ragam tuduhan trhadap SUFI

SUTEJO IBNU PAKAR

A. pendahuluAN

Tasawuf adalah nuansa baru dalam (keberagamaan) Islam. Islam telah menentukan secara tegas konsep dan metode zuhud dengan landasan utama Kitabullah dan al-Sunnah. Tasawuf hadir memperkuat konsep zuhud dan kaum kaum sufi mereduksi zuhud sebagai sebuah disiplin yang teramat ketat dalam bentuk peilaku keseharian meninggalkan orientasi duniawi secara keseluruhan dan hanya berpaling kepada orientasi ukhrawi. Siapapun tidak akan menolak konsep zuhud. Berbeda dengan tasawuf yang tidak selalu dietrima oleh semua lapisan masyarakat muslim.[1]

Tasawuf ialah institusi keislaman yang mewakili perilaku meninggalkan dunia secara totalitas. Tasawuf memiliki eksitensi, gerakan, sistematika organisasi, landasan formal ajaran, serta rujukan tersendiri. Tasawuf berhasil menciptakan pemimpin dan pembimbing ruhani sendiri dalam sturtkur yang independen dan ditaati oleh semua murid dan pengikutnya dengan ghirah dan fanatisme yang tidak terkalahkan oleh pengaruh-pengaruh luar layaknya sebuah ta’ashub.[2]

Tasawuf dikenal banyak orang dala dua kategori. Pertama, tasawuf akhlaqi dianggap memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah serta menjauhi penyimpangan-penyimpangan yang menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Kedua, tasawuf falsafi yang dianggap telah memasukkan ke dalam ajaran-ajarannya unsur-unsur filosofis dari luar Islam, seperti dari Yunani, Persia, India dan Kristen serta mengungkapkan ajaran-ajarannya dengan memakai istilah-istilah filosofis dan simbol-simbol khusus yang sulit dipahami oleh orang banyak.

Dunia Islam mengenal tasawuf mulai abad III Hijri dari cara-cara atau perilaku hidup keseharian menjauhkan diri dari kemewahan materi; lazim disebut escapis atau zuhud. Keasyikan dalam perilaku zuhud kemudian berubah menjadi pola hidup serba menerima dengan pasrah (ridha’) setiap nasib yang menimpa dan kebiasaan menyesali diri dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syari’at Islam (tawbat). Puncaknya, tradisi itu berubah oreintasi menjadi sebuah proses pensucian jiwa (tazkiyyat al-Nafs) dengan tujuan dapat sampai menuju Allah (wushul). Zuhud, wara’, ridha’ dan tawbat adalah prasyarat bagi seseorang calon sufi yang hendak melakukan tazkiyyat al-Nafs dengan tujuan untuk mempermudah proses wushul, ma’rifat Allah, kasyf, dan musyahadah.[3]

Tasawuf, dipandang dari aspek pendidikan kepribadian, adalah institusi dalam Islam yang telah berjasa didalam upaya peningkatan kualitas kepribadian muslim sebagaimana yang diajarkan oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Tasawuf mengajarkan setiap diri muslim untuk berlaku zuhud (tidak tergila-gila terhadap duniawi-materi), taqwallah, ‘iffah (mampu menahan diri (dari meminta-minta), qona’ah (tidak), sabar dalam setiap situasi dan kondisi, berusaha membersihkan jiwa, istiqomah dalam keimanan, mencintai rasul Allah dan orang-orang salih, selalu mengingat Allah (dzikrullah), membiasakan diri melakukan hal-hal yang disunnahkan secara kontinyu, menyayangi setiap makhluk ciptaan Allah, sabar, tawakal kepada Allah dan segala kebaikan serta amal salih yang dapat membantu tercapainya kesempurnaan keimaman dan keislaman, dalam rangka menuju kualitas ihsan.[4]

Namun demikian, kritik dan penilaian negatif tidak henti-hentinya ditujukan kepada tasawuf dan sekelompok sufi, terlebih-lebih madzhab falfafi dan madzhab wujudiyah.[5] Kritikan datang tidak saja dari kaum orientalis, sekelompok ulama muslim dari Timur Tengah juga terbawa larut dan asyik mencari-cari kelemahan konsep, teori, dan praktek-praktek bertasawuf. Sejumlah kritikus mengalamatkan penilaiannya terhadap beberapa persoalan aqidah dan ibadah yang, bagi mereka, bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunnah. Aqidah sufi dinilai bertentangan dengan al-Quran dan kepribadian Rasulullah SAW sebagai penjelas atas wahyu. Aqidah sufi dinilai tidak berdasar kepada Kitabullah dan al-Sunnah. Sufi mendasarkan keyakinan mereka berdasarkan pembelajaran melalui ilham dari guru-guru yang mereka anggap sebagai wali. Sumber aqidah, yang menjadi kebanggan dan keistimewaan kaum sufi tetapi menjadi bahan cemooh sekelompok ahli, adalah metode kasyf dan fana’. Bagi para kritikus aqidah sufi dipandang sebagai bentuk penyelewengan dan keterpedayaan sufi oleh jin dan syaitan.

Para syaikh sufi juga dituding sebagai kelompok ulama yang tidak memiliki keilmuan memadai dalam bidang aqidah islamiah dan mereka dinilai tidak memiliki tawhid kepada Allah yang bersih. Bahkan keilmuan para sufi pada umumnya dinilai sebagai keilmuan yang, secara epistemologis, tidak berdasar karena didalam kalangan sufi sangat diutamakan tradisi taqlid kepada yang dijadikan guru. Komunitas sufi lazim dikelompokkan kedalam kelas masyarakat yang tidak memahami perkembangan zaman dan hal-hal faktual dalam dunia keilmuan dan pemikiran Islam. Mereka menganjurkan umat untuk meninggalkan dunia politik dan pemerintahan, tetapi mereka berharap para penguasa mendatangi mereka demi kepentingan dan tendensi kelompok dan juga pribadi sang syekh.[6] Dalam bidang hadits, para sufi dituduh sebagai kelompok muslim yang tidak mengerti soal shahih dan dha’if. Kitab-kitab sufi lebih mengutamakan mengambil hujjah dengan hadits-hadits dh’aif dan juga mawdhu’ dari hadits-hadits shahih. [7]

Bahkan al-Ghazali pun tidak luput dari kritik. Sebagai pejuang kasyf dia dinilai telah keluar dari ketentuan fiqh dan banyak mempergunakan hadits-hadits dha’if ke dalam Ihya’-nya; dengan tidak menyadarinya.[8] Kitab-kitab tasawuf karya ibn ’Arabi, al-Jili, atau al-Suhrawardi dituding sebagai kitab-kitab yang memasukkan ajaran-ajaran agama-agama luar Islam seperti: Yahudi, kependetaan Nasrani, Manuwiyah, fanatisme Majusi (Agama Persia Kuno), brahmanisme Hindu, ascetisme dan moksha Buda; dan faham: Neoplatonisme kedalam Islam.[9]

Doktrin-doktrin sufi yang kerap kali dijadikan bahan kritik negatif adalah persoalan yang lazimnya tidak dikenal oleh kalangan ahli fiqh ataupun ahli kalam. Misalnya tardisi halaqah atau majlis dzikr, hafalah sirr atau tawajjuh, rabithah[10] dengan guru sebelum melakukan awsilah, serta masalah ahwal atau hal, syathat, kasyf serta keyakinan tentang kemampuan kaum sufi memasuki dunia gaib, ittihad dan hulul. Komunitas di luar sufi, menuding doktrin tersebut sebagai penetrasi dari agama Zoroarter, Zaratusta, Manusiwuyah, Hindu dan agama-agama watsani pada umumnya. Metode tafsir dan ta’wil para sufi terhadap ayat-ayat al-Quran pun dianggap sebagai bentuk penyelewengan pemahaman yang keluar dari kaidah-kaidah tafsir dan mencerminkan ketidak tahuan tentang asbab al-Nuzul. Salah satu contoh penyelewengan pemahaman sufi diantaranya ta’wil mereka terhadap ayat: 35 surat al-Maidah tentang wasilah yang mereka yakini sebagai wasilah dengan guru mereka atau tokoh yang mereka anggap wali. [11]

Ibn Taimiyah (w. 1328 H.),[12] seorang ulama besar yang dibanggakan kaum modernis, mengkritik secara tajam praktek dan pemikiran sufisme.c Baginya, para sufi itu terbagi dalam tiga kategori dan tidak semuanya benar. Pertama, adalah kelompok masyayikh al-Islam, masyayikh al-Kitab wa al-Sunnah dan A’imat al-Huda, seperti Fudhail ibn ‘Iyad (w. 803 M.), Ibrahîm ibn Adham (w. 777 M.), Syaqîq al-Balkhi (w.810 M.), Ma’ruf al-Kurkhi (w. 815 M.), Bishr al-Khafi (w. 841 M.), Sari al-Saqathi (w. 871 M.), Abu Sulaiman al-Darana (w. 831 M.), Junaid al-Baghdadi (w. 909 M.), Sahl ibn ‘Abdullah al-Tustari (w. 897 M.), ‘Amr ibn 'Usmân al-Makki (w. 904 M.), ‘Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M.), Hammad al-‘Abbas (w. 1130 M.) dan Abû al-Bayan (w. 1156 M.). Mereka adalah kelompok sufi yang prakteknya tidak bertentangan dengan al-Qur'an, kehidupan dan pengalaman mereka sesuai dengan Syari‘ah; Kedua, adalah kelompok yang mengalami keadaan yang tidak normal, syathahat (berkata yang lepas kontrol) dan mabuk, mereka dipandang sebagai orang yang bertentangan dengan syari‘ah, tetapi cepat atau lambat mereka pulih kembali, contoh dari kelompok ini adalah: Abu Yazid al-Busthami (w. 875 M.), Abu al-Husain al-Nuri (w. 907 M.) dan Abu Bakar al-Syibli (w. 946 M.). Untuk kelompok ini, Ibn Taimiyah tidak berkomentar banyak; Ketiga, adalah kelompok yang dianggapnya sesat dan bertentangan dengan ajaran Islam, karena mereka menganut doktrin inkarnasi (hulul) dan wahdat al-Wujud, di antara dari kelompok ini adalah: Al-Hallaj (w. 922 M.), Ibn ‘Arabi (w. 1240 M.), Sadruddin al-Qunawi (w. 1273 M.), Ibn Sabi’in (w. 1269 M.), dan Tilimsani (w. 1291 M.). Kelompok terakhir ini yang mendapatkan kritik tajam dari Ibn Taimiyah.

Para pakar modern juga banyak berbeda pendapat tentang hubungan antara tasawuf dengan ajaran Islam. Sebagian berpendapat bahwa tasawuf adalah perkembangan eksotik, dan sebagian jejaknya merupakan unsur dari sumber asing. Misalnya, mereka dianggap mewarisi asketisme (kepasrahan) dan praktek-praktek monastik dari Nasrani; menjalankan peniadaan diri (fana’) dari Hindu; keinginan untuk mengetahui realitas luhur melalui pemurnian jiwa dan iluminasi dari gnostisisme; serta pandangan kegandaan (multiplicity) dari kebersatuan-nya Neo-Platonisme; dan teosofi monistiknya dari Vedanta India.

