LEMBAGA PENDIDIKAN DALAM ISLAM

SUTEJO IBNU PAKAR

A. Periode awal Islam

1. Dar al-Arqam

Rumah merupakan tempat pendidikan awal yang diperkenalkan ketika Islam mulai berkembang di Mekah. Rasulullah menggunakan rumah Arqam bin Abi al-Arqam di al-Shafa sebagai tempat pertemuan dan pengajaran dengan para sahabat. Jumlah kaum Muslim yang hadir pada periode awal adalah terlalu sedikit, tetapi makin bertambah sehingga menjadi 38 orang yang terdiri daripada golongan bangsawan Quraisy, pedagang dan hamba sahaya.

Di Dar al-Arqam, Rasulullah menyampaikan wahyu yang telah diterimanya kepada para sahabat khsusnya. Beliau juga membimbing mereka menghafal, menghayati dan mengamalkan ayat-ayat suci al-Quram yang diturunkan kepadanya.

Lokasi Dar al-Arqom yang sekarang berada di wialayah Masjidil Harom berdekatan dengan Jabal Qubays, serta Mawlid Nabi atau rumah ibunda Nabi, Aminah binti Abdul Mutholib. Secara fisik rumah Arqom yang sekarang nyaris sudah tidak lagi dikenali para haji karena pemerintah Arab Saudi tidak berusaha mempublikasikannya agar diketahui semua para peziarah masjidil harom. Bahkan rumah tempat Nabi SAW dilahirkan fungsinya sekarang sudah dirubah menjadi rumah tua yang sengaja diksokongkan dan diganti nama dengan sebutan al-Maktabah tetapi sengaja ditutup untuk umum dan dijaga ketat agar tidak didekati oleh siapapun.

2. Masjid

Fungsi masjid selain tempat ibadat ialah sebagai tempat penyebaran dakwah dan ilmu Islam; tempat menyelesaikan masalah individu dan masyarakat; tempat menerima utusan-utusan dari luar Islam, tempat pertemuan para sahabat dabn tokoh-tokoh serta pemimpin umat, tempat bersidang; dan madrasah bagi anak-anak dan remaja mempelajari ilmuilmu keislaman.

Setelah Nabi beserta para sahabat berhijrah ke Madinah, pendidikan Islam berpusat di masjid-masjid. Masjid Quba’ merupakan masjid pertama yang dijadikan Rasulullah sebagai institusi pendidikan. Di dalam masjid itu, beliau melakukan pembelajaran dan pendidikan dengan sistem halaqah di mana para sahabat duduk mengelilingi neliau untuk melakukan dialog atau mendengarkan dakwah islamiah yang berkaitan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Semakin luas wilayah dan pemerintahan Islam, semakin meningkat jumlah masjid yang didirikan. Di antara masjid yang dijadikan pusat penyebaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Kufah, Masjid Basrah dan banyak lagi.

Baik Masjidil Harom di kota Mekkah maupun Masjid Nabawi di kota Madinah sekarang dipergunakan sebagai tempat pembelajaran bagi para siswa dari berbagai jenjang. Materi pengajarannya adalah doktrin atau madzhab resmi pemerintah Saudi, yaitu madzhab wahabi. Konon, masjid juga difungsikan sebagai kelas jauh dari Universitas Ummul Qurro’ Mekkah. Sementara di Madinah sekarang terdapat Madinah University yang berlokasi di jalan Khalid bin al-Wlid, searaha dengan lokasi musium atau al-Mathaf yang menyimpan benda-benda bersejarah termasuk al-Quran Khoth ‘Utsmani.

3. Shuffah

Al-Suffah merupakan ruang atau bangunan surau yang bersambung dengan masjid. Suffah boleh dilihat sebagai sebuah sekolah kerana kegiatan pengajaran dan pembelajaran dilakukan secara teratur dan sistematik. Misalnya, Masjid Nabawi yang mempunyai suffah yang digunakan untuk majlis ta’lim, selain majlis dzikir.

4. Kuttab

Kuttab ditubuhkan oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam lagi dan bertujuan memberi pendidikan kepada anak-anak usia dini. Sungguhpun begitu, institusi tersebut tidak mendapat perhatian dari masyarakat Arab kerana sebelum kedatangan Islam, hanya 17 orang Quraisy yang tahu membaca dan menulis. Ketrampilan dasar seperti membaca dan munlis dilakukan oleh kebanyakan guru yang mengajar secara sukarela. Selain itu, Rasulullah juga pernah memerintkah tawanan perang Badar untuk mengajar sepuluh orang anak-anak kaum muslimin sampai mereka bisa membaca dan menulis, sebagai syarat menebus (kemerdekaan) diri.

