PENDIDIKAN ISLAM MULIKULTURAL

PENDIDIKAN ISLAM MULIKULTURAL

Oleh: Suteja

(Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

A. Epistemologi Pendidikan Islam

Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih berada dalam posisi problematic-dilematis antara determenisme historis dan realisme praktis. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisasi kejayaan pemikiran dan peradaban Islam pada masa lampau yang hegemonik. Tapi, di sisi lain, ia juga dipaksa untuk menerima tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang praktis-progresif. Kenyataan ini seringkali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan.. Oleh karena itu tak mengherankan apabila satu sisi kita masih saja mendapati tampilan sistem pendidikan Islam yang sangat tradisional karena tetap memakai “baju lama” sementara di sisi lain kita juga mendapati sistem pendidikan Islam yang bercorak materialistik-sekularisrik

Historisitas budaya dan tradisi pemikiran Islam dapat dicermati dari terjadinya perubahan, pergeseran, dan kristalisasi stuktur tipologinya akibat pengaruh dinamika sosial yang meneyertai. Budaya dan tradisi pemikiran Islam pada masa keemasan (abad III-V H.) mengandung tiga struktur epistimologis yang saling bersaing, yaitu bayani, irfani dan burhani. Epistimologi bayani lebih dahulu menandai konstruksi intelektual dunia Islam dengan eksponen ulama bayaniyyun dan menghasilkan produk intelektual utama berupa ‘ulum al-Naqliyah. Produk intelektual ini lazim disebut disebut dengan ilmu-ilmu istidlal. Karena baik sebagai proses maupun produk, ia berasal dan bermuara pada dialektika dengan teks (reproduksi teks).

Sementara itu, epistimologi irfani baru berkembang setelah pengaruh nalar gosntik yang banyak diintrodusir dari tradisi Persia masuk ke dunia Islam dan diapresiasi oleh simpatisan syi’ah dan kalangan sufi. Epistimologi irfani sangat mengunggulkan jenis pengetahuan kasyf yang bisa diperoleh seseorang melalui riyadhah dan mujahadah, bukan melalui kekuatan rasional. Jenis pengetahuan ini tidak bisa begitu saja ditransmisikan lewat proses pembelajaran atau ta’lim insani yang mengandalkan kemampuan eksplanasi, penalaran diskursif-inferensial, dan kritisme intelektual.

Selanjutnya, bersamaan dengan gerakan massif penerjemahan buku-buku warisan pemikiran Yunani (Hellenisme), epistimologi burhani mulai berkembang di dunia Islam atas prakarsa para filsuf dan ilmuwan muslim. Oleh karena berangkat dari kebebasan berpikir rasional-kritis dan tesis nalar universal, epistimologi ini sering dicurigai bersifat subversif dan bisa mengancam kemapanan ortodoksi keagamaan. Epistimologi ini pernah dianak-emaskan oleh penguasa politik, khususnya pada masa Khalifah al-Ma’mun, untuk menandingi tradisionalisme sunni. Kenyataan ini seakan melekatkan dosa sejarah, sehingga pada gilirannya ia lalu dipandang sebelah mata oleh mayoritas umat Islam.

Dalam perkembangannya, dari ketiga epistimologi yang saling bersaing tersebut, ternyata epistimologi bayani-lah yang berkembang lebih pesat dan bahkan sangat dominan. Hal itu disebabkan karena ia bersifat asali, juga tipikal dengan budaya Arab-Islam dan nalar-keagamaan kalangan tradisionalisme sunni yang berhasil membangun ortodoksi keagamaan. Dominasi epistimologi bayani ini terkait erat dengan kejayaan gerakan humanisme dan skolastisisme Islam yang didukung oleh sistem politik pasca tragedi mihnah, yang menandai surutnya gelombang rasionalisme di dunia Islam dan kristalisasi ideologi kawan-lawan
Pertautan antara epistimologi bayani dan pendidikan Islam masa keemasan inilah yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan aliran konservatif, yaitu aliran pendidikan yang cenderung bersifat murni keagamaan, berorientasi kuat pada moral-etik dan mengambil jarak terhadap pengaruh rasional dari luar. Tidak hanya itu, pengaruh pertautan antar keduanya juga tampak pada simton dikotomik dalam warisan keilmuan Islam sehingga terasa minim apresiasi terhadap keilmuan intelektual.

Epistimologi pendidikan Islam sebagai matrik konseptual aktivitas kultural-performatif yang berkaitan langsung dengan dinamika praksis sosial-budaya perlu progresif mempertegas jari diri keberpihakannya pada tindakan penyadaran dan pemberdayaan. Dengan basis ijtihad dan tajdid, epistimologi pendidikan Islam perlu memadukan secara sinergis-dialektis antara epistimologi bayani, irfani dan burhani dalam struktur hierarkis-piramidal yang bermata ayat kauniyah dan ayat qauliyah dalam kerangka humanisasi, liberasi, transendensi demi mewujudkan pendidikan Islam transformatif.

