MA’RIFATULLAH

Ma’rifatullah

SUTEJO IBNU PAKAR

Tahapan puncak spiritual sufi ialah ketika ia mencapai ma’rifat dan mahabbah, sebagai pelukisan betapa dekatnya hubungan dengan Tuhan. Mahabbah melukiskan keakraban dalam bentuk cinta, sedangkan ma’rifat melukiskan keakraban dalam bentuk Musyahadah (melihat Tuhan) dengan hati sanubari.[1] Ma’rifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. “Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya”.[2]

Ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Ma’rifat bukan hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Alat untuk memperoleh ma’rifat oleh kaum sufi disebut sirr.[3] Ma’rifat melukiskan keakraban dalam bentuk Musyahadah (melihat Tuhan) dengan hati sanubari.[4]

Kesempurnaan ma’rifat ialah dengan mengetahui asma Allah, tajalli Allah, taklif Allah terhadap hamba-Nya, kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta, mengetahui diri sendiri, alam akhirat, sebab dan obat penyakit batin.[5] Menurut al-Ghazali tingkat ma’rifat tertinggi yang harus dicapai seorang sufi adalah memandang Allah secara langsung dengan mata hati yang terbebas dan bersih dari segala kecenderungan terhadap duniawi.

Musyahadah yakni menghayati alam gaib dan bertatapan secara langsung dengan wajah Allah melalui pengalaman kejiwaan sewaktu dalam keadaan fana` fi Allah adalah tujuan utama tasawwuf.[6] Tujuan utama para sufi, tidak lain menghayati ma’rifat langsung bertatap muka dengan Allah, atau bahkan bila mungkin bersatu dengan-Nya.[7] Rabi’ah berusaha memalingkan secara drastis tujuan hidup ummat Islam. Ibadah tidak lagi didasarkan pada motif atau perasaan takut akan siksa neraka dan mengharapkan pahala atau sorga. Ibadah semata-mata bertujuan untuk ma’rifat dan melihat keindahan wajah Allah secara langsung bertatap muka alias Musyahadah.[8]

Penguasaan ilmu gaib (kasyf) dan ma’rifat pada Dzat Allah merupakan kebanggan dan kebesaran sufi dari segala-galanya. Maka, apa pun saja selain Allah adalah hijab atau penghalang yang menjadikan buram serta mengotori hati manusia untuk dapat melihat Allah.[9] Untuk mencapai penghayatan ma’rifat dimaksud sufi disyaratkan menjalankan laku fakir (faqr) dalam arti mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah.[10]

B. Alat Ma’rifat

Musyahadah merupakan martabat tertinggi seorang salik dan tahapan aqidahnya telah mencapai aqidah yang sebenar-benarnya (haqiqah al-Iman) [11] karena hatinya telah mampu mengalami peristiwa yang disebut kasyf atau mukasyafah.[12] Dalam kajian tasawwuf, pengalaman tersebut tidak dapat dirasakan kecuali dengan dzawq.[13] Kemampuan intuitif atau dzawq, menurut Abdul Shamad Palimbani, dapat dilalui seseorang yang telah mampu melalui empat tahapan pengendalian nafsu (nafs al-Ammarah, nafs al-Mulhamah, nafs al-Muthmainnah, nafs al-Radhiyah, nafs al-Mardhiyah dan nafs al-Kamilah).[14] Sedangkan ma’rifat yang sebenarnya, menurut Palimbani, adalah tahapan fana`. Fana` dan baqa` adalah sirnanya tabiat kemanusiaan (basyariyah) bersama segala identitasnya dan bekasnya dalam wujud Tuhan. Atau, sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, sehingga yang benar-benar ada secara hakiki dan abadi didalam kesadarannya ialah Wujud Yang Mutlak. [15] Seorang sufi yang telah mencapai kesadaran puncak mistis inilah yang menduduki peringkat insan kamil. [16]

C. Tangga Ma’rifat

Penghayatan ma’rifat memuncak sampai yang demikian dekatnya dengan Allah sehingga ada segolongan mengatakan hulul, segolongan lagi mengatakan ittihad, dan ada pula yang mengatakan wushul (sampai ke tingkat Tuhan). Kesemuanya itu (hulul, ittihad, ataupun wushul) dalam pandangan Al-Ghazali adalah merupakan kesalahan memaknai ma’rifat. [17] Ma’rifat sebenarnya hanya sampai pada fana` (ecstasy) yang tengah-tengah, yang masih menyadari adanya perbedaan fundamental antara manusia dan Tuhan yang transenden, mengatasi alam semesta. Yaitu hanya sampai penghayatan dekat dengan Tuhan (qurb), sehingga kesadaran diri sebagai yang sedang ma’rifat tetap berbeda dengan Tuhan yang dicintai (al-Mahbub).