B. Periode kedua

Periode ini merangkumi zaman kerajaan Umaiyyah (662-750M) dan Abbaisiyah (751-1258M). Pada zaman ini, institusi pendidikan yang awal seperti masjid dan kuttab terus dikembangkan hasil dorongan dan galakan dari para khalifah yang memerintah. Selain itu, institusi pendidikan tinggi dan lanjutan mula diperkenalkan sehingga melahirkan ramai golongan sarjana dan cendekiawan muslim dalam berbagai disipilin ilmu.

1. Rumah ‘Ulama & Istana

Terdapat beberapa rumah ulama yang digunakan sebagai tempat pertemuan untuk majlis-majlis ilmu seperti rumah Ibnu Sina, Muhammad Ibnu Tahir Bahrom dan Abu Sulayman. Di samping itu istana khalifah turut dijadikan tempat perkembangan ilmu. Sebagai contohKhalifah Muawiyah Ibnu Abi Sufian yang mengundang ulama dan cerdik pandai untuk membincangkan sejarah peperangan, sejarah raja-raja Parsi, sejarah bangsa Arab dan sistem pemerintahan negara.

2. Perpustakaan

a. Perpustakaan Umum

Perpustakaan umum ialah perpustakaan yang didirikan untuk kegunaan orang ramai. Perpustakaan umum pertama didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyidin di Kota Baghdad dan dikenali sebagai Baitul Hikmah. Ia berfungsi sebagai gedung buku yang memuatkan buku-buku dan penulisan pelbagai bahasa seperti bahasa Yunani, Parsi, Hindu, Latin dan sebagainya.

b. Perpustakaan Semi

Perpustakaan ini lazimnya milik khalifah atau raja-raja yang didirikan di dalam istana. Perpustakaan ini tidak dibuka kepada orang ramai tetapi hanya terbuka kepada golongan-golongan tertentu sahaja yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Umpamanya kerajaan Fatimiyah telah mendirikan perpustakaan terbesar di istana Qahirah untuk menyaingi perpustakaan khalifah-khalifah Baghdad.

c. Perpustakaan Khusus

Ia merupakan perpustakaan persendirian yang tidak membenarkan sesiapa pun menggunakan perpustakaan ini melainkan empunya perpustakaan. Ia biasanya dibina oleh ulama dan sastrawan di rumah masing-masing seperti Perpustakaan Hunain Ibnu Ishaq.

3. Madrasah

Sekolah-sekolah atau madrasah mula didirikan sebagai mengantikan masjid-masjid yang sudah tidak dapat menampung keperluan pendidikan dari segi ruang dan kelengkapan pembelajaran. Madrasah Baihaqiyah merupakan madrasah pertama didirikan oleh penduduk Naisabur

C. Perjalanan Pendidikan Islami

Meskipun penanaman kesadaran akan urgensi ilmu sudah dimulai pada masa Nabi Muhammad, bahkan pada masa-masa akhir sebelum Nabi Muhammad wafat kesadaran akan pentingnya ilmu bagi kehidupan-dapat dikatakan-sudah mendarah daging di kalangan umat Islam, namun cikal bakal Pendidikan Islami (dalam sebuah institusi) baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Cikal bakal Pendidikan Islami dimulai ketika khalifah Umar bin al-Khaththab secara khusus mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber (baca: guru) bagi masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut. Para petugas khusus ini biasanya bermukim di masjid (mungkin semacam ta’mir pada masa sekarang) dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat melalui halaqah-halaqah-majlis khusus untuk menpelajari agama dan terbuka untuk umum.

Pada perkembangan selanjutnya, materi yang diperbincangkan pada halaqah-halaqah ini tidak hanya terbatas pada pengkajian agama Islam, namun juga mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat. Selain itu, diajarkan pula disiplin-disiplin yang menjadi pendukung kajian agama Islam. Dalam hal ini antara lain kajian tentang bahasa dan sastra Arab, baik nahwu, sorof maupun balagah. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana ‘pendidikan’, yakni adanya upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai Maktab. Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi Pendidikan Islami.

