenalkan ajaran tasawuf sebagai alat bantu untuk mengingatkan membangunkan jiwa-jiwa yang tidur. Karena tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, dan psikologis serta psiko-terapi religius, maka berarti tasawuf atau sufisme akan dapat menghidupkan kembali berbagai aspek kehidupan rohani umat manusia yang selama ini tercampakkan dan terlupakan.

PUSTAKA

Ali, Yunasril, Jalan Kearifan Sufi: Tasawuf sebagai Terapi Derita Manusia, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2002.

al-Jaylani, Abdul Qadir, Rahasia Sufi, terj., Yogyakarta, Pustaka Sufi, 2003.

Anwar, C. Ramli Bihar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, Jakarta, Penerbit IIMAN bekerjasama dengan Penerbit HIKMAH, 2002

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 1996

Fattah, Sayyid Ahmad ’Abd., Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, terj., Jakarta, Khalifa, 2000.

Gulen, Fathullah , Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta, Srigunting, 2001.

Halim, Abdul Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, Jakarta, Pustaka Setia, 2002

Hamka, , Tasawuf Modern, Jakarta, Pustaka Panjimas, 2005

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih, terj., Solo, Pustaka Arafah, 2005.

Khusairi, Abdullah, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006.

Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, Jakarta, Yayasan Paramadina, 1995

Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, Solo, Penerbit Tiga Serangkai 2004

Mubarok, Achmad, Sunatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, Jakarta, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 2003.

Nasr, Seyyed Hossein, dkk, Warisan Sufi, Sufisme Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300 M), terj., Jogjakarta, Pustaka Sufi 2002.

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan bintang, 1985

Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI Press, 1986

Ni’am, Syamsun, Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya, Risalah Gusti, 2001.

Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka 1999

Rahman, Ahmad , Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Bandung, Hikmah Mizan, Cet. 1, 2004

Rahmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Jakarta, Pustaka Hidayat, 2002

Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, ter., Jakarta : Putaka Firdaus, 1986

Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997.

Sells, Michael A., Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, terj., Bandung, Mizan, 2004.

Solihin, Mukhtar, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung, CV Pustaka Setia, 2003.

Solihin, Mukhtar, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2004.

Solihin, Mukhtar-Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, CV.Pustaka Setia, 2000.

Siregar, H.A. Rivay,, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

Syatha, Syayid Abu Bakar Ibnu Muh., Missi Suci Para Sufi, terj., Yogyakarta: Mitra Pustaka, 20

al-Taftazani, Abu al-Wafa, al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah , 1979.

_________________, Zuhud di Abad Modern, terj., Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2000

Taymiyah, ibn, al-Shuffiyyah wa al-Fuqoro’, Kairo, Mathba’ah al-Manar,1348 H.

al-Tusi, al-Luma’, Mesir, Dar al-Kutub al-Haditsah,1960

Yafie, Ali, Menggagas Fikih Sosial, Bandung : Mizan, 1994

Zuhdi, Nazib, Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, Penerbit, Fajar Mulya Surabaya, 1993



[1] Khusairi, Abdullah, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006. Halaman 26.

[2] Ajaran tasawuf memberikan perimbangan antara kecendrungan duniawi dan ukhrawi. Tasawuf menemukan momentum saat sekarang, ketika kaum terdidik, pengusaha da masyarakat kampus banyak tertarik terhadap kajian tasawuf. Lebih-lebih setelah disadari tidak ada korelasi linear antara agama dengan tingkah laku. Agama barus dilakukan sebagai ritual, bukan aktual. (Ahmad Rahman, Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Hikmah Mizan, Cet. 1 Mei 2004).

[3] Abdullah Khusairi, Op Cit.

[4] Nashr, Sayyed Hossein, Nestapa Dunia Modern, hal. 26

[5] Jerome R. Revertz, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan, terj., Yogjakarta, Pustaka Pelajar, hal. 9.

[6] Joseph A. Byrnes, “The 17th Century”, dalam, J. Sherwood Weber, ed., Good Reading, 1980. hal. 48.

[7] Lihat Buzan, Tony, The Power of Spiritual Intelligence, London, Harper Collin Publsihe, 2001, hal. 18-20.

[8] Ibrahim, Muhammad Zaki , Tasawuf Hitam Putih, Solo, Penerbit Tiga Serangkai, Tahun 2004, Cet. I, hal. 3-5.

[9] Neo-sufisme pertama diusung Fazlur Rahman, yang memiliki arti sufism baru. Kebalikan dari sufism terdahulu, yang mengedepankan individualistik dan ukhrawi yang bersifat eksatis-metafisis dan kandungan mistiko-filosofis. Hal senada juga diusung oleh Hamka. Wacana ini sudah didiskusikan beberapa waktu lalu. Penulis berpendapat, tasawuf kontemporer,satu sisi masuk pada barisan Fazlur Rahman dan Hamka. Di sisi lain, tasawuf kontemporer, hanyalah bagian dari bahan mentah industrialisasi.

[10] Madjid, Nurcholis Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, Jakarta, Yayasan Paramadina, 1995, hal. 94.

[11] Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta, Rajawali Pers, 2005.

[12] Simih, Sejarah Perkembangan Tasawuf, h. 32.

[13] Ibid., h. 41.

[14] al-Qusyayrî, al-Risalah al-Qusyayriyah, h. 48.

[15] al-Ghazãlî, Ihyã` ‘Ulûm al-Dîn, J. IV, h. 4.

[16] al-Ghazãlî, Sirr al-‘Ãlamîn, h. 24.

[17] al-Najar, Amir, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, terj., Jakarta, Hikmah, 2004, hal. 66-67

[18] Baldick, Julian, Islam Mistik, terj., Jakarta, Serambi, 2002, hal. 15.

[19] Esposito, John L., Agama dan Perubahan Sosial Politik, terj., Aksara Persadara Press, cet. I, 1985, hal. 15.

[20] Shihab, Alwi, Islam Sufistik, Bandung, Mizan, 2001, hal. 214-224.

[21] Pengalaman ini merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunah, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah. Para kyai di pesantren menganggap dirinya sebagai ahli tarikat. (Lihat: Leksikon Islam, Pustaka Azet Perkasa Jakarta 1988, hal 707)

[22] al-Naqsyabandî, al-Jami’ al-Ushul fi Muhimmat Ahl al-Tasawuf., h. 125.

[23]Abdul Hakim Hasan, al-Tasawwuf fî al-Syi’r al-‘Arabî, h. 20

0 Response to "PENDIDIKAN TASAWUF; TUGAS BARU PENDIDIKAN ISLAM?"

Posting Komentar