Di tengah ketidaksanggupan pendidikan Islam dalam mengatasi berbagai hambatan yang telah mengebiri konsep pendidikannya hingga menjadi sedemikian statis. Karenanya tak diragukan lagi buku ini akan dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi pencerahan dan pengembangan pendidikan Islam pada umumnya dan bagi pesantren dan madrasah pada khususnya. Sehingga dunia pendidikan Islam tidak lagi mengalami krisis peran sebagai ikon penting transformasi dinamika budaya, pemikiran, dan kehidupan umat.

Epistimologi bayani ternyata berpengaruh luas terhadap pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini, terutama dalam konteks pesantren, yang memang disinyalir memiliki ikatan geneologis yang kuat dengan budaya dan tradisi pemikiran Islam abad Klasik-Pertengahan, dan juga terhadap pendidikan madrasah. Hal tersebut bisa dilihat pada wawasan etik-keilmuannya yang memprioritaskan ilmu keagamaan dan ilmu kebahasaan sebagai ilmu bantunya. Wawasan etik-keilmuan semacam itu mengalami penguatan dan pergeseran setelah gerakan neo-sufisme berpengaruh nyata atas sejarah umat Islam tanah air sehingga citra pesantren pun lekat dengan pelembagaan orientasi Fiqh Sufistik.

B. Instutionalisasi Pendidikan Sufi

Institusi pendidikan para sufi sebenarnya telah ditemukan di masa-masa awal abad Islam dalam bentuk semacam madrasah. Hal ini terbukti dengan ditemukannya madrasah Hasan al-Bashri di Bashrah, di bawah asuhan Hasan al-Bashri yang lahir pada tahun 21 H/632 M. Kemudian muncul pula madrasah Tasawwuf di Madinah di bawah asuhan Sa’id bin Musayyab (13-94 H). Lalu di Kufah muncul madrasah Sufyan al-Thaury (97-161 H). Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya institusi pendidikan sufi telah ada sejak masa sesudah sahabat dan pertengahan masa tabi’in. Pada masa-masa berikutnya muncul pula tokoh-tokoh sufi ternama misalnya, Sirr al-Saqathy (w. 253 H), Ma’ruf al-Kurkhi (w. 201 H), Harits al-Muhasibi (w. 243 H), Dzu al-Nun al-Mishry (w. 240 H), Abu Yazid al-Basthami (w. 261 H).

Pusat kegiatan sufi pada masa itu biasa disebut dengan khanaqah atau zawiyah (Turki= tekke). Di Afrika Utara, pusat kegiatan sufi disebut ribath sedangkan di India disebut dengan jama’ah khana. menyebutkan Ribath adalah pusat latihan yang berasal dari daerah Arab. Sedangkan di Khurasan disebut khanaqah. Tempat ini merupakan pusat kegiatan kaum sufi maupun tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, kajian keagamaan, dan ibadah mahdhah kepada Allah SWT Trimingham (1971: 5).

Pada mulanya ribath digunakan sebagai benteng pertahanan kaum muslimin terhadap serangan musuh. Ribath banyak dibangun di perbatasan dan dilengkapi dengan menara pengawas. Di dalam ribath tentara muslim melakukan latihan-latihan militer di samping ibadah keagamaan, sehingga ribath mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat ibadah dan markas tentara (Schacht, 1995: 495). Oleh karena itu, istilah ribath dihubungkan dengan jihad di jalan Allah SWT atau perang suci, yang dalam prakteknya untuk mempertahankan wilayah Islam dari serangan musuh serta memperluas wilayah kekuasaan Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ribath lebih banyak digunakan sama dengan pengertian zawiyah atau khanaqah. Ribath tidak banyak digunakan untuk latihan militer, tetapi lebih banyak diarahkan kepada latihan spiritual dari aliran tarekat. Kalau pada mulanya ribathberfungsi sebagai tempat ibadah, latihan militer dan markas tentara Islam dalam perkembangan berikutnya ribathlebih merupakan tempat pendidikan calon sufi.

Sebuah ribath yang sangat kuno ditemukan di Teluk Persia, yang cikal bakalnya adalah seorang sufi bernama Abdul Wahid ibn Zayd (w. 177 H/793 M). Ribath ini masih tetap ada sepeninggalnya, bahkan menjadi terkenal. Ribath-ribath lain di bangun selama penyerangan ke Byzantium dan juga Afrika Utara. Sentra-sentra peribadatan juga disebut-sebut orang di Damaskus sekitar 150 H/767 M. Di Ramlah, ibukota Palestina, yang dibangun oleh seorang pangeran Kristen sebelum tahun 800 M.