Al-Ma’mun, salah satu khalifah Daulat Bani Abbasiyah, mendirikan Bait al-Hikmah di Bagdad pada tahun 815 M— sebuah institusi yang cukup layak disebut sebagai institusi pendidikan –(Ibrahim Hassan, 1989). Di Bayt al-Hikmah ini terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan dan observatorium (laboratorium). Meskipun demikian, Bayt al-Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang ‘cukup sempurna’, karena sistem pendidikan masih sekedarnya dalam majlis-majlis kajian dan belum terdapat ‘kurikulum pendidikan’ yang diberlakukan di dalamnya.

Institusi Pendidikan Islami yang mulai menggunakan sistem pendidikan ‘modern’ baru muncul pada akhir abad X M dengan didirikannya Perguruan (Universitas) al-Azhar di Kairo oleh Jendral Jauhar as-Sigli-seorang panglima perang dari Daulat Bani Fatimiyyah-pada tahun 972 M. Di al-Azhar, selain dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium, mulai diberlakukan sebuah ‘kurikulum pengajaran’. Pada kurikulum ini diatur urutan materi beserta disiplin-disiplin yang harus diajarkan kepada peserta didik. Meski pendirian al-Azhar bertujuan sebagai wadah ‘kaderisasi’ bagi kader-kader Syi’ah, namun kurikulum yang berlaku dapat dianggap sebagai sebuah kurikulum yang berimbang. Pada kurikulum al-Azhar diajarkan disiplin-disiplin ilmu agama dan juga disiplin-disiplin ilmu ‘umum’ (aqliyyah). Ilmu agama yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain tafsir, hadis, fiqh, qira’ah, teologi (kalam), sedang ilmu akal yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain filsafat, logika, kedokteran, matematika, sejarah dan geografi. Ketika Salahuddin al-Ayyubi (seorang sunni) pada abad XI M berhasil menguasai Kairo, sebagai pusat Bani Fatimiyyah, ia memandang adanya al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting, sehingga keberadaan al-Azhar tidak diusik sama sekali, selain peniadaan materi-materi yang berbau syi’ah. Bahkan pada masa Salahuddin inilah al-Azhar berada dalam puncak kejayaan, di mana al-Azhar, menurut beberapa kalangan, dianggap mampu melaksanakan kurikulum yang berimbang antara materi agama dan pengembangan intelektual.

D. MADRASAH NIZAMIYAH

Prototipe Institusi Pendidikan Islam di Abad V Hijriah

1. Pendahuluan

Pemerintahan Bani Saljuq berhasil melahirkan pemerintahan Ghaznawi di Khurasan. Pemerintahan yang sukses nlengembangkan madzhab Ahlussunnh di belahan Timur Islam dalam merekrut anggota dan dukungan kuat masyarakat lapis bawah. Bani Saljuq adalah keturunan Saljuq bin Tuqaq, pemuka kabilah Turkeman, imigran dari Turkistan karena desakan kondisi perekonomian yang buruk dan tradisi perang antar suku.

Selama pemerintahan Saljuq madzhab kalam Mathuridi dan fikih Hanafi mendominasi gerakan pemikiran keislaman. Namun, ia tidak memiliki pengaruh berarti, selain tradisi taqlid. Mengingat generasi awal Saljuq tidak tergolong generasi pecinta ilmu. Generasi awal Saljuq lebih menyukai peperangan fisik; sebagaimana kelompok nomaden pada umumnya.

Berbeda dengan generasi kedua, generasi awal Saljuq, diwakili oleh ’Amid al-Muluk al-Khundari, adalah generasi pengikut madzhab fikih Hanafi yang fanatis. Sedangkan generasi kedua, diwakili Nizam al-Muluk, wazir Aleppo Arselan Malik Syah, adalah pengikut madzhab fikih al-Syafi'i. Sementara al-Khundari sendiri adalah seorang mu'tazili yang setia menyertai Tughrul Bik menghantam mazhab al-Asy'ariyah.[1] Oleh al-Subuki ia dinilai sebagai penganut Musyabbihat dan Mujassimah. Peran al-Khundari[2] sangat besar sekah dalam menancapkan kekuatan madzhab Mu'tazilah, mengutuk dan membantai madzhab Asy'ariyah, Syafi'iyah dan Ahlussunnah pada umumnya. Sejarah mencatat banyak pemuka-pemuka Asy'ariyah Khurasan ditangkap dan diekstradisi. Abu Qasim al-Qusyaeri sempat dipenjarakan selama satu bulan sampai dengan datang bantuan Abu Sahal. Namun Tughrul murka dan memerintahkan penangkapan Ali bin Muwaffiq untuk dipenjarakan. [3]