Sementara yang lain menentang pandangan di atas. Bagi mereka, tasawuf adalah fenomena yang sepenuhnya Islami, dan merupakan ekspresi otentik dari semangat Islamî. Lebih jauh mereka menjelaskan bahwa kehidupan bersahaja seperti yang banyak dijalankan kaum sufi adalah meniru (menteladani) kehidupan Rasul Allah SAW dan para sahabatnya. Sedangkan pengasingan diri dari masyarakat ramai (‘uzlah) juga sesuai dengan syari‘ah, yaitu membebaskan diri dari pengaruh kemunduran dan korupsi di pemerintahan. Kecenderungan mereka untuk berserah diri (tawakkul ‘ala Allah), berdzikir juga sangat dicintai oleh Rasul Allah. Pandangan teosofis mereka serta konsep filosofis dari wahdat al-Wujud sekalipun, mereka kemukakan dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis.

Penulis tasawuf awal seperti al-Sarraj (w. 378 H./988 M.), al-Kalabadzi (w. 390 H./1000 M.), Abu Nu’aim (w. 430 H./1038 M.), dan al-Qusyairi (w. 465 H./1072 M.) menandaskan bahwa tasawuf merupakan ekspresi murni tentang ekspresi rohani ajaran Islam. Ia merupakan perwujudan yang teramat sempurna dari nilai-nilai rohaniah.[13] Mereka mengemukakan bahwa kaum sufi mempunyai keyakinan sebagaimana yang dirumuskan oleh para ahli ilmu kalam (teologi).[14] Mereka juga mengikuti aturan sebagaimana yang dirumuskan oleh para fuqaha’ (ahli hukum Islam), dengan metode dan pengalaman yang sepenuhnya sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.[15] Mereka tafsirkan dan rujukkan ucapan kaum sufi yang terlihat kurang taat-asas (inkonsisten), dan meninggalkan hal-hal yang tidak sesuai. Al-Kalabadzi khususnya mencoba menunjukkan bahwa kepercayaan yang dipegang orang-orang sufi tidaklah berbeda dengan kepercayaan Ahl al-Sunnah.

Hal ini sebagaimana tergambar dalam ulasan al-Saraj bahwa, sufi adalah wakil Allah di bumi, wali-wali dari rahasia-Nya dan pengetahuan-Nya serta ciptaan-Nya yang terbaik. Mereka itu adalah pilihan Tuhan, teman-teman yang mulia dan orang-orang yang paling dicintai; muttaqun, sabiqun, abrar, muqarrabun, abdal dan siddiqun semuanya berasal dari mereka. Orang-orang sufi tidak memilih salah satu cabang ilmu pengetahuan dan meninggalkan yang lainnya (seperti orang-orang yang hanya menekuni hadis, fiqh dan zuhd). Mereka benar-benar membatasi diri mereka sendiri untuk mencapai beberapa ahwal wa maqamat. Mereka adalah sumber berbagai macam ilmu pengetahuan dan perwujudan dari sublimasi semua kebajikan (akhlaq al-Syarifah), lama seindah yang baru.[16]

Pemikiran tasawuf al-Ghazalî, bagi generasi penerusnya, dianggap telah maju jauh ke depan. Selain mencoba menafsirkan tasawuf dan mencoba merujukkannya pada ajaran Islam, sebagaimana juga dilakukan para pendahulunya, ia juga mencoba menafsirkan ajaran Islam dengan titik pandang, pengalaman dan praktek sufi. Ia menegaskan bahwa apabila Islam dipahami dengan baik maka pelaksanaannya juga tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para guru sufi. Inilah yang dilakukannya dengan karya terbesarnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Hasilnya adalah bahwa apa yang dianggap terbaik oleh ajaran Islam adalah identik dengan tasawuf.[17]

Karya ‘Abd. al-Qadir al-Jaylani (w. 561 H./1166 M.) dan Syihab al-Din al-Suhrawardi (w. 632 H./1234 M.) meneguhkan dan memperkuat citra di atas. Namun demikian, mereka sendiri mendisasosiasikan diri dengan aspek spekulatif dari karya al-Ghazalî. Ibn ‘Arabi mengikuti langkah al-Ghazali, dan melaksanakan tugas lebih jauh dalam penafsiran kepercayaan dan praktek Islam dalam titik pandang pengalaman dan intuisi sufi. Ibn ‘Arabi telah memainkan fungsi ini dalam skala besar dalam karyanya yang panjang lebar, al-Futuhat al-Makkiyah. Di sini, ia menginterpretasikan kepercayaan Islam secara keseluruhan dan mempraktekkannya sendiri dengan sudut pandang filosofinya wahdat al-Wujud. Ia juga memberi interpretasi lain yang lebih dekat dengan pandangan tokoh muslim pada umumnya (penerimaan teologi). Hal ini sebenarnya tidak mewakili pemikiran Ibn ‘Arabi yang sesungguhnya. Suatu pemaparan yang lebih jelas, khususnya pada pokok masalah yang fundamental, ditemukan dalam karyanya Fushus al-Hikam yang berisi esensi pemikiran filosofisnya.[18]

b. Syari’at, Thariqah, Haqiqah

Para sufi memiliki ketentuan sendiri tentang amaliah atau ibadah.[19] Ibadah, dalam pandangan sufi, adalah amaliah tahapan syari’at. Wujud syariat adalah beribadah kepada Allah dengan jalan meninggalkan larangan-larangan Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya. Tujuannya agar dapat mencapai maqam tawbat, taqwa, dan istiqomah. Ini tahapan awal bagi para calon sufi atau salik. Tahapan berikutnya adakah thariqah. Tahapan ini memiliki tujuan untuk mendekati Allah yang harus dijalani dengan usaha membersihkan diri dari segala bentuk kehinaan dan menghiasi diri dengan berbagai keindahan. Dan, tahap ketiga adalah haqiqah yang bertujuan dapat menyaksikan Allah muraqabah dan musyahadah dan harus dijalani dengan cara memperbaiki ruh dengan berbagai kualitasnya.

Syariat, di mata sufi, adalah tahapan para pemula atau mubtadi’ atau murid, thariqah adalah tahapan para salik dan haqiqah adalah tahapan para sufi.[20] Seseorang yang masih berada dalam tahapan ahli syari’at masih terikat dengan ketentuan-ketentuan mujahadah. Mereka yang berada pada tahapan thariqah atau kelas mutaswwisth dituntut untuk selalu menjaga dan memelihara kualitas ahwal dan maqam agar selalu meningkat. Bagi para sufi yang sudah wushul atau al-Washil sebagai pemilik keyakinan puncak memiliki tugas agar selalu memenuhi setiap panggilan al-Haqq, yakni Allah SWT.

Thariqah yang dimaksud oleh sufi adalah sebuah proses pensucian jiwa, hati, dan ruh yang berakhir pada proses menghiasi ruh dengan berbagai akhlak yang mulia dan terpuji. Adapun landasan atau fondasi thariqah sufi adalah: ijtihad dalam arti memeperbaiki essensi dan kualitas keislaman seseorang, suluk yang berarti memeperbaiki essensi dan kualitas keimanan seseorang, sayr yang maksudnya memeperbaiki essensi dan kualitas keihsanan, dan thayr yang berarti proses jadzb atau tertarik oleh kemurahan dan kebaikan Allah SWT. [21]

Alhasil,, untuk menjembatani paradoks demensi keagamaan, komunitas sufi mengkatagorikan tingkatan keagamaan dalam tiga kategori, yaitu kategori: syari’at, (thariqat, sebagai perantara), ma’rifat dan hakikat. Syari’at, yaitu kategori keberagamaan kaum ‘awam yang masih bersifat minimalis. Menjadikan teks-teks dan sejarah kehidupan empirik para nabi sebagai pola dan acuan dalam beragama. Thariqat, upaya-upaya imitatif dalam melakukan penggemblengan spiritual, dalam tahap-tahap tertentu. Sedangkan ma’rifat dicapai ketika ia menyaksikan kedalaman spiritual yang dialami para nabi dalam pengalaman spiritualnya sendiri. Dalam tataran ini, pengetahuan dan ilmu agama beralih dari pengetahuan dari ilmu al-Yaqin (iman) ke ‘ain al-Yaqin. Keyakinannya tidak lagi akan mengalami pasang surut, karena ia telah menjadi saksi bagi dirinya sendiri diidentifikasi apa yang para nabi “ketahui”. Pengetahuan imani (‘ilmu al-Yaqin) memang memiliki kemungkinan untuk pasang surut walaupun mungkin tidak sampai padam, karena keyakinan tersebut berpijak dan disandarkan di atas keyakinan bahwa teks-teks suci tersebut di bawa oleh seorang nabi dari Tuhan-nya. Sedangkan pada tataran ‘ain al-Yaqin keyakinan atas teks telah terbukti karena ia menyaksikannya, sebagaimana yang para nabi saksikan. Lebih tinggi lagi ketika apa yang para nabi “alami” dialaminya pula, pengetahuannya bukan hanya disandarkan di atas keyakinannya dan “persaksiannya”, akan tetapi disandakan pada apa yang dialaminya. Tahap inilah yang dikenal dengan haqq al-Yaqin. Tahap ini dalam tradisi tasawuf falsafi dekenal dengan wihdat al-Wujud atau ittihad, yaitu kesatuan spiritual antara dirinya dengan para nabi dan rasul dalam kebersatuan dengan cahaya ruh ilahi. Kesulitan orang untuk mengungkap dan pembahasaan dalam mengungkap pengalam spiritual yang dialaminya tersebut sering menjebaknya dalam keterbatasan-keterbatasan bahasa. Lebih parah lagi ketika ungakapan-ungkapan tersebut dibaca oleh orang yang memiliki tingkat kedalam dan pengalaman spriritual yang berbeda, lebih rendah. Maka yang terjadi adalah vonis atas seseorang didasarkan atas kehadiran teks bukan kehadiran pengalaman. Hal ini pula yang terjadi ketika orang membaca dan menyimak al-Quran secara tekstual. Ia hanya menghadirka makna-makna teks bukan menghadirkan kebenaran realitas hakikiah. Ia hanya akan menemukan kebenaran teks (sejauh gramatika dan kekayaan kosa kata bahasa teks bisa mewadahinya), buka kebenaran dari kehadiran pewahyuan Ilahi kepada rasul-Nya. Ketika rasul menerima wahyu tersbebut diidentifikasi yang hadir bukan sekedar kesadaran kebahasaan, akan tetapi lebih merupakan kehadiran secara utuh spiritualitas nabi. Hal ini digambarkan oleh teguran kepada nabi untuk tidak melafalkan apa yang diwahyukan ketika menerima wahyu, karena Allah akan menanamkannya dalam hati atau nurani (dimensi dan kesadaran spiritual) nabi.

c. Tazkiyyat al-Nafs

Tasawuf memiliki metode tersendiri yang berbeda dengan madzhab salaf dalam hal ibadah.[22] Sholat, zakat, puasa dan haji adalah ibadah bagi orang ‘awam. Sementara ibadah kaum sufi adalah pensucian jiwa (tazkiyyat al-Nafs) dan bertujuan untuk menghubungkan hati dan bertemu secara langsung (musyahadah) dengan Allah SWT dan fana’ dengan bantuan Nabi Muhammad SAW.