Konstruksi bangunan ribath biasanya dilengkapi dengan mihrab untuk mengerjakan salat berjamaah dan tempat untuk membaca al-Quran serta mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Namun kontruksi bangunan seperti ini terkadang terpisah walaupun lebih sering memiliki hubungan dengan masjid, dapur luas yang digunakan bersama-sama oleh para murid dan juga tamu dan terkadang juga sekolahan. Kuburan pendiri biasanya berada di tempat yang sama. Syaykh itu sendiri akan tinggal bersama keluarganya di seperempat bagian kompleks dan menemui murid-muridnya pada jam-jam tertentu untuk membimbing kemajuan rohaninya dan mengimami salat lima waktu para jamaahnya. Misalnya yang terjadi di khanaqah Mevlana Muzesi di Konya. Ada juga beberapa khanaqah yang hanya memiliki satu ruangan besar tempat darwisnya tinggal, belajar dan bekerja

Anggota dari sebuah ribath ini tersusun atas dua kelompok, murid dan pengikut yang tinggal dalam ribathdan memusatkan perhatian pada ibadat, serta pengikut awam yang tinggal di luar serta tetap bekerja dalam pekerjaan mereka sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu berkumpul di ribathuntuk mengadakan latihan spiritual.

Para murid diberi tugas yang berbeda-beda di dalam khanaqah sesuai dengan kemajuan rohaninya. Murid yang paling tulus hatinya dapat mencapai jajaran khalifah. Dia dapat tinggal di dalam pesantren untuk menggantikan syaykh kalau beliau meninggal atau dikirim ke luar negeri untuk memperluas dan mengajarkan tarekat. Tentu hal ini dilakukan setelah ia dilantik oleh sang guru dan dipakaikan khirqa atau jubah sufi dengan disertai pemberian ijazah kepadanya dan tidak semua materi bisa diajarkan olehnya tanpa perintah sang pembimbing.

Menurut Maqdisi bahwa pada masanya telah ada kelompok-kelompok sufi. Di Syiraz, misalnya banyak sekali kaum sufi. Mereka melakukan dzikir di banyak masjid setelah shalat Jum?¢â‚¬â„¢at dan membaca salawat kepada Nabi dari atas mimbar. Sebagai gerakan yang terorganisasi, dia menunjukkan bahwa Karramiyah pada masanya (dia menulis sekitar 975 M) lebih efektif. Mereka memiliki khanaqah-khanaqah di seluruh kawasan Asia yang beragama Islam.

Mengenai kegiatan-kegiatan sufi di khanaqah yang didatanginya, maqdisi menyebutkan bahwa dirinya pernah melibatkan diri dalam suatu kegiatan menyanyikan puji-pujian, di kesempatan lain juga ikut berdzikir keras-keras bersama mereka dan juga ikut membacakan puisi kepada mereka. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang memadai seluk beluk kesufian, orang perlu masuk menjadi anggota kelompok sufi.
Di dalam ribath pada masa itu diajarkan berbagai macam kitab yang khusus yang dipergunakan di kalangannya sendiri baik mengenai ilmu fiqh dan ilmu tasawuf, mempunyai dzikir dan doa serta wirid yang khusus pula. Di samping itu, juga ada perjanjian-perjanjian tertentu dari murid terhadap gurunya yang biasa disebut bay’at. Sumber biaya untuk sebuah ribathjuga bermacam-macam. Ada ribath yang mendapat bantuan tetap dari pemerintah atau dermawan tertentu, tetapi ada pula ribathyang hidup dari futuh, yaitu tanpa bantuan ataupun tunjangan dari siapa pun. Disebutkan bahwa sebagian ribath atau khanaqah memperoleh biaya hidup yang diperolehnya dari penghasilan waqaf. Oleh karena itu, bagi mereka yang hidup dari futuh, mereka akan melakukan segenap aktivitasnya dengan biaya mereka sendiri. Sejak Abad ke-11 Masehi, zawiyah-zawiyah dan khanaqah-khanaqah yang menyediakan tempat-tempat peristirahatan sementara bagi sufi yang berkelana telah menyebarkan kehidupan di seluruh wilayah pedesaan dan memainkan peran menentukan dalam pengislaman daerah perbatasan dan wilayah-wilayah non-Arab di Asia Tengah dan Afrika Utara .

C. Karakteristik Pendidikan Persaudaraan sufi

Kumpulan guru sufi bersama murid-muridnya kemudian membentuk pusat-pusat yang dikenal dengan istilah tarekat. Tahap tarekat terjadi pada abad ke-6 Hijriyah, atau abad ke-13 Masehi. Mulai Abad ke-6 Hijriyah, tasawuf telah menjadi lembaga yang memiliki aturan-aturan, prinsip dan sistem khusus, setelah sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi di sana sini tanpa adanya suatu ikatan tertentu. Pada tahap ini pula muncul pusat-pusat tasawuf yang mengajarkan ajaran-ajaran tertentu dalam tasawuf dengan menyertakan silsilah masing-masing ajaran. Periode ini sejumlah pribadi sufi bergabung dengan seorang guru dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci di jalan rohani. Mereka hidup di berbagai sentra zawiyah, ribathdan khanaqah atau berkumpul secara teratur dalam acara-acara tertentu dan mengadakan pertemuan ilmiah serta rohaniah yang teratur.