Usaha al-Khundari memperdayai al-Qusyairi, Imam al-Haramain dan kawan-kawan kemudian didokomentasikan oleh a1-Qusyairi sebagai catatan kelabu kelompok Asy'ariyah. Tulisan tangan itu berjudul Syikayat ahl al-Sunnah li ma nala hum min al- mihnah. Dokumen itu dipublikasikan ke berbagai negara dengan harapan mendapatkan dukungan dari para pemuka dan tokoh agama Baghdad. Abu Bakr bin al-Husein bin All al-Baihaqi (387-485 H) salah seorang imam muhadits dan ahli faqih al-Syafi'i memberikan respect besar dan berhasil meyakinkan al-Khundan tentang jati diri Imam Abu Hasan al-Asy'ari.

Tughrul Bik meninggal tahun 455 H=1063 M. digantikan oleh saudaranya Aleppo Arselan dengan dibantu seorang wazir bernama Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ishaq al- Tusi (Nizam al-Muluk). Sang wazir adalah pengikut setia madzhab al-Syafi'i.[4] Angin segarpun mulai dihirup secara leluasa oleh kelompok Ahlussunnah. Arselan mulai memperlihatkan perlakuan istimewa bagi upaya kebangkitan madzhab al-Asy'ari melalui pendirian sekolah-sekolah yang menjamin masa depan dan kelanggengan madzhab al-Syafi'i dan al-Asy'ari. Madzhab al-Asy'ariyah dijadikan madzhab resmi bagi doktrin kalam pemerintah dan rakyat. Pengajaran teo1ogi Asy'ariyah secara kurikuler di sekolah-sekolah Nizam al-Muluk merupakan aksi tandingan bagi teologi Mu'tazilah dan fikih Hanafiah. Sungguh sesuatu yang mengagukan seorang Sultan pengikut fanaatis madzhab Hanafiah memberikan kepercayaan penuh terhadap seorang wazir pengikut fanatis madzhab al-Syafi'i.

2. Madrasah Nizam al-Muluk

Madrasah Nizam al-Muluk merupakan model atau prototipe baru madrasah yang beum pernah dijumpai semasa generasi sahabat dan tabi'in sesudah Rasulullah. Prototipe Nizamiyah hanya ditemui setelah tahun 400 hijri. Sebelumnya memang telah ada Madrasah Baihaqiyah di Naisabur didirikan oleh Abu Ishaq al-Isfirayin (w. 484 H=1027 M. Meskipun Nizamiyah bukan yang pertama di belahan Timur tetapi ia tetap institusi pendidikan resmi dan dibiayai oleh anggaran belanja negara dengan tenaga pengajar professional dan organisasi yang baik

Nizam al-Muluk berkeyakinan mempertahankan porwerful dengan memanjakan masyarakat syi'i seperti dilakukan Bani Saljuq sama sekali tidak effektif dalam usaha meraih dukungan politik dari rakyat, terlebih-Iebih dalam usaha menciptakan dinamika keilmuan yan kondusif. Dia merasa terpanggil melakukan terobosan baru megimbangi kekuatan rnasyarakat syi'i. Pendirian madrasah itu sendiri bertujuan untuk: (1) memasyarakatkan faham Ahlussunnah sehagai faham resmi ummat; (2) menggali potensi kader-kader Sunni yang dipersiapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis birokrasi (3) menggali potensi kader-kader sunni yang professional dalam bidangnya. Bagi al-Maqrizi Nizamiyyah merupakan sesuatu yang baru di abad kelima hijri.