Para sufi mengklaim diri mereka sebagai kelompok muslim elit karena merasa diri memiliki ahwal dan jiwa yang bersih dan memahami cara-cara pensucian jiwa.[23] Tazkiyyat al-Nafs sebagai metode sufi adalah berbeda dengan metode ulama salaf al-Shalih dalam tiga hal. Pertama, ulama salaf melakukan pensucian jiwa dengan cara memperkuat aqidah islamiah yang bersih (tawhidullah) dan memnuhi hati dengan seluruh nama dan sifat Allah. Kedua, pensucian jiwa harus dibarengi dengan menjalankan kewajiban-kewajiban syar’i dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh syari’at. Ketiga, pensucian jiwa harus dibarengi dengan melaksanakan ibadah yang bersifat sunnah (nawafil).[24] Sementara sufi lebih menenkankan kepada aspek imajinatif yakni menyangka jiwanya telah bersih. Kedua, para sufi menyangka jiwanya telah bersih dengan cara terlalu membebani diri dengan berbagai macam ibadah ritual. Ketiga, para sufi menyangka jiwanya telah bersih manakala mampu melakukan kebiasaan-kebiasaan para pertapa atau pendeta (rahib) yakni tidak melakukan pernikahan (hubungan suami istri yang sah dan halal).[25] Tazkiyyat al-Nafs bagi sufi bertujuan untuk mempermudah proses wushul, ma’rifat Allah, kasyf, dan musyahadah.[26]

Kasyf, dalam epistemologi sufi, merupakan rujukan utama dalam proses pembelajaran dan perolehan sejumlah ilmu (knowlegde, al-‘Ulum) dan pengetahuan (scisnce, al-Ma’arif). Bahkan dijadikan tujuan tertinggi dari peribadatan mereka.[27] Komunitas sufi meyakini kasyf dapat diperoleh dengan perantaraan pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW atau perjumpaan dengan Khidhr as., seperti mendapatkan wiridan dan bacaan-bacaan dzikr, baik dalam keadaan terjaga ataupun dalam mimpi. Kasyf juga dapat diperoleh melalui ilham langsung dari Allah SAW, karena para wali di mata sufi adalah umat Muhammad SAW yang memperoleh bimbingan langsung dari Allah sebagaimana para nabi dan rasul Allah. Sufi meyakini bahwa, pembelajaran dapat diperoleh dengan melalui firasat, bisikan (hawatif), mimpi (ru’yat) dan bahkan isra’-mi’raj.

Tazkiyyat al-Nafs, dalam tradisi al-Naqsyabandiyah, adalah mensucikan diri dengan berbagai keutamaan dan perilaku bagus, menjalankan akhlak terpuji seperti sabar, qoana’ah, zuhud, gemar belajar, mencintai kebersihan, menghormati kaum dewasa, menyanagi kaum mda, orang lemaha dan orang-orang sakit, serta menyantuni semua makhluk Allah. Termasuk tazkiyyat al-Nafs, adalah bersikap rendah hati, tidak berpenampilan over dalam pergaulan sehari-hari, mendoakan orng yang bersin, menyebarkan salam, memperlihatkan mimik muka yang ramah, mengunjungi orang yang sedang tertimpa musibah, necintai keadilan, dan lain-lain.[28]

D. WILAYAH (KEWALIAN SUFI)

1. Siapakah Wali itu?

Wilayah lazim dikaitkan dan dipahami sebagai sebuah strata atau tingkat kualitan kewalian seseorang sufi. Terminologi ini sering dijadikan bahan polemik dan kritik para ahli keislaman, baik dari kalangan internal umat Islam maupun kalangan luar, kaum oreintalis atau islamoloog. Tidak sedikit ulama-ulama Islam merasa tidak nyaman dengan feneomena kewalian yang menjadi salah satu karakteristik disiplin tasawuf. Ibnu Taymiyah dan para pengikutnya, misalnya, sampai sekarang, masih berkeberatan dengan term tersebut dan menduuhnya sebagai salah satu bentuk penyelewengan pemahaman atau tafsir terhadap ayat al-Quran dan al-Hadits. Syekh ’Abd. Al-Qadir al-Jaylani (470-561 H./1165-1977 M.), yang mendefinisikan wali secara harfiah, memahami wilayat sebagai sebuah proses pelatihan yang sistematis tentang pensucian jiwa.

Namun demikian, para penganut dan pengamal ajaran thariqah, sebagai komunitas yang mengkalim dirinya penganut ajaran para sufi, tidak pernah terusik dan semakin memperkokoh keyakinannya yang diperoleh secara turun temurun dari guru (syaikh atau mursyid) mereka yang telah mengajarkan kaidah-kaidah dan norma-norma kewalian seseorang sufi. Meskipun masih dibutuhkan koreksi terhadap keyakinan mereka yang, dalam berbagai hal, harus diluruskan dan dikenbalikan kepada al-Quran, al-Sunnah dan doktrin orsinal para sufi klasik dan atau syekh-syekh pendiri thariqah sufi. Seperti anggapan bahwa, “wali itu terjaga dari maksiat. Wali adalah orang yang sudah tidak memiliki sifat-sifat kemunisaan karena sudah diganti dengan sifat-sifat Allah lahir dan batin. Dia telah menyamai Allah SWT, memiliki keuatan menurunkan hujan, menyembuhkan penyakit, menghidupkan orang mati, serta menjaga ilmu dari kehancurannya”. Bagi jumhur ‘ulama’, aqidah seperti ini termasuk syirik rububiyah.

Wali adalah seseorang yang dikarunia kemampuan untuk memelihara segala bentuk perintah Allah, wajib dan sunnah, memahami perintah Allah, dan merealisasikan ilmu yang dimilikinya. Setiap orang yang memiliki aqidah islamiah (yang bersih) dan perilaku dinilai shah oleh syari’at, maka dia berhak atas kewalian sebagai tanda kemuliaan yang dikaruniakan Allah atas dirinya. Tegasnya, bagi Sahl bin ‘Abdullah al-Tusttari, wali adalah setiap orang yang perilakunya sesuai dengan ketentuan syara’ (al-Quran dan al-Sunnah). Wali, bagi Yahya bin Mu’adz, tidak terjangkit penyakit riya’ dan nifaq. Dinyatakan, tiga tanda kewalian seseorang adalah: sibuk dengan Allah, lari mengejar Allah dan setiap rencananya kepada Allah. Al-Kharraz menyatakan, manakala Allah menghendaki seseorang hamba diposisikan sebagai wali (kekasih Allah), maka dibukakan bagi pintu untuk mengingat Allah (dzikrullah), dan ketika dia telah mampu merasakan kelezatan dzikrullah maka dibukakan bagi pintu qurb atau dapat dekat dengan Allah kemudian diangkat-Nya ke maqam merindukan Allah, dan dihantarkan ke kutsi tawhid. Akhirnya, Allah menyingkapkan darinya segala hijab sehingga dapat memasuki rumah kesendirian (fardiyah). Tidak teman lagi baginya kecuali Allah SWT.

Puncak kewalian adalah awal kenabian (nubuwwah). Kaum sufi meyakini tidak ada seorang pun yang dapat mencapai tingkatan atau derajat nubuwwah. Kaum sufi kemudian mengklasifikasikan tingkatan kewalian menjadi : abdal, awtad dan quthb/aqthab. Abdal adalah derajat kewalian seseorang yang telah memenuhi kriteria kemampuan mengemban amanat dan tugas kenabian dalam memasyarakatkan ajaran Rasulullah SAW sebagai pembimbing umat. Awtad adalah derajat kewalian sesorang yang telah mampu meneladani akhlak nabi Allah yang tergolong ulula’zmi. Sedangkan quthb atau aqthab adalah derajat kewalian bagi seseorang yang telah mampu meneladani akhlak hamba Allah yang terpilih (ishthifa’). Nabi SAW, dalam berbagai haditsnya, memang pernah mengisyaratkan tentang derajat kewalian umatnya, terutama tentang wali abdal. [29]

2. Strata Kewalian

Ibnu ‘Arabi, didalam berbagai karyanya, melakukan kategorisasi dan klasifikasi kewalian seseorang berdasarkan kriteria yang ditentukan. Dia mengkelompokkan wali menjadi wali: quthb (gawth), awtad, abdal, nuqaba’, dan nujaba’. Bahkan, dengan berani, ia menentukan beberapa keitimewaan dan kelebihan diluar batas-batas manusia pada umumnya yang dimiliki seseorang wali.[30] Quthb adalah wali Allah yang memiliki keistimewaan sebagai penglihatan Allah dan berada dialam hati Isrfil. Wali quthb ini hanya ada satu orang didalam satu masa. Satu tingkat di bawah quthb adalah awtad yang jumlahnya hanya empat sesuai dengan arah mata angina (utara, selatan, timur dan barat). Setiap seorang wali bertugas di datu arah mata angina sebagai penjaga keseimbangan perjalan alam dunia. Tingkat di bawahnya adalah wali abdal (budala’) sejumlah tujuh orang dan memiliki keistimewaan mampu masuk kedalam diri seseorang yang disukainya, tetapi kemudian berpindah ke orang lainnya tetapi tidak diketahui kapan ia datang dan kapan ia pergi.Berikutnya adalah wali naqib atau nuqaba’ jumlahnya 300 dan memiliki kemampuan sama dengan wali abdal. Terakhir adalah wali nujaba’ atau najib berjumlah 40 orang dan bertugas memberikan pertolongan dengan cara meringankan beban manusia yang berada didalam kebaikan, atau kebenaran.

3. Wali Ma’rifat

Tasawwuf mempunyai dasar pikiran khusus yaitu mencari hubungan langsung dengan dunia immateri, metafisik atau ghayb, dan memuncak kepada cara ma’rifat pada dzat Allah. Para sufi yang mendapatkan anugerah ilmu kasyf berarti mengalami dan menguasai ilmu gaib (‘ilm al-Mughayyabat). Mereka berhasil mengalami penghayatan kasyf. Mereka pun dipuja-puja sebagai wali Allah.[31] Para ahli ma’rifat, bangkit dari dataran rendah suatu metafor ke puncak Kenyataan. Begitu naik, mereka melihat langsung dan bertatap muka dengan Allah, tidak ada sesuatu pun kecuali hanyalah Dia.[32] Sufi yang telah ma’rifat, telah beridiri tegak di dalam Maqom penglihatan langsung kepada Allah.[33] Kepada mereka yang telah dekat sedekat-dekatnya dengan Allah, senantiasa faqr dan berharap kepada-Nya, Allah memberikan derajat ma’rifat dan mukasyafah. Hal ini semata-mata karena hati mereka benar-benar bersih dan dipenuhi dengan cahaya yaqin (nur al-Yaqin).[34]

Wali ma’rifat yang sejati adalah wali yang telah mencapai tingkatan ma’rifatullah dengan mata hatinya dan dialah yang disebut manusia sempurna (al-Isnan al-Kamil). Tetapi, bukan penyatuan atau al-Hulul. Bagi al-Suhrawardi, meyakini adanya al-Hulul sebagaimana konsep diajarkan al- Hallaj adalah merupakan perbuatan orang zindiq. [35] Al-Junayd menegaskan bahwasanya ajaran al-Hulul muncul dari pemahaman para pemeluk Nasrani dalam mentafsirkan konsep nasut dan lahut. Kesalahan itu juga berlaku bagi ajaran yang dibawa oleh Abu Yazid al-Basthami yang diketahui sebagai hasil dari perjalanan ruhaninya mengalami fana` dan ketika merasa telah dapat menyaksikan Dzat Allah (Ghalabat al-Syuhud). Kedua ajaran tersebut sangat bertentangan dengan ajaran rasul Allah, Muhammad SAW.[36]