Mahabbah menghasilkan rindu dendam (syawq), yakni perasaan ingin bertemu dengan yang dicintai. Perasaan demikian baru mereda dan berubah menjadi kegembiraan ketika yang dicintai telah dapat ditemukan.[18] Setelah itu kemudian Maqam sama’ yakni mendengarkan segala sesuatu yang dapat mengantarkan orang yang sedang dalam kerinduan kepada Yang Didindunya, yakni Allah, sehingga pada suatu waktu ia tenggelam (fana`) dalam Yang Dirindukannya itu.[19]

Tujuan utama dan idealisme tasawwuf telah diungkapkan Rabi’ah. Bahkan ruh utama pendorong kehidupan batiniah para sufi juga telah dijelaskan secara indah dan jitu olehnya, yaitu cinta rindu yang penuh emossional terhadap Allah. Cinta rindu pendorong kegandrungan untuk bertatap muka dan ber-asyiq masyuq atau bahkan kalau mungkin bersatu dengan Allah, Dzat Yang Dicintai. Cinta rindu (syawq) yang menimbulkan kegelisahan hatiantara takut dan harap yang memuncak dalam penghayatan mabuk (sukr) yang disebut uns adalah ruh kehidupan batin para sufi.

Seorang salik yang telah mampu mencapai ma’rifat, berarti telah mendapatkan anugerah dari Allah. Ia mengalami hidup di alam yang serba tenang dan tentram. Oleh karenanya, ia tidak menginginkan lagi kehidupan duniawi yang serba hiruk pikuk, karena hawa nafsunya yang mempengaruhi jalan hidupnya telah ia kuasai sepenuhnya. Pada saat itulah, ia kembali ke asal hidupnya semula di hadirat Ilahi untuk sementara. Ia telah berada dalam suasana hidup ruhaniah, yang antara lain ditandai dengan hilangnya rasa was-was di dalam hati yang lantas membawa ketentraman batin, kemudian dengan segala keyakinan dan ketulusan hati menyerah dan menyandarkan diri kepada takdir Ilahi. Dengan demikian, ia menghayati Allah dengan keyakinan yang paling tinggi, yaitu Haqiqat al-Yaqin. Dalam keadaan demikian, ia telah mencapai Maqam istigraq alias fana` dan baqa` .

Karena itu, kesempurnan seorang sufi belum tercapai dengan cara-cara : pengasingan diri dari segala kesibukan hidup kemasyarakatan (‘uzlah), dan berdzikir mengingat Allah. Bahkan ketika terlibat dalam arus kehidupan dunia nyata ini memancarkan asma Allah yang Mulia melalui amal perbuatan nyata sehingga keesaan Allah Yang Mutlak dapat dipandang sebagai keanekaragaman yang memenuhi alam kehidupan yang dipandang dalam keesaan Mutlak.[20]

D. Memelihara Ma’rifat ?

Seorang salik yang telah mencapai tingkatan ‘arif billah dituntut kemantapan dan konsistenisnya (al-Quwwat fi al-Istiqomah) secara batiniah, tidak boleh mengaku atau mengada-ada suatu tingkatan yang belum ia capai. Ketidak jujuran batin akan menyebabkan murka Allah dan ia akan kembali ke derajat orang kebanyakan. Tetapi, bila sudah mengalami ma’rifat benar-benar, ia boleh memberitahukannya kepada orang lain yang dapat memahaminya, namun merahasiakan adalah lebi baik daripada membukanya.

Seorang salik yang telah mencapai tingkat ma’rifat, dimungkinkan akan mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang dianggap aneh dan menyimpang dari syari’at oleh orang kebanyakan atau orang-orang yang tidak memahami ajaran para sufi. Ungkapan dimaksud dalam dunia tasawwuf lazim disebut syath atau syathahat. Ungkapan-ungkapan Abu Yazid al-Basthami (yang mengaku Tuhan berbicara dengan melalui lisannya) ketika ia mengalami fana`. Ungkapan tersebut masih sebatas pemberitahuan tingkat dan derajatnya sebagai hamba yang sudah ma’rifat, yang mengkalim dirinya sudah menembus ‘alam malakut, ‘alam jabarut, ‘alam ruh, ‘alam akhirat dan ‘alam amr.