3. Pusat-pusat Pendidikan

Untuk membantu percepatan ketercapaian tujuan besar itu kemudian pemerintah mela1kukan langkah-langkah taktis dengan memilih dan menetukan lokasi geografis yang kondusif, memilih tenaga pengajar professional, menyusun kurikulum baku dan resmi, clan memfasilitasi seluruh kebutuhan pendidikan. Penentuan lokasi yang kondusif ditindaklanjuti dengan membangun madrasah di daerah yang -secara geografis- kondusif bagi upaya pengembangan Islam di Timur seperti Baghdad, Balkha, Naisabur, Bashrah, Marwa, Tibristan dan Musal. Secara politis daerah-daerah tersebut merupakan wilayah dimana pemerintahan Sunni pernah berjaya selama pemerintah Balu Saljuq berkuasa dan wilayah dimana madzhab Syi'ah pernah berjaya seperti Bashrah (basis Syi'ah dan Qadariyah Naisabur, Syi'ah Karamiyah), Tibristan, Khazastan dan Furrat. Pcnentuan lokasi-lokasi tersrbut tampaknya merupakan upaya sistematis menghadang perkembangan pemikiran Syi'ah dan pembuka jalan bagi kebangkitan madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah.

4. Tenaga Pengajar Professional.

Rekrutemen dan seleksi tenaga pengajar professional lebih cenderung merekrut para pemuka dan ulama fik:ih madzhab al-Syafi'i yang terpandang dan dinilai belkualifikasi lebih. Secara diam-diam al-Ghazali pada masa itu sudah mulai terlibat dalam ihwal seleksi calon pengajar bersama-sama dengan Nizam al-Muluk. Saat itu ia sedang berguru kepada Imam al-Haramain di Madrasah Nizamiyah Naisabur. Dan, ketika sang guru wafat (478 H=1085 M) diapun ditunjuk memimpin Madrasah Nizamiyah Baghdad.

Di Marwa, Abu Bakr Muhammad bin Tsabit al-Khujandi (w. 596 H= 1103 M) terdengar oleh Nizam al-Muluk karena keunggulannya dalam bidang fikih dan ia pun kemudian diangkat sehagai pengajar Nizamiyah Isbahan. Al-Syarif al-Alawi al-Dabusi (w. 473 H= 1090 M), karena kelebihannya dalam bidang fikih dan manthiq dipercaya rnengabdi di Nizamiyah Baghdad. Nizamiyah Baghgad didirikan oleh Ahu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H) dan pembinaannya dilakukan bersama-sama dengan Nizanl al- Muluk.

Nizam al-Muluk sangat memperhatikan perlindungan ilmuwan. Kepada mereka dia pun memberikan peluang pembinaan dan peningkatan karier di bidangnya dengan melakukan kegiatan-kegiatan kondusif seperti mutasi internal dan promosi jabatan. Para pengajar Nizamiyah sangat dimungkinkan hadir sebagai pribadi yang diterima dan dihormati di tengah-tengah pergaulan masyarakat dan pemerintah berkat bantuan Nizam al-Muluk, seperti yang dilakukan terhadap Abu Ishaq al-Syirazi.

5. Kurikulum Pendidikan.

Pilihan tepat Nizmn al-Muluk terhadap rencana pengajaran atau kurikulum pendidikan jatuh kepada madzhab al-Syafi'i dan madzhab al-Asy'ari sebagai rujukan pokok pengajaran fikih dan kalam. Madzhab al-Syafi'i dipilih sebagai madzhab resmi pengajaran fikih baik dalam masalah-masalah ushul (pokok) maupun masalah-masalah furu'. Penguasaan terhadap kedua persoalan tersebut dijadikan prasyarat bagi setiap calon pengajar. Selain itu diajarkan puIa materi pengajaran pembantu seperti hadits nahwu serta ilmu bahasa dan sastra.

Teologi Asy'ariyah dijadikan materi pengajaran pokok kalam di Madrasah-madrasah Nizamiyah. Abd. al-Majid al-Badawi menyatakan bahwa teologi ini merupakan teologi Ahlussunnah yang herhasil memimpin gerakan pemikiran keislaman masa itu dan dinilai lebih kompeten secara teologis menghadapi teologi Syi'ah, karena sikap moderatnya antara tasybih syi'ah dan tanzih mu'tazilah. Disamping karena argumen-argumen rasional yang digunakan dalam aspek keimanan. Sementara partner Asy'ariyah Malikiyah dan Hambaliah, dinilai tidak kompeten karena kekauannya dalam menafsirkan dzahir-dzahi nash. Madzhah fikih Maliki tidak dapat eksis di Timur dan madzhab Ahmad bin Hambal hanya berlaku di Baghdad. Madzhab Hanafiah Khurasan dan Irak adalah bercorak Hanafiah-As’ariyah dengar tokohnya al-Qadhi Abu Husein hin Abu Ja'far al-Sam'ani (w. 466 H= 1073 M).8