Ma’rifat dalam dunia tasawwuf memang merupakan kenikmatan dan kelezatan terbesar yang khusus diperuntukkan bagi hati. Hati yang sudah ma’rifat kepada Allah akan bahagia dan tidak sabar ingin segera berjumpa dengan Dia. Ma’rifat adalah nikmat yang tidak pernah berhenti, karena hati tidak pernah rusak meskipun jasad manusia telah mati.[37] Seseorang yang telah sampai tahapan ma’rifat merasa yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa memberi faidah apapun bahaya kecuali Allah. [38]

Musyahadah merupakan martabat tertinggi seorang salik dan tahapan aqidahnya telah mencapai aqidah yang sebenar-benarnya (haqiqah al-Iman) [39] karena hatinya telah mampu mengalami peristiwa yang disebut kasyf atau mukasyafah.[40] Dalam kajian tasawwuf, pengalaman tersebut tidak dapat dirasakan kecuali dengan dzawq.[41] Kemampuan intuitif atau dzawq, dapat dilalui seseorang yang telah mampu melalui empat tahapan pengendalian nafsu (nafs al-Ammarah, nafs al-Mulhamah, nafs al-Muthmainnah, nafs al-Radhiyah, nafs al-Mardhiyah dan nafs al-Kamilah).[42] Sedangkan ma’rifat yang sebenarnya, menurut Palimbani, adalah tahapan fana`. Fana` dan baqa` adalah sirnanya tabiat kemanusiaan (basyariyah) bersama segala identitasnya dan bekasnya dalam wujud Tuhan. Atau, sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, sehingga yang benar-benar ada secara hakiki dan abadi didalam kesadarannya ialah Wujud Yang Mutlak. [43] Seorang sufi yang telah mencapai kesadaran puncak mistis inilah yang menduduki peringkat insan kamil. [44]

E. Musyahadah

Menurut al-Qusyayri, ma’rifat adalah sifat bagi orang yang mengenal Allah dengan segala sifat dan nama-Nya, kemudian dia membuktikan dalam segala mu’amalatnya, membersihkan diri dari akhlak yang tercela dan penyakit-penyakitnya. Dia berusaha melanggengkan beribadah dan senantiasa berdzikir dengan hatinya.[45] Dengan demikian untuk sampai kepada ma’rifat harus dilalui jalan mujahadah, yaitu perang melawan hawa nafsu, membersihkan diri dari segala akhlak yang hina dan menghiasinya dengan akhlak terpuji. [46]

Seseorang yang telah sampai tahapan ma’rifat ini, menurut al-Ghazali, merasa yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa memberi faidah maupun bahaya kecuali Allah. [47] Lazimnya seseorang shufi mengalami apa yang disebut muasyahadah. Musyahadah adalah tahapan ketiga dalam tahapan-tahapan tauhid sebagai berikut (1) tahapan iman secara lisan, (2) tahapan pembenaran atau tashdiq, (3) tahapan Musyahadah/mukasyafah/ma’rifat, dan (4) tahapan fana`.[48]

Kenikmatan hati, sebagai alat mencapai ma’rifat Allah, terletak ketika melihat Allah (musyahadah). Melihat Allah merupakan kenikmatan paling tinggi yang tiada taranya karena ma’rifat Allah itu sendiri agung dan mulia. [49] Kenikmatan dan kelezatan dunia yang dirasakan seseorang sufi, dalam konsep al-Ghazali, sangat bergantung pada nafsu dan akan sirna setelah manusia mati. Sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Allah bergantung pada hati dan tidak akan sirna walaupun manusia sudah mati. Karena, hati tidak akan mati, bahkan kenikmatannya bertambah lantaran ia dapat keluar dari kegelapan menuju ke cahaya terang.[50]

Musyahadah berawal dari mukasyafah, yakni terbukanya hijab atau penghalang antara hamba dan Allah. Mula-mula ia tumbuh dari keyakinan terhadap kehadiran dzat Allah dalam setiap ciptaan-Nya. Pada akhirnya seorang sufi benar-benar merasakan terbuka (inkisyaf) dapat menyaksikan dzat Allah dengan mata hatinya (bashirah) ketika ia berada dalam keadaan fana`.[51]

F. Maqom Fana’-Baqa’

Maqom tertinggi para sufi adalah ma’rifatullah dengan mata hati (bashirah). Melihat Allah dengan mata hati diyakini dapat dilakukan semasa hidup di dunia bagi siapapun hamba Allah yang dikarunia hati yang suci dan bersih, terbebas dari godaan hawa nafsu dan kecenderungan terhadap kehidupan duniaiwi. Melihat Allah (ma’rifatullah) dialami oleh seorang hamba Allah yang benar-benar sudah mengalami tahapan fana` dan baqa` (istigraq) dimana ia benar-benar bertatap muka dan berhadap-hadapan dengan-Nya.

Maqom fana’ itu merupakan hasil dari usaha spiritual atau mujahadah. Menurut Ibn ‘Arabi, dalam menempuh maqomat sufi atau calon sufi senantiasa melakukan bermacam-macam ibadah, mujahadah dan riyadhoh yang sesuai dengan ajaran agama, sehingga satu demi satu maqom itu dilalauinya dan sampailah ia pada maqom puncak yaitu ma’rifatullah. [52]

Tahap penyaksian, musyahadah atau syuhud, menurut al-Banjari, menunjuk pada peringkat terakhir dari peringkat tauhid yang berhasil dicapai seorang sufi yang telah mencapai ma’rifat, yakni tawH id dzat. Dalam keadaan demikian seorang hamba benar-benar menyaksikan bahwa yang benar-benar ada hanyalah Allah. Ketika itu, perasaan hamba segera fana` (sirna) dalam ketuhanan, yang segera diganti dengan perasaan baqa` (kekal) bersama-Nya. Dengan demikian pada diri hamba akan terjelma sifat jamal dan jalal Allah. [53] Dalam keadaan demikian seseorang merasakan benar-benar terbuka (inkisyaf) dan merasa benar-benar dekat dengan Allah. Tingkat keimanan atau tawhidnya sudah benar-benar puncak yaitu tingkat iman Haqiqatul Yaqin, yang dalam term al-Banjari disebut tawhid Dzat.

Ibn ‘Arabi memandang maqom fana` dan baqa` adalah maqom terakhir setelah seorang sufi melalui berbagai Maqom sebelumnya.[54] Dalam keadaan demikian manusia kembali kepada wujud aslinya, yakni Wujud Mutlak. Fana`dan baqa` adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenoena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fana` Shifat al-Haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqa` ) di dalam kesadarannya ialah wujud Yang Mutlak.[55] Ketika seorang sufi sudah mencapai peringkat fana` yang sepenuhnya, yang dirasakannya ada hanya Dzat Allah.[56] Dalam proses kembali ke asal, fana` dan baqa` , dalam pandangan Ibn ‘Arabiy, seorang sufi harus memulai dengan perjalanannya menuju tajalli perbuatan-perbuatan (tajalli al-Af’al) dengan memandang bahwa, kodrat Allah berlaku atas segala sesuatu. Dengan demikian, segala perbuatannya senantiasa terkendali di bawah kodrat Allah. Setelah itu, ia pun melintasi tajalli nama-nama dimana ia mendapat sinar dari asma Allah. Dalam taraf ini sufi memandang Dzat Allah sebagai pemilik nama-nama yang hakiki adalah Dzat Yang Maha Suci. Dengan demikian, satu demi satu dari nama-nama Allah itu memberikan pengaruh kepadanya.[57]

Menurut al-Ghazali, yang diperoleh seorang hamba dari nama-nama (asma’ Allah) adalah taalluh (penuhanan) yang berarti bahwa hatinya dan niatnya karam di dalam Allah, sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah.[58]

Musyahadah atau dalam tasawwuf disebut fana`, bagi al-Ghazali, merupakan derajat paling tinggi dimana seseorang hamba melihat hanya satu wujud.[59] Kemudian, sufi memasuki tajalli sifat-sifat, dimana ia diliputi oleh sifat-sifat Allah. Dalam tahapan ini sufi merasakan dirinya fana` di dalam sifat-sifat Allah, sehingga sifat-sifat dirinya sendiri dirasakannya sudah tidak ada lagi. Tahap tertinggi yang dicapai oleh sufi ialah ketika ia berada pada tajalli Dzat. Pada taraf ini sufi merasa dirinya sirna di dalam Dzat Yang Maha Mutlak sepenuhnya.[60]

Al-Ghazali tidak sepaham dan menolak ajaran penyatuan manusia dengan Allah (ittihad-nya al-Basthami, hulul-nya al-Hallaj, dan wihdat al-Wujud-nya Ibn ‘Arabi) sebagai puncak ma’rifat. Ia membatasi hanya sebatas pada fana` dalam arti lenyapnya akhlak tercela dan baqa’ dalam arti kekalnya akhlak terpuji seseorang hamba yang menuju Allah.

Keadaan fana` adalah keadaan seorang hamba yang secara lahiriah tidak sadarkan diri dalam tempo beberapa jam tetapi masih tetap hidup, hanya saja ruh robbani-nya sedang musyadah (menghadap Allah). Keadaan demikian oleh al-Ghazali dimaknai sebagai fana` dari diri sendiri yang membuat seseorang yang mengalaminya berada kondisi merasakan kehadiran Allah; dan tidak dapat membuka pandangan kecuali hanya kepada Allah. Kondisi demikian juga berakibat tidak sadarkan diri kecuali dari segi statusnya sebagai hamba semata. Itulah yang disebut fana` al-Nafs dan ‘ilm al-Haqiqi.[61]

g.WIHDAT AL-WUJUD, AL-ITTIHAD, AL-HULUL

Abu al-Qosim al-Junayd al-Baghdadi (w. 299 H.) adalah tokoh yang dianggap sebagai pelopor tasawuf yang terkenal dengan ajarannya tentang tawhid, ma’rifat dan mahabbah. Dialah imam dan guru para syekh sufi generasi sesudahnya.[62] Pengaruh Al-Junayd kemudian diikuti oleh Dzu al-Nun al-Mishri dan muridnya, al-Syibli. Menyusul kemudian Abu Sulayman al-Daroni (w. 205 H.), Ahmad bin al-Hawari, Abu ‘Ali al-Husain bin Manshur bin Ibrahim, Abu al-Hasan Sirr bin al-Mughlis al-Saqothy (w. 253 H.), Sahal bin ‘Abdullah al-Tusturi (w. 273 H.), Abu Mahfudz Ma’ruf al-Kurkhi (w. 412 H.), Muhammad bin al-Hasan al-Azdi al-Sullami, dan Muhammad bin al-Husein bin al-Fadhl bin al-‘Abbas Abu Ya’la al-Bashri al-Shufi (w. 368 H.).