Ada tiga jalur yang dapat ditunjukkkan guru sufi kepada calon pengikut. Dalam sistem pengajaran sufi pada umumnya, pertama, pemula menjalani suatu masa percobaan selama 1001 hari, dalam rangka menilai dan meningkatkan kemampuannya menyerap instruksi. Kedua, guru sufi menerima langsung calon murid tanpa menyuruhnya menghadiri majelis-majelis umum di kelompok atau lingkaran (halaqah) sufi, dan memberinya latihan-latihan khusus yang dijalankan bersamanya dan secara mandiri. Ketiga, Setelah menilai kemampuan-kemampuan murid, guru sufi menerimanya secara formal namun mengirimkan ke guru lain yang secara lebih langsung bermanfaat baginya.

Sejak abad ke-12 M sampai awal abad ke-13 M sentra-sentra sufi tertentu berubah menjadi sebuah institusi-institusi tarekat yang dimaksudkan untuk melestarikan namanya, gaya pengajarannya, latihan-latihan mistiknya, serta aturan kehidupan yang digariskannya. Kepemimpinan dalam sentra tersebut diwariskan melalui mata rantai silsilah atau isnad sufi. Tarekat-tarekat tersebut tampak jelas sebagai institusionalisasi ajaran tasawuf yang dikembangkan dalam ajaran praktis-sufistik kepada murid-murid tarekat. Dalam ilmu tasawwuf, meliputi segala aspek ajaran Islam seperti: ajaran salat, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu terikat dengan tuntutan dan bimbingan seorang syaykh sesuai dengan pengamalan dan pengalaman syaykh tarekat masing-masing.

Tahap perkembangan berikutnya dalam kelembagaan sufi adalah tahap thaifah. Tahap ini terjadi pada abad ke-15 Masehi. Dalam tahap ini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada tahap ini muncul organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang-cabang di tempat lain. Pemujaan kepada syaykh sudah menjadi kebiasaan . Di sini pula tasawuf telah mengambil bentuk kerakyatan. Pada tahap thaifah inilah thariqah mengandung arti lain yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaykh tertentu dan terdapatlah tarekat-tarekat, seperti tarekat Qadiriyah, tarekat Naqshabandiyah, tarekat Shadhiliyah dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas bisa kita ketahui bahwa munculnya institusionalisasi tasawuf dalam bentuk tarekat, membawa arah pengembangan intelektual yang berbeda. Perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal lebih berdampak positif bagi pengembangan intelektual keislaman, sementara institusionalisasi dalam bentuk tarekat cenderung menjadikan keharusan bertaklid di kalangan murid kepada teori dan formulasi tertentu yang bersifat doktrinal oleh para syaykh tarekat.

Tersebarnya para alumnus dari masing-masing institusi tarekat yang mendapatkan ijazah untuk meninggalkan ribath gurunya dan mendirikan ribath tersendiri di daerah lain, menjadikan banyak cabang ribath-ribath baru berdiri di berbagai daerah. Dan ini menyebabkan tidak adanya kreasi baru oleh masing-masing pemimpin ribath(murshid). Formulasi ajaran tasawuf yang dikemas oleh syaykhnya masing-masing akan diamalkan apa adanya secara ketat tanpa adanya penambahan keilmuan sedikit pun. Karena penambahan atau pengurangan akan dianggap sebagai sebuah kedurhakaan, dan ini akan berakibat fatal menyebabkan ilmu yang didapatnya tidak bermanfaat.

Pesatnya pengembangan dan perluasan jaringan institusi tarekat hanyalah dari segi kuantitas. Sedangkan segi kualitas keilmuannya nyaris tak beranjak sedikit pun. Nuansa taklid guru semakin kuat dan terlestarikan sedemikian ketat. Berbeda halnya dengan perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal. Di sana arah pengembangan intelektual muslim lebih mengedepan. Sementara institusionalisasi tasawuf dalam bentuk tarekat justru menjadikan stagnasi intelektual dan budaya taklid kian menguat.

Di kalangan sufi, seorang guru, syaikh, mursyid, murad, atau pir , adalah hal yang sangat tidak bisa ditinggalkan. Peran dan fungsi seorang guru sufi adalah sangat besar. Seorang salik (penempuh jalan menuju Allah) tidak akan bisa mencapai tingkat sipiritualitas pada tingkatan yang lebih atas atau lebih tinggi, tanpa adanya bimbingan dan tuntunan seorang guru sufi (syaikh, mursyid, murad, atau pir). Guru sufi adalah wakil dari peranan esoterik Nabi Islam dan dengan cap yang sama, ia adalah alamat dari rahmat Allah yang menyediakan diri kepada mereka yang ingin berpaling kepada-Nya. Ia adalah yang membuat kelahiran kembali rohani dan perubahan ini