6. Fasilitas Pendidikan.

Nizam al-Muluk dikenal sangat memperhatikan perkembangan dan kelajuan madrasah-madrasahnya dengan meluangkan waktu-waktu khusus, memperhatikan peningkatan kesejahteraan guru, serta pembangunan tempat khusus (asrama) di lingkungan madrasah untuk para pelajar. Setiap pelajar diberi hak menempati satu kamar khusus. Para pelajar juga diberikan kesempatan merintis masa depan dan penghidupannya. Anggaran khusus negara untuk kebutuhan guru dan pelajar Nizamiyah Baghdad setiap tahunnya berjumlah 15.000 dinar. Sedangkan anggaran untuk Nizamiyah Baghdad secara keseluruhan adalah 200.000 dinar.

Sebagai penunjang keilmuan pelajar di setiap madrasah juga dibagun perpustakaan khusus. Kecintaan Nizam al-Muluk terhadap ilmu pengetahuan diperlihatkannya di hadapan para guru dan pelajar. Kerapkali ia duduk-duduk dan membaca serta mendengarkan guru-guru fikih di perpustakaan madrasah. Selama tahun 1480 H= 1087 NI Nizam al-Muluk melakukan kunjugan ke berbagai madrasah khususnya di Baghdad sebagai program rutin pribadi. Pada tahun 488 H= 1095 M. Nizamiyah memiliki sekitar 300 murid yang secara khusus belajar fikih kepada al-Ghazali. Di Naisabur madraasah ini selalu dipadati tidak kurang dari 300 murid dan para imam yang belajar bersama kepada lmam al-Haramain. Sedangkan jumlah keseluruhan Nizamiyah Baghdad adalah 6.000 orang.

Nama Nizamiyah semakin hari semakin harum. Karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya pula salah seorang pengikut fanatis madzhab Hambali yaitu Abu al-Fath Ahmad bin All bin Tarkam alias Ibnu al-Hamulam (w. 518 H= 1124 M) berpindah madzhab menjadi pengikut madzhab al-Syafi'i dan berguru kepada al-Ghazali dan Abu Bakr al-Syasyi. Dia pun kemudian dipercaya menjadi pengajar di Nizamiyah. Nama-narna lain dari pengikut madzhab Hanafi yang berpindah madzhab pada saat itu antara lain Abu Ja'far bin Abu Bakr bin Abdullah al-Dibasi (w. 601 H= 1205 M), al-Mubarak bin al-Muharak al-Wasithi al-Nahwi (w. 612 H= 1215 M), al-Qadhi Abu Bakr Muhammad bin Yahva bin al-.Mudzaffar (w. 639 H= 1241 M), Abu al-Wafa bin ‘Aqil (w. 513 H= 1106 M), dan Muhammad bin Abu al-Barakat (w. 590 H= 1205 M).

7. Penyebaran Madzhab Ahlussunnah

Pada zamannya Madrasah Nizamiyah adalah madrasah favorit dan memiliki posisi sangat tinggi karena kelebihan yang dimilki. Darinva lahir ulama-ulama besar yang sangat berperan dalam penyebaran pemikiran Ahlussunnah di seluruh penjuru dunia Islam. Nizamiyah Baghdad tercatat sebagai pemberi sumbangan sangat besar dalam peningkatan sumber daya manusia Sunni. Pada masa kekosongan Nizamiyah tampil sebagai lembaga pendidikan yang berumur relatif cukup lama.

Ulama-ulama besar lulusan Nizamiyah memiliki komitmen tinggi terhadap pengembangan fikih al-Syafi'i dan teologi al-Asy'ari. Salah satu pendukung keberhasilan usaha perluasaan madzhab al-Syafi'i waktu itu adalah, tradisi perjalanan atau pengembaraan para ulama dari satu tempat ke tempat lain. Faktor lain yang, barangkali mencontoh kepada strategi penyebaran madzhab sebelumnya semisal Mu'tazilah, turut mendukung ialah perjuangan melalui ja1ur birokrasi terutama dalam bidang hukum menjadi mufti ataupun qadhi seperti Muhammad bin Mahmud Abdullah al-Juwaini (w, 605 H= 1208 M) qadhi di Bashrah, Yahya ibn al-Qann bin al-Mufarraj Abu Zakaria al-Tikriti (w. 616 H= 1219 M), Abd. al-Salam bin Abdullah bin Mnshur Abu Muhammad a1-Kattani al-Dimyathi ( 619 H= 1222 M), dan al-Qadhi Baha’ al-Din Yusuf bin Rafi' bin Tamim (w. 632 H= 1235 M).