Tokoh-tokoh terkenal pada masa awal adalah Thoyfur bin ‘Isa bin Adam bin Syarwan, Abu Yazid al-Busthami (w. 263 H.) pencipta al-Ittihad, Abu al-Faydh Tsawban bin Ibrohim Dzu al-Nun al-Mishri (245 H.) pencipta ma’rifat, al-Husein bin Manshur al-Hallaj (244-309 H.) pencipta al-Hulul, Abu Sa’id al-Khazzar (226 - 277 H.), Abu Abdullah bin Ali bin al-Husein (al-Hakim) al-Turmudzi (w. 320 H.), dan Abu Bakr al-Syibli (w. 334 H.). Tokoh—tokoh inilah yang berpengaruh besar lepada generasi sesudahnya seperti Dzu al-Nun al-Mishri. Dia murid ahli kimia Jabir bin Hiyan. Pada periode ini muncul terminologi mahabbah dan ma’rifat, maqam dan ahwal sufi. Muncul pula masalah-masalah yang menjadi kajian penting dalam dunia sufi yaitu ‘ilmu batHin dan ‘ilmu laduni, selain masalah ittihad.[63]

Masa sesudahnya tasawuf mulai dicampuri dengan falsafat Yunani. Maka, muncullah istilah-istilah al-Hulul, al-Ittihad, dan wihdat al-Wujud, serta al-Faydh dan al-Isyroq. Tokoh-tokoh berperan pada periode ini adalah Abu Mughits al-Husein bin Manshur al-Hallaj (244-309 H.), al-Suhrawardi (w. 578 H.), Abu Bakr Muhy al-Din Muhammad bin ‘Ali bin ‘Arabi al-Hatimi al-Tha’i al-Andalusi (560-638 H.) pencipta wihdat al-Wujud [64], Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Ali al-Hamwi atau Ibn al-Faridh (566- 632 H.), dan Quthb al-Din Abu Muhammad ‘Abd. Al-Haqq bin Ibrahim bin Muhammad bin Sab’in al-Isybili al-Mursi (614-669 H.).

Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.) pencipta kasyf, yang muncul anatara Abad V dan awal abad VI Hijriah, datang membawa perubahan baru di dunia sufi, dengan mengkompromikan budaya Persia kedalam Ahlussunnah. Dia sufi terkenal dalam bidang kasyf dan ma’rifat. Mulai abad V Hijriah sampai awal abad VII Hijriah muncul Thoriqh al-Qodiriyah (w. 561 H.) yang mendapatkan ijazah tasawuf dari al-Hasan al-Bashri dari al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Pada masa ini pula muncul istilah-istilah yang tidak lumrah (syath/sytathohat) dari Syihab al-Din Abu al-Futuh Muhy al-Din bin Husein al-Suhrawardi (459-587 H), Abu al-Fath Muhyiddin bin Husein (459-587 H.), dan Abdurrohim bin ‘Utsman (w. 604 H.). al-Suhrawardi berhasil memdofikasi pemikiran agama-agama Persia Kuno dan Yunani serta Neoplatonisme kedalam ajarannya tentang al-Faydh yang dijadikan karakter khusus Thoriqoh al-Suhrawardiyah seperti dalam kitab Hikmat al-Isyroqiyah, Hayakil al-Nur, al-Talwihat al-‘Arsyiyah, dan al-Maqomat. Dialah sufi pencipta madzhab isyraqiyah.[65]

Tasawuf al-Ghazali adalah termasuk tasawuf Sunni, bahkan di tangan al-Ghazali lah jenis tasawuf ini mencapai kematangannya. Lebih jauh Mahmud berpendapat bahwa para pemimpin Sunnî pertama telah menunjukkan ketegaran mereka dalam menghadapi gelombang pengaruh gnostik barat dan timur, dengan berpegang teguh kepada spirit Islam, yang tidak mengingkari tasawuf yang tumbuh dari tuntunan al-Qur'ân, yang selain membawa syari‘ah juga menyuguhkan masalah-masalah metafisika. Mereka mampu merumuskan tasawuf yang Islami dan mampu bertahan terhadap berbagai fitnah yang merongrong akidah Islam di kalangan sufi. Tasawuf Sunni akhirnya beruntung mendapatkan seorang tokoh pembenteng dan pengawal bagi spirit metode Islami, yaitu al-Ghazali yang menempatkan syari‘ah dan hakikat secara seimbang.[66]

Di tangan al-Gazali perkembangan tashawwuf sunni menjadi kian luar biasa. Berangkat dari pemahamannya yang memuaskan terhadap kajian fiqh, ushul fiqh dan ilmu kalam serta ketidakpuasannya terhadap metode pencarian kebenaran yang ditawarkan filsafat membuat konsep tasawuf Islam umumnya dan tashawwuf sunniy, khususnya menjadi demikian merangsang minat masyarakat. Konsep tasawuf dalam perspektif al-Ghazali adalah konsep tasawuf yang memadukan secara tepat antara fikih sebagai perwakilan aspek eksoteris dengan etika dan estetika sebagai perwujudan dari dimensi esoteris sebagaimana yang nampak dalam Ihya' `Ulum al-Din.

Mungkin yang tertinggal dari konsep tasawuf yang diketengahkan al-Ghazali adalah keengganannya untuk mengikutsertakan wacana-wacana filosofis. Bahkan dengan tegas al-Ghazali menyebutkan bahwa jalan ideal untuk mencapai kebenaran adalah perilaku tasawuf, bukan tindakan-tindakan filsafati. Dampak dari keengganannya melibatkan unsur-unsur filsafat, menjadikan tasawuf al-Ghazali nampak kurang greget di mata sebagian pakar tasawuf kontemporer. Namun pada akhirnya, sejarah tidak dapat memungkiri betapa besar jasa al-Ghazali yang metode bertasawufnya masih relevan dalam pergantian zaman.[67]

Memang bangunan tasawuf al-Ghazali tidak sepenuhnya dianggap demikian. Karena, dalam kenyataannya, pada masa sebelum al-Ghazali telah banyak tokoh sufi moderat yang telah berhasil mendamaikan antara tasawuf dan ortodoksi dan pada pasca al-Ghazali pun ternyata konflik antara tasawuf dan ortodoksi terus terjadi dan kadang-kadang justeru lebih keras dari pada yang terjadi sebelumnya.[68]

Sebelum al-Ghazali, sebenarnya Al-Muhasibi adalah penulis sufi pertama dari barisan terkemuka yang untuk sebagian besar membentuk pola seluruh pemikiran selanjutnya. Bagian terbesar tulisan al-Muhasibi berkenaan dengan disiplin diri (muhasabah) dan karyanya, al-Ri’ayah li Huquq Allah, secara khusus berpengaruh besar pada keputusan al-Ghazaliuntuk menulis Ihya’ ‘Ulum al-Dîn.[69]

Karya lain al-Muhasibi, Kitab al-Washaya (atau al-Nasha’ih) yang berisi rangkaian nasihat-nasihat tentang tema-tema kezuhudan cukup berpengaruh pada tasawuf al-Ghazali. Pengantar karya al-Muhasibi ini bersifat otobiografis, dan dengan baik sekali telah terkandung dalam pemikiran al-Ghazaliketika menulis al-Munqidz min al-Dhalal.[70] Osman Bakar[71] menguatkan bahwa, pada kenyataannya, ciri otobiografis al-Munqidz al-Ghazalitelah dibentuk pada bagian pengantar Kitab al-Washaya al-Muhasibi.[72]

Sufi moderat lain sebelum al-Ghazaliadalah Abu Nashr al-Sarraj (w. 378 H./988 M.). Ia merupakan salah seorang penulis teks tertua tentang tasawuf. Karyanya, Kitab al-Luma’, adalah sebuah buku yang sangat berharga mengenai pengantar doktrin-doktrin dan praktek-praktek para sufi, yang berisi banyak kutipan dari berbagai sumber. Karya al-Sarraj tersebut juga memberikan perhatian khusus pada ungkapan-ungkapan teknis kaum sufi di antaranya adalah ungkapan-ungkapan ekstatik Abu Yazid al-Busthami yang interpretasinya dikutip kata demi kata oleh al-Junaydi. Al-Sarraj menutup bukunya itu dengan uraian panjang dan terinci tentang kekeliruan-kekeliruan teori dan praktek yang dilakukan oleh beberapa sufi.[73]

Al-Sarraj hidup tak jauh dari masa keemasan al-Muhasibi dan al-Junaydi. Al-Sarraj juga telah berupaya dengan keras dan sungguh-sungguh membuktikan bahwa tasawuf sepenuhnya sesuai dengan al-Qur’an, Sunnah dan syari‘ah. Banyak sufi terkemuka menjadi muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.[74]

Sufi moderat lain yang sangat penting sebelum al-Ghazali adalah Abu Thalib al-Makki (w. 386 H./996 M.). Karya terkenalnya adalah Qut al-Qulub yang memiliki pengaruh besar bagi tulisan-tulisan tasawuf di masa setelahnya. Karyanya tersebut mengandung lebih banyak argumen yang berhati-hati dan lebih sedikit kutipan yang aneh namun sangat penting sebagai usaha pertama dan sangat berhasil untuk membangun desain menyeluruh tasawuf ortodoks. Sebagaimana al-Muhasibi, Abu Thalib al-Makki telah dipelajari secara hati-hati oleh al-Ghazali dan memberikan pengaruh yang besar atas cara pemikiran dan tulisan al-Ghazalidi mana ia banyak sekali bersandar kepada karya al-Makki ini.[75]

Al-Kalabadzi termasuk sufi moderat lain sebelum al-Ghazali. Karyanya yang terkenal dan dibaca banyak orang sampai kini serta menjadi kompedium yang paling berharga tentang tasawuf adalah al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf. Al-Kalabadzi telah berupaya menemukan suatu jalan tengah dan dapat mendamaikan ortodoksi dan tasawuf. Menurut A.J. Arberry bahwa al-Kalabadzi telah membuka jalan yang selanjutnya diikuti oleh seorang sufi yang merupakan teolog terbesar: Al-Ghazali, yang karyanya, Ihya’ ‘Ulum al-Dîn, akhirnya mampu mendamaikan yang skolastik dan yang mistik.[76]

Munculnya berbagai aliran yang membingungkan dan adanya pertentangan antara syari‘ah dan tasawuf pada abad III dan IV Hijriah mendorong Abu ‘Abd al-RaHman al-Sulami (w. 421 H./1021 M.) tampil memadukan aspek-aspek esoterik dan eksoterik Islam dan ia mampu menciptakan penggabungan dan saling ketergantungan antara tasawuf dan syari‘ah. Michael Chodkiewicz[77] mengatakan bahwa al-Sulami tidak hanya memadukan antara fikih dan tasawuf, tetapi juga antara beberapa disiplin dan kajian yang berlainan dalam tasawuf. Al-Sulami adalah orang pertama yang menulis tentang sejarah hidup para sufi yang sistematis melalui karyanya yang berjudul al-Thabaqat al-Shufiyyah. Karya al-Sulami yang lain adalah al-Futuwwah, sebuah buku kecil yang mengulas perpaduan antara syari‘ah dan tasawuf.[78]

Sufi lain sebelum al-Ghazali yang perlu disebutkan di sini adalah Abu al-Qasim al-Qusyayri (w. 465 H./1072 M.). Ia adalah sufi terkemuka dari Ahli Sunnah dan karyanya yang terkenal adalah al-Risalah. Kitab ini ditulis oleh al-Qusyayri didorong oleh rasa keprihatinannya atas penyimpangan yang ada dalam tasawuf, baik dari segi akidah maupun moral. Al-Risalah ditulisnya untuk mengembalikan tasawuf kepada jalur yang benar seperti tasawuf para guru golongan sufi yang telah membangun kaidah-kaidah mereka di atas prinsip-prinsip tawhid yang benar. Dengan kaidah-kaidah tersebut, mereka memelihara akidah-akidah mereka dari bid’ah dan dekat dengan tawhid kaum Salaf dan Ahli Sunnah. Karya al-Qusyayri tersebut memberikan gambaran umum yang cermat dan mengagumkan tentang ajaran dan praktek tasawuf dari sudut pandang seorang teolog Asy’ariyyah.[79]

Sufi moderat lainnya sebelum al-Ghazaliadalah Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Usman al-Hujwiri (w. 465 H./1072 M.). Ia adalah sufi Persia yang terkenal dengan karyanya yang berjudul Kasyf al-Mahjub.[80] Karyanya tersebut bertujuan untuk mengemukakan sebuah sistem tasawuf yang komprehensif, bukan hanya untuk menghimpun sejumlah ujaran para guru sufi, namun mendiskusikan dan menjelaskan juga tentang doktrin-doktrin dan praktek-praktek para sufi. Al-Hujwiri adalah seorang sufi Sunni dan pengikut madzhab Hanafi yang mencoba menjelaskan teologinya dengan satu corak tasawuf tingkat tinggi yang memberikan tempat utama bagi fana’. Namun, ia tetap bersikap moderat untuk menghindari kecenderungan pantheis. Ia sering memperingatkan para pembacanya agar tetap mentaati syari‘ah (hukum Islam) sebagaimana yang dicontohkan oleh semua sufi yang mencapai derajat kesucian yang tinggi.[81]

Sufi-sufi moderat sebelum al-Ghazali, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya mendamaikan tasawuf dan syari‘ah, dan mempertahankan ortodoksi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Pengaruh mereka atas perkembangan tasawuf di kemudian hari, khususnya di dunia Sunni, sangat besar. Karya-karya mereka dibaca secara luas oleh banyak orang Muslim, dan dikaji serta dikutip oleh banyak sufi dan ulama sesudah mereka[82] termasuk yang tampak dalam pemikiran dan karya-karya al-Ghazali.