D. Pesantren; Representasi Pendidikan Fiqh Sufistik

Meski belum ada bukti-bukti yang meyakinkan mengenai tahun awal keberadaannya, pesantren diperkirakan tersebar di pelbagai tempat semenjak meluasnya dakwah sembilan ulama sufi atau yang biasa dikenal sebagai Wali Songo pada abad ke-15 M. Hal ini seiring dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa yang lambat laun mengambil alih pengaruh kekuatan Hindu-Budha yang cenderung merosot akibat jatuhnya kerajaan Majapahit. Proses peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Mataram ini menjadi faktor penting proses Islamisasi di Jawa. Bahkan, sebagaimana diungkapkan Soebardi, jauh sebelum wilayah pesisir Jawa dikuasai Belanda, lembaga keagamaan ini telah dikenal dengan baik di pedesaan Jawa. Lebih jauh Soebardi menuturkan bahwa lembaga keagamaan ini telah muncul pada masa Jawa lama (past Javanese). Ini terbukti dengan konversi besar-besaran yang dilakukan asketis terkemuka (guru) Hindu-Budha kepada agama Islam.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam asli nusantara, bukan lembaga impor sebagaimana diduga sebagian kalangan. Pesantren sesungguhnya merupakan kesinambungan dan modifikasi dari suatu lembaga yang hadir sebelumnya. Di Jawa kuno, terutama masyarakat bagian timur pulau itu, terdapat jenis lembaga pertapaan para resi. Lembaga-lembaga ini dikenal dengan nama dharma, mandala, atau pertapaan, dan lembaga-lembaga tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan struktur pesantren.

Ada tiga persamaan mendasar antara keduanya. Pertama, lokasinya yang jauh dari keramaian dan dari pusat kekuasaan politik. Dalam sejarahnya, pesantren didirikan di daerah pedalaman. Disamping untuk membentengi diri dari panetrasi 'asing', pesantren didirikan di wilayah pedalaman untuk semakin mengkonsentrasikan dirinya dalam menggali ilmu pengetahuan. Baik santri maupun petapa membutuhkan ketenangan untuk merenungi kediriannya. Termasuk juga konsolidasi politik dalam melawan penjajahan. Meskipun steril dari kepentingan pusat kekuasaan politik, pesantren memiliki komitmen politik melawan penjajahan. Begitulah sejarah pesantren di era kolonialisme.

Kedua, jalinan yang begitu erat antara murid dan guru, santri dan kiai. Jalinan semacam ini sebenarnya sudah tampak sebagai ikatan pokok pada zaman kerajaan Hindu-Jawa. Dalam perkembangannya, jalinan semacam ini oleh lembaga tarekat diperkenalkan hingga pada tingkat pesantren. Ini disebabkan, seringkali kiai sebuah pesantren merangkap sebagai syekh tarekat tertentu. Kiai-kiai, sebagaimana syekh-syekh tarekat, mengajarkan latihan-latihan tertentu dan bimbingan spiritual, dan pada saat yang sama santri, sebagai imbalannya, menghormati dan mematuhinya. Hubungan-hubungan khusus semacam ini tetap berlanjut meskipun sang santri itu telah tamat menyelesaikan pendidikan dan latihannya di lembaga tersebut dan kembali ke habitatnya semula.
Ketiga, sebagai konsekuensi dari persamaan kedua adalah terawatnya kontak dan jalinan antar dharma, demikian juga jalinan antar pesantren (antar kyai), serta kebiasaan berkelana untuk melakukan pencarian rohani dan intelektual dari satu pusat ke pusat lainnya. Corak kelana dalam dalam pencarian ini menemukan landasan normatifnya, baik dalam kitab suci maupun sunnah nabi. Di antara hadis yang populer di kalangan pesantren adalah kewajiban mencari ilmu dari buaian hingga liang lahat, di samping kewajiban mencari ilmu walaupun ke negeri Cina. Pesan-pesan normatif semacam ini cukup memberi stimulus pada seseorang untuk senantiasa mengembara dari satu pusat ke pusat lainnya untuk mematangkan dan memantapkan keilmuannya. Dengan pola pertualangan dan pengembaraan semacam ini, yang menjadi ciri utama pesantren, telah menyumbangkan adanya kesatuan sistem pendidikan pesantren[1]. Selain itu, pola terakhir ini semakin diperkuat dengan adanya tradisi di kalangan pesantren untuk mewariskan tongkat kepemimpinannya pada keluarga terdekat ditambah lagi dengan adanya jaringan aliansi pernikahan antara keluarga kyai serta pengembangan transmisi pengetahuan dan transmisi intelektual antarsesama kyai dan keluarganya. Dengan cara inilah kontak dan jalinan antar pesantren bisa terawat dengan baik.

Karena wataknya yang sufistik, Islam datang dan mudah menyebar di Nusantara. Diduga karena wataknya yang sufistis inilah Islamisasi di Nusantara, khususnya Jawa, tidak terlalu banyak menimbulkan ketegangan dengan unsur esoteris pribumi yang mewarisi tradisi lama Hindu dan Budha. Bahkan dapat dikatakan bahwa periode penyebaran Islam awal ini lebih berorientasi pada Islamisasi unsur mistik dari pada pemurnian akidah yang ketat dan pengenalan syari’ah. Terlebih lagi Islam masuk ke Jawa ketika sufisme sudah begitu kuat dipengaruhi kitab Ihya’ Ulumiddin-nya al-Ghazali. Besarnya peran ulama sufi di balik proses penyebaran pesantren pada babak awal sejarahnya tentu saja membawa konsekuensi kultural tersendiri. Paling tidak, praktik-praktik keagamaan yang dijalankan serta olah intelektual yang diintrodusir di dalamnya sulit dilepaskan dari pengaruh tradisi tasawuf yang merupakan wajah dominan Islam sebelumnya.