Sebagaimana diketahui, perjalanan penyebaran madzhab Mu’tazilah sebelum abad kelima hijri ditempuh dengan gerakan struktural di jalur birokrasi dan pemerintahan. Pengembangan madzhab Ahlussunnah abad kelima hijrjiah tidak sebatas cermin sikap reaktif-antisipatif bagi kebangkitan dan kejayaan pengikut-pengikut Asy'ariyah dan Syafi'iyah. Maka, tidaklah berlebihan bila dinyatakan banyak kalangan bahwa, penyebaran madzhab Ahlussunnah difokuskan kepada dua aliran kalanl besar yaim Mu'tazilah dan Syi' ah.

8. Jasa al-Ghazali

Al-Ghazali te1ah berhasil me1ahirkan karya berjudul Fadhaih a1-Bathiniyyah di tahun 487 H= 1094 M. Karya ini dimunculkan sebagai kritik terhadap Syi'ah Isma'iliyah, Bathiniyyah dan Imamiyah. Kitab ini diakui banyak berperan dalam memberantas dan membendung pikiran-pikiran Syi'ah terutama tentang masalah imamah. Bagi al-Ghazali pemikiran syi'ah yang demikian dianggap telah mengkontaminasi aqidah islamiyah dengan pemikiran agama-agama samawi dan filsafat yang menyesatkan. Dia. sangat bersemangat dan gigih menganulir ide Syi' ah tentang imam yang mi'shum dalam arti benar-benar bersih dari segala perdosaan. Ketidaksefahamannya juga tampak dalam rnasalah imamah atau kepemimpinan yang- dalam pandangan Syi'ah- harus selalu didasarkan kepada nash atau wahyu. Al-Ghazali menolak kalau harus menyandarkan persoalan kepemimpinan kepada nash, karena persoalan kepemimpinan adalah tanggungjawab manusia. Ketatnya krteria seorang imam yang diberlakukan syi'ah menjadi salah satu bagian dari sistem kritik penolakan al-Ghazali. Al-Ghazali sama sekah tidak memberikan toleransi untuk diharuskannya seorang imam itu ma’shum karena kema'shuman hanya milik Rasulullah. Kenabian dan kema’shuman sepeninggal Rasulullah adalah kemustahilan besar di mata al-Ghazali. Namun demikian ia sefaham dengan Syi' ah tentang kriteria wara’ bagi seorang imam.

Madrasah-madrasah Nizamiyah tercatat berhasil rnenegakkan kembali madzhab Asy' ariyah dan mengkirtis pemikiran teologis Syi'ah. Dalam bidang hukum fikih berhasil menyebarluaskan madzhab al-Syafi'i Termasuk di daerahhdaerah yang semu]a basis madzhab Abu Hanifah atau madzhab Ahmad bin Hanbal dan Syi' ah seperti Baghdad

Kritik tajaum Ahlusslunnah terhadap Syi'ah Isma'iliyah dan Bathiniyah ternyata mendapat dukungan dari Mu'tazilah. Adalah al-Qadli 'Abd. al- Jabbar al-Muftazili menuduh Syi'ah sebagai kelompok yang hendak menghancurkan Islam dengan dokrin-doktrin sesatnya tentang tanasukh. Di sisi lain Syi' ah melalui tokoh-tokoh fikihnya di paroh kedua abad kelima hijriah mencoha mendekati Muftazilah. Syi’ah yang tidak memiliki doktrin teologis mulai mengadopsi ajaran tauhid dan adalalah milik Mu’tazilah untuk membangun azas-azas madzhabnya. Syi'ah mengkalim dirinya sebagai kelompok pembela keadilan dan pembela ta·uhid. Namun demikian- Syi’ah dan Muftazilah selalu berseberangan dalam hal imamah nubuwah dan kehidupan akhirat. Secara intensif penyebaran doktrin Syi'ah dilakukan di masjid-masjid yang didalamnya terdapat kubu-kubu imam-imam Syi' ah dan di rumah-rumah tertentu milik para pengikutnya.