Namun demikian, al-Ghazali menyarankan hendaknya seorang sufi menjaga akhlak kesufiannya dengan tetap berpegang teguh kepada syari’at dan tidak mengeluarkan kata-kata yang mengandung maksud-maksud lazimnya ungkapan syathahat. Seorang salik yang telah mencapai tingkatan ma’rifat harus bekerja keras mengolah batin meskipun tanpa bimbingan guru, maka ia harus faham benar berbagai tanda-tanda batin lalu mempertebal rasa yakin kepada Allah, seraya mempertinggi kewaspadaan dan menyempurnakan dzikrullah.

Di kalangan para sufi manusia mempunyai arti penting sebagai pusat kosmos atau gambaran mikrokosmos. Setiap diri manusia menyandang gelar terhormat sebagai khalifah fi al-Ardh, wakil atau utusan Allah di bumi. Oleh karena itu, sufi menganggap bahwa pada diri manusia dapat ditemukan ayat-ayat kekuasaan Allah. Dengan mengkaji diri inilah selanjutnya manusia dapat mendekatkan diri (qurb) dengan Allah.

Al-Ghazali mengajarkan tentang tiga tingkatan jiwa (nafs) manusia (ammarah, lawwamah dan muthmainnah) yang berakhir dengan ketentraman dan kemantapan menerima segala keadaan yang dihadapi dalam hidup ini. Menurut al-Ghazali, sebelum mencapai derajat muthmainnah, jiwa manusia mempunyai dua tingkatan. Pertama, disebut al-Nafs al-Lawwamah yaitu jiwa yang menyesali diri sendiri. Kedua, al-Nafs al-Ammarah yaitu jiwa yang selalu menyuruh berbuat keburukan dan kejahatan.[21]

Jiwa yang dimaksud al-Ghazali adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifah rabbaniyah) yang menjadi hakikat manusia.[22] Jiwa itulah yang mengetahui Allah, mendekati-Nya, berbuat untuk-Nya, berjalan menuju kepada-Nya, dan menyingkapkan apa yang ada pada dan di hadapan-Nya. Jiwa itulah yang akan diterima oleh Allah.[23]

Pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan sebagaimana yang dilakukan para ulama sufi, yakni dengan mengolah dan mengendalikan nafsu yang akan merintangi dan menghalangi kesempurnaan manusia sebagai hamba dan khalifah Allah yang harus kembali ke asalnya, Dzat Yang Maha Suci. Maka, setiap orang harus melalui tahapan-tahapan tertentu yang dimulai dengan tawbat nasuha. Taubat ini harus dilakukan dalam keadaan khalwah selama enam tahun. Tawbat, dalam Jami’ al-Ushul fi al-Awliya’ wa Anwa’ihim wa Awshafihim wa Ushul Kull Thariq wa Muhimmat al-Murid wa Syuruth al-Syaykh, diklassifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu tawbat orang kafir, tawbat orang fasiq dan tawbat orang mu’min. Tawbat orang mu’min dibagi menjadi tawbat khash dan tawbat khawash al-Khawash. Tawbat yang terakhir adalah tawbat para wali. Tawbat itu dilakukan dengan cara membaca istighfar sebanyak 70 kali dalam sehari, berpuasa selama tiga hari berturut-turut, shalat tawbat sebanyak dua raka’at, serta menghilangkan segala sesuatu selain Allah dari dalam hati.[24] Tawbat tersebut dilakukan dengan cara berkhalwah. Sebelum melakukan khalwah hendaknya seseorang mempersiapkan diri dengan kemantapan dalam laku zuhud dan yaqin ‘ala Allah. Diharapkan manusia dapat mendekati dan merasa dekat dengan Allah.[25]

Konsepsi kedekatan (qurb) dengan Allah melahirkan perspektif yang berbeda di antara para tokoh sufi. Nuansa perbedaan itu kemudian mengambil bentuk atau jargon yang berbeda-beda, misalnya ada yang megambil istilah ittihad, fana` dan baqa`, hulul dan ma’rifat.[26] Bagi al-Ghazali, konsep qurb bukan berarti ittishal, ataupun hulul. Keduanya dianggapnya sebagai paham yang sesat.[27] Metode yang dapat ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah, dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, ia berusaha menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya sehingga yang muncul hanyalah sifat-sifat Allah. Inilah yang dimaksud dengan fana` Shifat al-‘Abid fi Shifat Allah. Kedua, ia berusaha menghancurkan perasaan dan kesadaran akan adanya alam, bahkan dirinya juga, sehingga ia tidak lagi melihat, kecuali wujud Allah semata. [28]