Wali Songo adalah pengamal ajaran tasawuf, yang garis nasab dan akar jaringan keilmuannya dapat dilacak pada generasi awal kaum Asyraf atau ‘Alawi di Nusantara, yaitu para keturunan Imam Ahmad Al-Muhajir dari Hadramaut, yang merupakan pengikut mazhab al-Syafi’i di bidang fikih serta penganut konsep sufisme al-Ghazali. Dengan kata lain, unsur tasawuf pada gilirannya menjadi bagian dari realitas kehidupan pesantren yang tak terbantahkan, yang lambat laun semakin sulit dihindari keterlibatannya dalam pembentukan karakter keagamaan lembaga pendidikan tradisional Islam ini.

Akar keilmuan pesantren sehingga membentuk sebuah genre tersendiri. Kuatnya genre fiqh sufistik, demikian dia mengistilahkan, di awal masuknya Islam misalnya, di satu pihak dan genre fiqh murni pada babakan selanjutnya di pihak lain yang mewarnai keilmuan pesantren hingga kini dapat dilacak pada awal masuknya Islam ke Nusantara, bahkan jauh sebelumnya. Setidaknya ada dua gelombang keilmuan yang membentuk tradisi dan genre keilmuan Islam di pesantren. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Pada gelombang pertama ini, corak keilmuan Islam hadir dalam bentuk tasawuf. Tentu saja tasawuf yang diusungnya tidak lepas dari rambu-rambu syari’ah. Masuknya Islam ke Nusantara pada masa itu sudah membawa bentuk sebagaimana dikembangkan di Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik. Demikianlah, kita jumpai bahwa tasawuf menjadi orientasi keilmuan pesantren yang dominan saat itu. Buku-buku yang menggabungkan antara tasawuf dan fikih menjadi materi pelajaran yang utama. Sebut saja misalnya Ihya Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali.

Berbeda dengan gelombang pertama, gelombang kedua yang terjadi sekitar abad ke-19 melahirkan corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Bermula dari dibukanya lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah ternyata berhasil meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya akumulasi kekayaan masyarakat inilah mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 M. semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan. Demikianlah terjadilah massifikasi pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekah yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama yang demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfuz Tremas, Kyai Abdul Gani Bima, Kyai Arsyad Banjarmasin, Kyai Abdus Shamad Palembang, Kyai Khalil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga saat ini. Mereka itu telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqih secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Arsyad Banjar, Nihayatuz Zein dan Uqudu Lujjain karya Nawawi Banten, dan semacamnya.

Dengan demikian, tradisi keilmuan pesantren mewarisi dua kecenderungan dominan ini. Di satu pihak, nuansa fiqh sufistik demikian kentara, dan di pihak lain pendalaman ilmu fiqh tetap menjadi prioritas. Jangan heran apabila kita berkunjung ke pesantren, dominasi buku-buku fiqh, di samping buku-buku tasawuf mewarnai etalase perpustakaannya. Tentu saja, kita tidak menafikan sejumlah kitab-kitab ilmu bantu, semisal ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, dan Balaghah yang juga memenuhi lemari perpustakaan.

Sementara itu, kuatnya kecenderungan pada mazhab al-Syafi’i dan al-Ghazali tidak disangsikan lagi memperkuat nuansa Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi prinsip dasar keyakinan masyarakat pesantren. Keterikatan penuh dengan tradisi fiqh di satu pihak, yang direpresantasikan dengan figur imam madzab yang empat, khususnya Syafi’i (lebih tepatnya Syafi’iyyah) dan tradisi tasawuf, terutama ajaran al-Ghazali. di pihak lain menunjukkan jalinan yang kuat dunia pesantren dengan Timur Tengah.

Di pihak lain, meningkatnya kuantitas jamaah haji, di samping meningkatnya santri yang mendalami ilmu di Timur Tengah, menjadi sistem komunikasi efektif antara umat Islam di Nusantara dengan Timur Tengah. Sistem komunikasi ini terbangun baik melalui jamaah haji atau santri yang belajar di Timur Tengah. Memang, di pengujung abad ke-19 M. dan awal abad ke-20 M., jumlah jamaah haji Indonesia meningkat mencapai 10 sampai 20 persen dari seluruh jamaah haji asing. Meningkatnya jamaah haji ini dapat dipahami karena beberapa tahun sebelumnya orang Indonesia tidak bisa melaksanakan ibadah haji akibat proteksi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, di samping juga karena sulitnya arus transportasi.

Dengan demikian, keberadaan pesantren di masa awalnya merupakan bagian integral dari medium dakwah Islam di masyarakat melalui sarana dan metode yang tidak menghapus seluruh sendi-sendi yang ada di masyarakat. Modifikasi-modifikasi tradisi dan dikemas dengan nilai-nilai keislaman itulah yang menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif di masanya, bahkan hingga kini. Sungguh tepat bila dikatakan bahwa pesantren merupakan tonggak intelektual Islam Nusantara.