Abad VII Hijriah tasawuf mulai memasuki Andalus sehingga lahirlah tokoh besar Syeikh al-Akbar Ibn ‘Arabi al-Tha’i (560–638 H.) dengan pemikirannya tentang al-Insan al-Kamil. Dialah tokoh pencipta wihdat al-Wujud yang mengklaim dirinya sebagai Khotam al-Awliya’. Karya-karyanya yang terrenal antara lain: al-Futuhat al-Makkiyyah, Fsuhsush al-Hikam, dan Ruh al-Quds. Di Turki muncul tokoh Jalal al-Din al-Rumi sang pencipta thariqah Mawlawiyah.

Tasawuf di abad VIII-IX Hijriah nyaris tidak mengalami perkembangan yang bermakna selain aktivitas men-syarah kitab-kitab karya ibnu ’Arabi dan ibn al-Faridh. Hampir tidak ada pemabaharuan dalam pemikiran di kalangan para sufi di abad ini. Tasawuf di era al-Rumi ditandai dengan pergumulan pemikiran kedua tokoh wujudiyah tersebut. Salah satu karya monumental dari abad ini adalah kitab karya ‘Abd. Al-Wahhab bin Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad al-Sya’rani (898-973 H/1492-1565 M.) yaitu al-Thabaqat al-Kubra’. Muhammad Baha’ al-Din al-Naqsyabandi (900-971 H./1317-1388 M.) muncul di abad ini sebagai tokoh pendiri thariqah al-Naqsyabandiyah thariqah yang di kemudian hari banyak diminati bangsa Indonesia.

Sufi yang terkenal sebagai pencipta dan penganut faham al-Wujudiyah adalah: Abu Yazid al-Basthami, Sahal bin ‘Abdullah al-Tusturi, al-Turmudzi (dikenal al-Hakim), ibnu ‘Atha’ Allah al-Sakandari, ibnu Sab’in, ibnu al-Faridh, al-Hallaj, al-Khathib, ibnu ‘Arabi, al-Rumi, al-Jily, al-‘Iraqi, al-Jami, al-Suhrawardi, dan Bayazid al-Anshari. Madzhab al-Hulul, Wihdat al-Wujud, dan al-Ittihad berkeyakinan bahwa, sufi dapat mengetahui hal-hal gaib sebagaimana Allah. Tujuan madzhab ini adalah mencapai maqam nubuwwah kemudian berakhir pada titik puncak tetinggi yaitu sampai kepada maqam uluhiyah dan maqam rububiyah. Karenya, didalam beribadah, sufi tidak memiliki tujuan mencari sorga dan menghindar dari neraka, melainkan semata-mata karena Allah sebagai dzat yang disembah dan untuk mencapai peleburan diri (fana’) dengan Allah; Inilah sorga para sufi yang sesungguhnya. Para sufi meyakini Nabi Muhammad SAW, seperti aqidah yang dianut Ibn ‘Arabi, adalah satu-satunya makhluk Allah yang telah sampai derajat uluhiyah dan bertahta di ‘arasy Allah SWT dan beliau adalah nur yang darinya tercipta semua ciptaan Allah.

H. Insan Kamil

Manusia dalam pandangan sufi merupakan pancaran Tuhan. Aliran unionisme adalah aliran menganut paham bahwa manusia adalah pancaran dari Tuhan dan memiliki sifat-sifat ketuhanan. Manusia atau hamba pada hakikatnya adalah sama dengan Tuhan. Paham ini bisa disebut sebagai paham kesatuan (kesamaan) antara hamba dengan Tuhan atau ittihad, hulul, wihdat al-Wujud atau juga kesatuan kawula-Gusti. Menurut paham ini hakikat manusia berasal dari limpahan cahaya Tuhan dan sehakikat dengan Dzat Tuhan. Maka Insan Kamil menurut paham union-mistik ini adalah manusia yang telah sanggup melepaskan ikatan materi (jasmaniah)-nya, sehingga memancarlah sifat-sifat ke-Tuhanan dalam dirinya, dan peri kehidupannya mencerminkan kehidupan Tuhan. Jadi, dalam aliran union-mistik teori tentang Insan Kamil diperkuat dengan teori asal usul manusia yang berasal dari pancaran Dzat Tuhan dan memang bersifat ke-Ilahi-an. Oleh karena itu, Insan Kamil berarti Tuhan yang nampak. Di antara tokoh aliran ini adalah Abu Yazid al-Busthami, Husein ibn Manshur al-Hallaj, Ibn al-‘Arabi dan termasuk ’Abd al-Karim al-Jili. [83]

Bagi fuqaha’, kesesatan kedua paham ini terjadi karena para pendukungnya cenderung sangat mementingkan dan mengunggulkan aspek esoterik Islam (tasawuf), bahkan terkesan meremehkan aspek eksoteriknya (syari‘ah). Sementara mutakallimun memandang bahwa keduanya sebagai paham sesat dan menyimpang dari akidah Islam karena keduanya mengajarkan satu ajaran tentang “penyatuan” dengan Tuhan, yang oleh al-Busthami dengan paham ittihad dan al-Hallaj dengan paham hulul-nya biasa diekspresikan dengan ungkapan-ungkapan yang dalam tradisi tasawuf disebut dengan istilah syathahat (teofani). Syathahat adalah penuturan atau ungkapan sang sufi yang menggunakan ungkapan simbolik dan padat akan makna. Syathahat juga merupakan suatu bentuk ekspresi pengalaman keruhanian seorang sufi ketika ia telah berada dalam keadaan ekstase (wajd). Dalam keadaan seperti ini ia telah mencapai tingkat ekstase mistik di dalam peringkatnya yang tinggi, dan pada kondisi itu pula ia sesungguhnya telah kehilangan kesadaran kemanusiaannya dan dikatakan telah mengalami perasaan “menyatu” dengan hadirat Allah swt. Keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang dicapainya memberi peluang kepadanya untuk menangkap suara yang timbul dari kedalaman pengalaman hatinya berupa ucapan-ucapan yang mendalam dan paradoks. [84]

Kaum sufi adalah komunitas unik. Tradisi, gaya hidup serta pandangan mereka serba eksklusif, serba berbeda dengan orang kebanyakan. Barangkali karena itulah sufisme menyisakan ruang yang cukup luas untuk diperbincangkan orang, ditelaah, dikaji dan bahkan dikritisi. Di antara sekian banyak keunikan dalam dunia sufi, adalah menarik jika kita mengamati ungkapan-ungkapan ambigu para sufi (syathahat) yang kerap membingungkan.

Al-Ghazali mengemukakan bahwa syathahat, terdapat dua macam. Pertama, ucapan yang muncul dari seseorang yang mengaku tenggelam dalam lautan ma’rifatullah, sehingga ia merasakan dirinya bersatu bersama Allah (ittihad). Dalam kondisi demikian, kata-kata kontroversial kerap terlontar. Al-Ghazali mengambil sampel kasus Ibn ‘Arabi yang mengatakan, Ana al-Haq (Allah) dan Abu Yazid al-Busthami dengan kata-katanya: Mahasuci aku, mahasuci aku. Kendati al-Ghazali tidak memungkiri status kasyf pada sufi sekelas Abu Yazid al-Busthami, hanya saja beliau menganggap kata-kata tersebut bisa berakibat fatal bagi kalangan awam dan berpotensi merancukan akidah mereka. Lebih tegas, al-Ghazali mengatakan, "Membunuh satu orang semacam ini dalam agama Islam lebih baik daripada tidak membunuh sepuluh orang. Kedua, ucapan yang sulit dipahami sebab pengucapnya sendiri tidak paham. Bisa jadi, ungkapan itu keluar dari asumsi yang keliru, atau pemahaman yang benar namun tidak mampu diungkapkan dengan bahasa yang bisa wajar. Akhirnya, ungkapan itu disalahpahami oleh orang lain dan timbullah fitnah.

Hampir senada dengan al-Ghazali, adalah pandangan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah. Ia mengatakan, terkadang seorang sufi mengungkapkan kata-kata yang diucapkan orang yang menyimpang akidahnya, tetapi dengan maksud yang benar. Kata-kata ini dapat menimbulkan fitnah kepada dua kelompok. Pertama, mereka yang hanya memandang sisi negatif dari kata-kata itu tanpa melihat kebaikan-kebaikan pengucapnya. Kelompok ini cenderung berburuk sangka. Kedua, kelompok yang hanya melihat kebaikan-kebaikan pengucapnya tanpa menghiraukan kebenaran kata-katanya. Kelompok ini cenderung terjerumus pada fanatik buta.[85]

Berbeda dengan al-Ghazali dan Ibnu al-Jauzi, adalah Ibn Atha' Allah al-Sakandari. Beliau tampak lebih apresisif terhadap keganjilan ungkapan-ungkapan sufi dan tidak sertamerta menyalahkan. ‘Atha’ Allah al-Sakandari menyatakan bahwa syathahat bisa jadi muncul dari luapan hikmah pada hati mereka yang tidak mampu tertampung, lepas dari kontrol dan kesadaran. Ini adalah keadaan salikin yang masih dalam proses suluk. Adakalanya hati mereka mampu menampung hikmah-hikmah itu, namun mereka meluapkannya untuk memberi petunjuk kepada murid. Ini adalah keadaan muhaqqiqin yang sudah mencapai puncak suluknya. Bagi Ibn ‘Atha’ Allah apabila ungkapan sufi itu bukan karena meluapnya hikmah dalam hati mereka, maka ungkapannya itu hanyalah bualan belaka, atau hati mereka dapat menampung hikmah-hikmah itu. Namun mereka meluapkannya bukan untuk memberi petunjuk kepada murid, maka berarti dia telah menebarkan rahasia-rahasia Tuhan yang sangat riskan untuk diungkapkan.

Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim bin Khalifah bin Ahmad bin Mahmud al-Jilli (767-826 H./1365 – 1428 M) terkenal dengan teori sufistiknya tentang al-Insan al-Kamil (manusia sempurna). Ia mengidentifikasikan insane kamil ini dalam dua pengertian. Pertama, dalam pengertian konsep pengetahuan tentang manusia yang sempurna. Kedua, terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama dan sifat-sifat Allah kedalam hakikat atau esensi dirinya. Menurutnya, manusia dapat mencapai kesempurnaan insaniyahnya melalui latihan rohani dan pendakian mistik. Latihan ini diawali dengan kontemplasi tentang nama dan sifat-sifat Allah. Kemudian masuk kedalam suasana sifat-sifat Allah dimana ia mulai melangkah menjadi bagian dari sifat-sifat tersebut dan beroleh kekuasaan yang luar biasa. Berikutnya, ia melintasi daerah nama serta sifat Allah, masuk kedalam hakekat mutlak menjadi “manusia Allah” atau insan kamil. Ketika itulah, matanya akan menjadi mata Allah, kata-katanya adalah kata-kata Allah, dan hidupnya menjadi hidup Allah. Kesemuanya ini didasarkan pada asumsi bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas, esensi murni yaitu Wujud Mutlak yang tak tergambarkan dan tergapai hakikatnya oleh segala pemikiran manusia yang fana’.

Wujud Mutlak itu kemudian ber-tajalli secara sempurna menjadi alam semesta. Baginya alam ini tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dalam ilmu Allah. Ketika dalam kesendirian-Nya, yang ada hanya dzat Allah satu-satunya (bandingkan dengan pemikiran kaum filsuf). Dalam tajalli ini, manusia idela adalah sintesis dari makrokosmos yang permanen sekaligus aktual, cermin citra Allah secara paripurna. Untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus melewati tahapan pendakian spiritual (taraqqi) dimulai dari pengamalan dan pemahaman syariat (rukun Islam) secara baik. Hal ini tentu dibarengi dengan keyakinan pada rukun iman yang kokoh. Dengan bekal keduanya, seorang sufi lantas dapat memasuki tingkat kesalehan (al-Shalih) dimana terdapat kontinuitas dalam menunaikan ibadah kepada Allah atas dasar khawf dan raja’. Dari al-Shalih, seseorang meneruskan pada tingkat al-Ihsan (kebajikan) yang terdiri dari tujuh maqam: tawbat, inabah, zuhd, tawakkal, ridha’, tafwidh, dan ikhlash. Pada tingkatan ini seseorang sudah mulai disinari oleh perbuatan-perbuatan Allah.

Beranjak dari tahapan ihsan, seorang sufi dapat mendaki ke tingkatan penyaksian (al-Syahadah) dimana hati dipupuk kemauan dan cintanya kepada Allah dengan senantiasa mengingat-Nya dan melawan segala bentuk hawa nafsu. Puncaknya, seorang sufi akan memasuki tingkat kebenaran (al-Shiddiqiyah) atau ma’rifat yang mempunyai tiga bentuk yaitu: ’ilmu al-Yaqin (dimana sufi disinari asma’ Allah), ’ayn al-Yaqin (dimana sufi disinari sifat-sifat Allah) dan haqq al-Yaqin (dimana sufi disinari dzat Allah. Dengan demikian, diri sufi akan fana’ di dalam asma’, sifat dan zat Allah. Setelah ma’rifat, seorang sufi dapat meneruskan ke maqam qurbah, yakni merangkak sedekat mungkin dengan Allah hingga sampai pada derajat al-Insan al-Kamil.

I. WIHDAT AL-ADYAN

Adalah sebuah aksioma bahwa Abd al-Karim al-Jili bukanlah founding father konsep wihdat al-Adyan (unity of religions). Al-Hallaj, Ibn ‘Arabi dan Jajal al-Din al-Rumi telah mendahului al-Jili dalam menawarkan gagasan pluralis ini. Secara sosiologis, konsep inklusif para raksasa sufi klasik ini menemukan relevansinya dengan tantangan realitas kultural pada masa silam. Al-Hallaj amat prihatin menyaksikan ekslusivisme kaum eksoterik dan intoleransi di tengah-tengah masyarakatnya. Di Baghdad, al-Hallaj melihat non-Muslim, sebagai masyarakat minoritas kelas dua, terus disubordinasikan oleh pemeluk Islam mayoritas. Untuk merespon fenomena itu, al-Hallaj menawarkan pluralisme agama sebagai solusi.

Pluralisme agama semakin niscaya untuk dipromosikan di masa Ibn Arabi dan Jalal al-Din al-Rumi. Perang Salib (1096-1270 M) dan ekpansi Mongol (1220-1300 M) membutuhkan respon filosofis untuk meminimalisir ketegangan-ketegangan yang terjadi. Namun, ketegangan dan ketidakharmonisan relasi antar umat beragama masih terus bergentayangan pada masa al-Jili. Pada titik nadir, relasi antar umat beragama terus diwarnai oleh sikap-sikap antagonis, bukan sinergis. Oleh karena itu, tak pelak jika al-Jili merasa terpanggil untuk meneguhkan kembali inklusivisme Islam.

Dalam konteks kekinian, ide-ide al-Jili masih relevan dipromosikan guna meredam konflik antar agama yang berkepanjangan dan untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh tesis Samuel P. Huntington, yakni benturan antar peradaban (clash of civilization). Huntington memprediksikan bahwa masa depan politik dunia pasca runtuhnya komunisme ditandai dengan benturan sengit antara peradaban Barat vis a vis Islam. Tesis ini mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan dan, sebagai jalan tengah, mereka mengajukan alternatif bahwa dialog antar agama adalah solusi produktif. Problem yang muncul kemudian adalah, sejauhmana dialog antar agama dapat dilakukan?

Al-Jili dan para sufi raksasa pendahulu, seperti al-Halaj, Ibn Arabi dan Rumi, telah menorehkan jejak dalam dialog spiritual dengan agama dan tradisi non-Islam. Seperti telah diuraikan sebelumnya, al-Jili memiliki pengalaman berinteraksi dengan tradisi non-Islam dalam ekspedisi ilmiahnya. Interaksi itu pula yang sejatinya ikut membentuk pandangan-pandangan pluralisnya. Dengan dialog spiritual, yang dibarengi dengan penghayatan esoteris terhadap doktrin-doktrin kepercayaan lain, al-Jili mampu melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama.

Al-Jili, dalam al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-AwAkhir wa al-Awa`il, bab hakikat agama-agama, mengebolarasi pluralisme agama secara komprehensif. Baginya, Allah menciptakan semua makhluknya demi sebuah motif keberhambaan. Al-Jili bertendensi pada ayat al-Quran Surat al-Dzariyat: 56 yang menegaskan bahwa semua makhluk-Nya diciptakan hanya untuk menyembah. Penganut Islam, Yahudi, Kristen, Shabi’ah, para filosof naturalis, Majusi, pengikut paganisme, heretik dan penganut keyakinan lainnya adalah para penyembah Tuhan, karena sejatinya Tuhan adalah eksistensi yang menapasi seluruh alam semesta. Varian praktik ritus diantara mereka tak lain merupakan manifestasi dari varian nama dan atribut Tuhan. Para pengikut rasul-rasul adalah para penyembah Tuhan sebagai representasi manifestasi nama Tuhan al-Hadi, pemberi petunjuk. Sementara para pembangkang ajaran rasul-rasul juga merupakan penyembah Tuhan sebagai representasi manifestasi nama Tuhan al-Mudhil, pemberi kesesatan. Manifestasi dari dua nama Tuhan itulah yang menyebabkan munculnya perbedaan keyakinan.

Secara teoritis, pluralisme agama muncul sebagai konsekuensi konsep wihdat al-Wujud yang mengandaikan bahwa setiap entitas adalah manifestasi Tuhan. Tuhan adalah Sang Kekasih yang meresapi setiap objek yang dicintai dan disembah. Patung-patung bagi kaum pagan, bintang-bintang bagi kaum Shabiah, Yesus Kristus bagi umat Kristiani dan objek-objek sesembahan lainnya adalah manifestasi Tuhan. Tuhan dapat disembah melalui patung, Yesus, bintang-bintang dan lain sebagainya. Kesalahan orang Kristen, pagan dan Shabi’ah tidak terletak pada penyembahan terhadap objek-objek tersebut, melainkan terletak pada penyembahan yang dibatasi hanya pada objek-objek tertentu, padahal Tuhan sejatinya senantiasa mewujud dalam setiap eksistensi. Dalam al-Nadirat al-‘Ayniyyah, al-Jili menggubah syair untuk mengekspresikan pandangannya dalam persoalan ini. Tidak ada eksistensi di dunia ini kecuali Tuhan berada di belakangnya. Tidak ada eksistensi kecuali ia adalah Sang Terdengar sekaligus Sang Pendengar.

Teori ini mengakibatkan keterleburan dan keterlarutan transendensi Tuhan dalam imanensi makhluk-Nya, bahkan transendensi-Nya terkesan tergerus. Pemikiran inilah yang membedakan antara Ibn Arabi dengan al-Jili, dimana panteisme mengambil bentuk yang sangat transparan dalam kerangka konsepsional al-Jili. Alih-alih tabu, panteisme al-Jili justru muncul sebagai amukan-amukan esoteris yang vulgar.

BAB II

Dzu al-nun al-Misri (w. 245 H. 877 M.);

Pencipta teori ma’rifat

Abu al-Faydh Tsawban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari (.....–245 H./772-877 M.) yang dijuluki Shahib al-Hut (pemilik ikan). Ia dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma’rifat. Ma’rifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ‘ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa kalangan sufi membedakan jalan sufistik kedalam tiga macam yaitu: makhafah (jalan kecemasan dan penyucian diri, mahabbah (jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri dan ma’rifah (jalan pengetahuan).

Menurutnya, ma’rifah adalah keutamaan atau anugerah semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Allahnya, maka semakin pula ia dekat, khusyu’ dan mencintai-Nya. Ia termasuk meyakini bahwa ma’rifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat dengan syari’at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesame, seorang ‘arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan keadilan.

Hakikat ma’rifat bagi Dzun al-Nun al-Misri adalah al-Haq itu sendiri. Yakni, cahaya mata hati seorang ‘arif dengan anugerah dari-Nya sanggup melihat realitas sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada tingkatan ma’rifat, seorang ‘arif akan mendapati penyingkapan hijab (kasyf al-hijab). Dengan pengetahuan inilah, segala gerak-gerik sang ‘arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah. Dzunun menegaskan bahwa, “Aku ma’rifat pada Allahku sebab Allahku, andaikata bukan karena Allahku, niscaya aku tidak akan ma’rifat kepada-Nya.”

Ia membagi ma’rifat menjadi tiga macam. Pertama, ma’rifat al-tauhid, yakni doktrin bahwa seorang mu’min bisa mengenal Allahnya karena memang demikian ajaran yang telah dia terima. Kedua, ma’rifat al-Hujjah wa al-Bayan, yakni ma’rifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk kongkritnya, mencari dalil atau argument penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Allah. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya ma’rifat tersebut. Ketiga, ma’rifat sifat al-Wahdaniyah wa al-Fardhiyah, yakni ma’rifat kaum muqarrabin yang mencari Allahnya dengan pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadhl (limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Allah dengan manusia). Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan bukannya akal.