e. Penutup

Tasawwuf bemula dari amalan-amalan praktis, yakni laku mujahadah dan riyadhoh, atau dari keinginan mencari jalan agar bertemu muka (Musyahadah) secara langsung dengan Tuhan. Tujuan tasawwuf, ialah sampai pada Dzat Yang Haq atau Yang Mutlak, atau bahkan bersatu dengan Dia. Para sufi tidak akan sampai pada tujuannya terkecuali dengan laku mujahadah yang dipusatkan untuk mematikan segala keinginannya selain kepada Allah, dan menghancurkan segala kejelekannya dan menjalankan bermacam riyadhoh yang diatur dan ditentukan oleh para sufi sendiri.[29]

Essensi tasawwuf adalah berusaha dengan sungguh-sungguh memutuskan keinginan-keinginan terhadap keindahan kehidupan duniawi. Pertama-tama yang sangat penting dijalankan calon sufi atau seorang salik, adalah mensucikan hati secara total terhadap apa saja selain Allah, dan pada akhirnya bila sang salik dapat menjalankannya dengan baik, sampailah ia kepada Maqam ma’rifatullah.[30]

Ma’rifatullah itu bukan semata-mata buah dari kontemplasi spekulatif tentang Allah, melainkan berkat latihan-latihan spiritual (riyadhoh) yang dilakukan melalui praktek tarekat shufi.[31] Ma’rifat memang merupakan kenikmatan dan kelezatan terbesar, sebagai karunia Allah. Hati yang sudah ma’rifat kepada Allah selalau merasakan kebahagiaan dan sekaligus selalu tidak sabar ingin segera berjumpa dengan Dia (Allah). Ma’rifatullah adalah nikmat yang tidak pernah berhenti, karena hati tidak pernah rusak..[32] Allah A’lam bi al-Showab.



[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistcisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 68.

[2] Ibn ‘Arabi , Fushûh al-Hikam, J. II, h. 101.

[3] Harun Nasution, , Falsafat dan Mistcisme dalam Islam ., h. 68-69.

[4] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam., h. 68.

[5] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam., h. 299-319.

[6] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam., h. 30.

[7] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam., h. 32.

[8] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam., h. 31.

[9] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam., h. 32.

[10] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam., h. 32.

[11] Ahmad bin Ali al-Buniy, Imam, Syams al-Ma’arif al-Kubra wa Lathaif al-‘Awarif, J. III, (Beirut : Maktabat al-Sya’biyah, t.th.), h. 436.

[12] Ibid., h. 454.

[13] Syattâ, Abû Bakr ibn Muhammad, Menapak Jejak Kaum Sufi, terj., Surabaya, Dunia Ilmu, 1997, h. 351.

[14] Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilii (Jakarta : Paramadina, 1977), h. 192.

[15] R.A. Nicholson, Fi al-Tasawwuf al-Islamiy wa Tarikhuh, h. 23.

[16]Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili., h. 79.

[17] al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, h. 32.

[18] Ibnu ‘Arabi, Fushush al-Hikam., h. 364.

[19] Ibnu ‘Arabi, Fushush al-Hikam., h. 366-367.

[20] al-Ghazali, Ihya’, J. III, h. 186.

[21] al-Ghazali, Ihya` ‘Ulûm al-Din, J. III, h. 4.

[22] al-Ghazali, Ihya` ‘Ulûm al-Din, J. III,, h. 3.

[23] al-Ghazali, Ihya` ‘Ulûm al-Din, J. III, h. 2.

[24] Ahmad al-Naqsyabandi, Jami’ al-Ushul fi al- Awliya’ wa Anwa’ihim wa Awshafhim wa Ushul Kull Thariq wa Muhimmat al-Murid wa Syuruth al-Syaykh (Mesir : Dar al-Kutub al-‘Arabiah al-Kubra, t.th.), h. 16,

[25] Ahmad al-Naqsyabandi, Jami’ al-Ushul…., h. 9.

[26] Harun Nasution, Op. Cit., h. 78.

[27] al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, J. II, h. 246.

[28] Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawwuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19 (Jakarta : INIS, 1994), h. 55.

[29]Abdul Hakim Hasan, al-Tasawwuf fi al-Syi’r al-‘Arabi, h. 20

[30] al-Mulqin, Op. Cit., h. 187.

[31] Abd. Shamad al-Palimbani, Syar al-Salikin, J. IV, h. 103.

[32] al-Ghazali, Kimia’ al-Sa’adah (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), h. 9-10.

0 Response to "MA’RIFATULLAH"

Posting Komentar