E. Pendidikan Sufistik Era Multikultur

Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosialisasi dan enkulturasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan-pengetahuan yang terakumulasi di masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat, berkembang pula proses sosialisasi dan enkulturasinya dalam bentuknya yang diserap secara optimal. Dewasa ini pendidikan terlihat lebih mengupayakan peningkatan potensi intelegensia manusia. IQ telah menjadi sebuah "patok absolut" dalam melihat tingkat progresivitas kedirian manusia. Manusia dituntut mengasah ketajaman intelektualnya demi kemampuan mengoperasikan mekanisme alam yang menurut Jurgen Habermas, menghunjamnya hegemoni rasio instrumentalis. Produk dari instrumentalisasi intelek ini adalah terbangunnya manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri, atau dalam istilah Herbert Marcuse, one dimensional men.

Multikulturalisme berkembang sebagai sekolah yang menaruh pentingnya keragaman sumber-sumber serta kantung-kantung budaya yang menjadi oasis penghayatan hidup dan acuan makna penganutnya, justru dalam penghayatan jagat-jagat nilai kelompoknya. Tuntutan multikulturalisme ini mekar bersama memadatnya kesadaran terhadap keterbatasan tradisi-tradisi besar yang setelah krisis monopoli tafsir kebenaran tunggal ternyata ambruk dalam rasionalisme demokrasi, serta krisis-krisis dehumanisme dan kukuhnya teknologis-instrumental yang membuat hidup menjadi sempit satu dimensi.

Maka pendidikan pun perlu diarahkan untuk melakukan perombakan substansial menuju penyadaran hakiki dengan bertumpu pemaknaan hidup secara lebih human. Perubahan ini sepatutnya dibidikkan pada wilayah esoteris yang merupakan kesadaran hakiki yang berwatak multi dimensional.

Kesadaran esoteris senantiasa meneguhkan nilai-nilai keillahiahan yang menjadi sumber segala bentuk kesadaran. Padahal, kesadaran akan hadirnya kekuatan illahiah bisa menghadirkan kesadaran praksis yang amat signifikan bagi pengembangan kepribadian baik privat maupun sosial. Di atas kondisi multikulturalisme, sebenarnya tersimpuh pemikiran yang berlandasan pendaman-pendaman wisdom yang menggelontorkan pemikiran yang substansial, universal, dan integral melalui jalur yang emansipatoris, moralis, dan spiritual. Sebuah pengayaan proses pendidikan yang berlambar nilai-nilai adiluhung tasawuf dengan tujuan praksis sosial.

Tasawuf sebenarnya bukan penyikapan pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah "revolusi spiritual" di masyarakat. Bukankah aspek moral-spiritual ini sebagai ethical basic bagi formulasi sosial dalam hal ini juga dunia pendidikan? Kaum sufi adalah elite di masyarakatnya dan sering memimpin gerakan penyadaran akan adanya penindasan dan penyimpangan sosial. Tasawuf merupakan metodologi yang membimbing manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total. Interaksi kaum sufi dalam semua kondisi adalah dalam harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal.

Bertasawuf berarti pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang sebenarnya adalah belajar untuk tetap mengikuti tuntutan agama, saat berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kekayaan, kemiskinan, pengendalian diri, dan pengembangan potensi diri. Bukankah lahirnya sufi-sufi besar seperti Rabi'ah Adawiah, Al-Ghazali, Sari al-Saqothi atau Asad al-Muhasabi telah memberi teladan, pendidikan yang baik, yakni berproses menuju perbaikan dan pengembangan diri dan pribadi.

Disadari, pendidikan yang dikembangkan masih terlalu menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak, dan jarang sekali pendidikan tentang kecerdasan emosi dan spiritual yang mengajarkan integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, keadilan, kebijaksanaan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi. Akibatnya, berkecambahnya krisis dan degradasi dalam ranah moral, sumber daya manusia dan penyempitan cakrawala berpikir yang berakibat munculnya militansi sempit atau penolakan terhadap pluralitas. Dalam tasawuf, antara IQ (dzaka al-Dzihn), EQ (tashfiat al-Qolb) dan SQ (tazkiyah al-nafs ) dikembangkan secara harmonis, sehingga menghasilkan daya guna luar biasa baik horizontal maupun vertikal.

Sufi besar Ibnu 'Arabi melihat manusia perlu memekarkan apa yang disebut sebagai "daya-daya khoyyal" yakni suatu potensi daya dan kekuatan substansial yang mengejawantah secara hakiki, tetapi faktawi dan bergerak menuju pengungkapan diri dalam dunia indrawi yang merupakan bentuk abadi dan azali. Demikianlah, manusia perlu dikembalikan pada pusat eksistensi atau
pusat spiritual dan dijauhkan dari hidup di pinggir lingkar eksistensi.