[1] Dzahir, Ihsan Ilahi, al-Tashawwuf al-Mansy’ wa al-Mashadir, Lahor, Syabkah al-Dif’ ‘an al-Sunnah, 1987/1941, 45.

[2] Dzahir, Ihsan Ilahi, al-Tashawwuf al-Mansy’ wa al-Mashadir, Lahor, Syabkah al-Dif’ ‘an al-Sunnah, 198, 6.

[3] Bakir, Abu al-’Azayim Jad al-Karim, Shuwar min al-Shufiyah, 2006, 4.

[4] Aydin, Feriduddin, Mawqif ibn ‘Abidin min al-Sufiyyah wa al-Tassawwuf, Istambul, 1993, 31

[5] Diantara kitab yang jelas-jelas senuhnya berisi kritik negatif terhadap sufi (khususnya ibnu ‘Arabi, al-Hallaj dan ibn al-Faridh) dan seluruh ajarannya adalah kitab Mashra’ al-Tashawwuf. Selain karya-karya ibn Taymiyah dan para pengikutnya.

[6] Aydin, Feriduddin, Mawqif ibn ‘Abidin min al-Sufiyyah wa al-Tassawwuf, Istambul, 1993, 27.

[7] Farid, Ahmad, al-Tazkiyyah bayn Ahl al-Sunnah wa al-Shufiyah,24.

[8] Dzahir, Ihsan Ilahi, al-Tashawwuf al-Mansy’ wa al-Mashadir, Lahor, Syabkah al-Dif’ ‘an al-Sunnah, 1987, 45

[9] Dzahir, Ihsan Ilahi, al-Tashawwuf al-Mansy’ wa al-Mashadir, 46.

[10] Rabithah adalah salah satu bentuk tradisi thariqah sufi yang diadopsi dari agama Majusi di Persia (Aydin, Feriduddin, Mawqif ibn ‘Abidin min al-Sufiyyah wa al-Tassawwuf, 11).

[11]Aydin, Feriduddin, Mawqif ibn ‘Abidin min al-Sufiyyah wa al-Tassawwuf, Istambul, 1993, 32-33.

[12] Ibn Taimiyah, Majmu’at al-Rasa’il wa al-Masa’il, ed. Rasyîd Ridhâ’, Kairo, t.p., t.th., vol. 1, hal. 179.

[13] al-Saraj, al-Luma’, Kairo, Dar al-Kutub al-Hadisah, 1380 H./1960 M.,19 dan 40; al-Qusyairi, Abu al-Qasim, al-Risalah al-Qusyairiyah, Kairo, 1972, 20-21; Abu Nu’aim, Hilyat al-Awliya’, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980,I, 21-28.

[14] al-Kalabadzi, Abu Bakr Muhammad, al-Ta‘arrûf li Madhab Ahl al-Tashawwuf, Kairo, al-Halabi, 1380 H./1960 M., 33-82.

[15] al-Kalabadzi, al-Ta‘arrûf li Madhab Ahl al-Tashawwuf, 84-86; al-Saraj, al-Lumâ’, 105-146.

[16]al-Saraj, al-Luma, Kairo, Dar al-Kutub al-Hadisah, 1380 H./1960 M.,19 dan 40. al-Qusyairi, Abu al-Qasim, al-Risalah al-Qusyairiyah, Kairo, t.k., 1972, 20-21; Abu Nu’aim, Hilyat al-Awliya’, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980,I, 21-28.

[17]Muhammad ‘Abd al-Haqq al-Anshari, Antara Sufisme dan Syari’ah, 89.

[18] Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis, 267-268.

[19] al-Huseini, Iqodz al-Himam fi Syarh al-Hikam, 44.

[20] al-Huseini, Iqodz al-Himam fi Syarh al-Hikam, 44.

[21] al-Ghazali, Rawdhat al-Thalibin wa ’Umdat al-Salikin, 14.

[22] al-Fawzan, Haqiqat al-Tasawuf wa Mawqif al-Shufiyah min Ushul al-Din wa al-‘Ibadah, h. 8.

[23]Farid, Ahmad, al-Tazkiyyah bayn Ahl al-Sunnah wa al-Shufiyah, 11.

[24] Farid, Ahmad, al-Yazkiyyat bayn Ahl al-Sunnah wa al-Shufiyah, 11.

[25] Farid, Ahmad, al-Yazkiyyat bayn Ahl al-Sunnah wa al-Shufiyah,23-24.

[26] Bakir, Abu al-’Azayim Jad al-Karim, Shuwar min al-Shufiyah, 2006, 4.

[27] Bakir, Abu al-’Azayim Jad al-Karim, Thalai’ al-Shufiyah, 2006, 20.

[28] Aydan, Farid al-Din, al-Thariqah al-Naqsyanadiyah bayn Madhih wa Hadirih, 65

[29] al-Sayuthi, Jalal al-Din, al-Jami’ al-Shaghir, 109.

[30] Ibn ‘Arabi, Rasail ibn ‘Arabi, 520.

[31] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya di Dunia Islam., 226.

[32] al-Ghazali, Misykat al-Anwar, h. 113-114; al-Ghazali, al-Jawahir, Kairo, 1345, 103-105.

[33] Martin Lings, Syaikh Ahmad al-‘Alawi Wali Sufi Abad 20, terj., Badung, Mizan, 1993, 127.

[34] al-Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif, Indonesia, Makatabah Usaha Keluarga Semarang, t.th., 301.

[35] al-Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif, 384.

[36] al-Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif, 8-9.

[37] al-Ghazali, Kimia’ al-Sa’adah, Beirut, Dar al-Fikr, 1996, 9-10.

[38] al-Ghazali, Ihya` ‘Ulum al-Din, Juz I, Surabaya, Salim Nabhan wa Awladih, t.th., 230.

[39] al-Buniy, Ahmad bin Ali, Imam, Syams al-Ma’arif al-Kubra wa Lathaif al-‘Awarif, J. III, Beirut, Maktabat al-Sya’biyah, t.th., 436.

[40] al-Buniy, Syams al-Ma’arif, 454.

[41] Syattâ, Abû Bakr ibn Muhammad, Menapak Jejak Kaum Sufi, terj., Surabaya, Dunia Ilmu, 1997, 351.

[42] Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili, Yakarta, Paramadina, 1977, 192.

[43] Nicholson, Fi al-Tasawwuf al-Islamiy wa Tarikhuh, 23.

[44] Ali, Yunasir, Manusia Citra Ilahi, 79.

[45] Syata, Abu Bakr ibn Muhammad, Menapak Jejak Kaum Sufi, terj., Surabaya, Dunia Ilmu, 1997, 344.

[46] Ibid., h. 345-146.

[47] al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz I, Surabaya, Salim Nabhan wa Awladih, t.th., 230.

[48] al-Ghazali, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Salikin., 223.

[49] al-Ghazali, Abu Hamid, Kimiya’ al-Sa’adah, Beirut, al-Maktabat al-Syi’biyah, t.th., 130-132.

[50] al-Ghazali, Kimiya’ al-Sa’adah, 130.

[51] al-Naqsyabandi, Jami’ al-Ushul fi al-Awliya’ wa Anwa’ihim wa Awshafihim wa Ushul Kull Thariq wa Muhimmat al-Murid wa Syuruth al-Syaykh wa Kalimat al-Shûfiyah wa Ishthilahihim wa Anwa’ al-Tashawwuf wa Maqamatihim, Mesir, Dar al-Kutub al-’Arabiah al-Kubra, t.th., 211.

[52] ibn ‘Arabi , Futûhat al-Makkiah, J.II, 384-385.

[53] al-Banjari, Muhammad Nafis, Durr al-Nafis, Singapura, Haramain, t.th., 23-24.

[54] ibn ‘Arabi , Fushûh al-Hikam, 366-367.

[55] Nichlosn, R.A., Fi al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhih, ed. Afifi, Kairo, Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr, 1969, 23-25.

[56] Nichlosn, Fi al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhih, 173.

[57] ibn ‘Arabi , Fushûh al-Hikam, 56-70.

[58] al-Ghazali, al-Maqashid al-Asna, Kairo, Dar al-Fikr, 1322, h. 38.

[59] al-Ghazali, Ihya` ‘Ulûm al-Din, J. IV, 244.

[60] ibn ‘Arabi , Fushûh al-Hikam, 70-72.

[61] al-Ghazali, Ihya’ Ulûm al-Din, J. IV, 256.

[62] al-Thabaqat al-al-Shufiyah, 31.

[63] Ibn Taymiyah, Majma’ al-Fatawa, juz I, h. 363

[64] Ibn ‘arabi adalah termasuk tokoh yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh para guru thariqah al-Naqsyabndiyah karena keutamaan-keutamaan dan karamah yang dimilikinya (al-Khani, Muhammad bin ‘Abdullah, al-Bahjah al-Saniyah fi Adab al-Thariqah al-Naqsyabandiyah, 56).

[65] Bakir, Abu al-’Azayim Jad al-Karim, Thalai’ al-Shufiyah, 2006, 17

[66] Mahmud, ‘Abd al-Qadir, al-Falsafah al-Shufiyyah fi al-Islam, Kairo, Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1967, 1 dan 151; M. Zurkani, Jahja, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, . 218-219.

[67] Umaruddin, M., The Ethical Philosophy of al-Ghazzali, New Delhi,1996, 123-156.

[68] Noer, Kautsar Azhari , Tasawuf Perenial, 198-201.

[69] Noer, Kautsar Azhari, Tasawuf Perenial, 191.

[70] Arberry, A.J., Sufism: An Account of the Mystics of Islam, London, George Allen & Unwim Ltd., 1979, 46-47.

[71] Bakar, Osman, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science, Malaysia, Nurin Enterprise, 1991

[72] Noer, Tasawuf Perenial, 191.

[73] Noer, Tasawuf Perenial, 192-193.

[74] Noer, Tasawuf Perenial, 193.

[75]Noer, Tasawuf Perenial, 193-194

[76]Noer, Tasawuf Perenial, 194-195.

[77] Michael Chodkiewicz, “Pengantar”, dalam Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulamî, Futuwwah: Konsep Pendidikan Kekesatiaan di Kalangan Sufi, terj., Bandung, al-Bayan, 1992, 9.

[78] Noer, Tasawuf Perenial, 195-196.

[79] Noer, Tasawuf Perenial, 196.

[80] Sistematika karya al-Hujwirî, Kasyf al-Mahjûb, sebagian didasarkan pada Kitab al-Luma’ karya al-Sarraj dan kedua kitab ini serupa dalam rancangan umumnya, dan rincian-rincian tertentu dalam karya al-Hujwirî jelas dipinjam dari karya al-Sarraj. (Nicholson, “Pengantar Penerjemah”, dalam al-Hujwirî, Kasyf al-Mahjub: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M., (Bandung: Mizan, 1993, 12).

[81] Noer, Tasawuf Perenial, 197.

[82] Noer, Tasawuf Perenial, 197-198.

[83] Simuh, “Konsepsi tentang Insan Kamil dalam Tasawuf” dalam al-Jami’ah, No. 26, Tahun 1981, . 58-61.

[84] Thawil, Tawfiq, Ushush al-Falsafah, Kairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1979, 364; ‘Abd al-Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Shufiyyah fî al-Islam, Kairo, Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1967,

[85] Ali, Sayyid Nur bin Sayyid, al-Tasawwuf al-Syar’i.

0 Response to " "

Posting Komentar