Kritik-kritik Ahlussunnah, yang diwakil al-Ghazali sehagai tokoh yang lebih mengenal isma’iliyah dan Bathiniyyat, itu mencerminnkan keberanian intelektual Asy' ariyah dimana pada masa yang bersamaan keduanya telah memiliki pengaruh besar di Persia. Al-Ghazali, mewakili Asy’ariyah, ia telah bertindak taktis-konfrontatif membendung teologi Syi'ah meskipun menyadari kejayaan Syi'ah sudah dimulai sejak pemerintahan al-Ma’mun dan sernasa pemerintahan al-Mu’tasim rnerneperoleh dukungan kuat d.ui pcnganut agama Mazdak karena kesmaan aqidah.Syo’ah dan Mazdak bersatu bergandeng tangan melakukan pembelokan-pembelokan ajaran Islam. Doktrin teologis keduanya yang dijadikan sasaran kritik adalah ajaran yang menduakan Allah. Syi'ah dan Mazdak mengajarkan bahwa, Allah menciptakan jiwa dan kemudian keduanya bersama-sama menciptakan alam semesta ini. Sedangkan ajaran tentang tanasuk al-Ruh dianggap sebagai penyimpangan yang bersumber dari provokasi Ibnu Saba’ salah seorang penganut ajaran Yahudi. Ajaran tanasukh merupakan salah satu wujud kultm terhadap All bin Abi Thalib. Pribadi Ali dianggap memiliki unur ketuhanan. Doktrin ini berpengarull besar di wilayah-·wilayah seperti Bashrah, Kufah, dan Mesir. Doktr:in lain yang juga madopsi dari Yahudi adalah bahwa, kelompol Syi'ah adalah ummat yang diharamkan tersentuh api neraka.

Sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap iaum falloso£, al-GhazaJj mewakili Ahlussunnah, dengan tegas menuduh Syi' ab Bathiniyah sebagaj kelompok Dahriyyin dan Zindiq. Tuduhan itu didasarkan kepada pengingkm.'an terhadap rasul-rasul dan syari' at Allah Sf'rta kepercayaan akan qidamnya alam.

Secara umum agenda permasalahan kritik Ahlussmmah terhadap Syi'ah terfokus kepada masalah-masalah: kenabian dan kerasulan All bin Abi thalib, masalah imamah dan ke111r1 ~~human imam, tanasukh, serta tajsim (pesonifikasi terhadap Allah). Di hadapan Ahlussmmah Syi' ah ttinilai benar-benar telah menghancurkan Islam karena memasukkan ajaran-ajaran Yahudi, Nasrani, serta agama nenek moyang bangsa Persia yaitu Mazdak, Zoroaster, serta Majusi dan memasukkan ajaran Hindu kedalam teologi mereka. Sedangkan kepentingan tidak langsung, yang diutuju, adalah tersebar luasnya dan tegaknya teologi Asy' ariyah setelah sekian lama ditekan dan dibung~1m para penguasa , Abbasiyah.

9. Penutup

Institusi Pendidikan Islami ideal dari masa kejayaan Islam lainnya adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini diprakarsai dan didirikan oleh Nizam al-Mulk-perdana menteri pada kesultanan Seljuk pada masa Malik Syah-pada tahun 1066/1067 M di Bagdad dan beberapa kota lain di wilayah kesultanan Seljuk. Madrasah Nizamiyah sebenarnya didirikan sebagai upaya membendung arus propaganda syi’ah yang berpusat di Kairo dengan al-Azharnya. Madrasah Nizamiyah pun telah memiliki spesifikasi khusus sebagai sebuah institusi pendidikan dengan spesifikasi pada teologi dan hukum Islam. Dan karena spesifikasi ini pulalah Madrasah Nizamiyah sering disebut sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam.

Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium–, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama.

Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.

Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian ’serius’ dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum. Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia Pendidikan Islami pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma Pendidikan Islami pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.



[1] Ibnu 'Asakir, Tabyin Kizd al-Muftar fi ma Nusiba ila al-lmam al-Asy'ari, 108.

[2] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam , 70.

[3] al-Subuki, Thabaqat, vol. II, 271.

[4] Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, II, 1966, 33.

0 Response to " "

Posting Komentar