Di tengah kondisi multikulturalisme, yang patut dipertahankan dan
dikembangkan adalah penguatan pendidikan yang berbasis spiritualitas yang justru akan meneguhkan otentisitas kemanusiaan yang senantiasa dicitrai oleh ketuhanan

F. Penutup

Doktrin sufistik bisa dijadikan dasar etik pengembangan kehidupan lebih humanis dengan tetap memelihara produktivitas di tengah gaya hidup modern yang memproduksi ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Fungsionalisasi ajaran sufi itu lebih urgen ketika berbargai wilayah negeri ini dilanda bencana alam akibat salah urus. Konflik menajam dalam pertarungan politik setiap pergantian pimpinan partai dan pemilihan kepala daerah yang mulai berlangsung di seluruh kawasan Tanah Air, membuat kemiskinan dan penderitaan rakyat semakin mengenaskan. Fakir-miskin dan korban bencana alam itu makin tak terurus saat elite partai dan bahkan keagamaan terperangkap perebutan kekuasaan materiil. Doktrin sufi mengajarkan bagaimana cara pembebasan manusia dari perangkap hasrat kuasa dan kaya yang mejadikan pelaku ekonomi, politik dan tokoh agama kehilangan rasa kemanusiaannya.

Tuduhan ajaran sufi menjadi penyebab utama lemahnya etos sosial, ekonomi dan politik sehingga mayoritas pemeluk Islam tergolong miskin dan berpendidikan rendah adalah akibat kesalahpahaman memaknai ajaran-ajaran sufi, yang jelas-jelas bersumber kepada Kitabullah dan al-Sunnah. Ajaran sufi bisa menjadi basis etik dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik kebangsaan yang humanis dan berkeadilan dalam dunia global, jika dimaknai sebagai praksis kemanusiaan. Akar etik sufi ialah kesediaan manusia menempatkan dinamika kebendaan dan duniawi (sosial, ekonomi, politik) sebagai wahana pencapaian tahapan kehidupan (maqam) lebih tinggi dan bermutu. Bagi kaum sufi, kehidupan sosial, ekonomi dan politik bukanlah tujuan final, tapi tangga bagi kehidupan lebih luhur. Inilah maksud ajaran suluk sebagai jalan mencapai ma’rifat; Ma’rifat adalah karunia tertinggi tentang hakikat kehidupan dinamis alam dan manusia. Karunia ma’rifat yang futuristik itu menciptakan manusia-manusia yang piawai melihat hukum kausal sejarah dan berbagai kemungkinan kejadian di masa depan.

Realisasi doktrin sufistik bukanlah dengan menjauhi, menolak dan menghindari pergulatan bendawi, melainkan melampaui dan menerobos batas-batas dinamika bendawi yang materialistik. Perilaku dan pola hidup sufistik merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap materiil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi dan politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Itulah basis etik setiap laku sufi yang seharusnya meresap kedalam setiap tindakan manusia di dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta berbagai kegiatan ilmiah. Inti ajaran sufi demikian itu mudah kita kenali di semua ajaran agama-agama samawi. Berbasis etika sufistik seseorang bersedia membantu meringankan penderitaan orang lain, walaupun diri sendiri menghadapi kesulitan dan penderitaan. Prestasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik penganut sufi, selalu terarah bagi capaian kualitas spiritual, bukan semata bagi status sosial, penumpukan harta dan kuasa pribadi.

Konsep faqr misalnya, bukan pola hidup miskin tanpa harta dan kekuatan, tapi berlaku bagi si miskin kepemilikan atas harta dan “kekuasaan” yang dimiliki, sehingga dia dapat dengan mudah memberikan harta dan kuasanya bagi kesejahteraan publik. Sufistisasi ekonomi inilah yang belakangan berkembang menjadi faktor penentu dinamika sosial dan politik. Sufistisasi berarti peletakkan tiap usaha dan prestasi sosial, ekonomi, dan politik pada akar nilai kemanusiaan, bukan sebagai berhala-berhala ketika harta dan kuasa dianggap lebih berharga dari praksis pemihakan kepentingan humanitas universal.

Kerakusan kapilatistik dan politik yang cenderung korup adalah lahir akibat perilaku ekonomi dan politik yang berororientasi hanya bagi peraihan kekayaan harta finalistik. Gagasan Imam al-Ghazali seringkali dijadikan referensi penolakan pelibatan diri dalam dinamika sejarah, ekonomi dan politik dalam doktrin zuhd dan faqr. Ajaran itu bagi al-Ghazali berarti peletakkan kegiatan ekonomi dan politik bagi pengabdian kepada Allah. bukan menolak atau lari dari kehidupan empiris. Inilah transendensi dan radikalisasi dalam pemikiran filsafat. Proses demikian akan menumbuhkan kesadaran tentang diri, realitas alam raya, dan Allah.

Sufistisasi ialah praksis sufi dalam kehidupan empirik sehingga kebekuan sosial, eknomi, politik, dan keberagamaan dicerahi kemanusiaan dan diresapi logika sejarah kritis dan dinamis. Bukan lari dari kecenderungan ekonomi dan politik yang culas dan korup, tapi kerja keras menahan diri mengatasi perangkap finalitas ekonomi dan politik. Tidak jarang kegiatan ritual keagamaan terperangkap finalitas serupa ketika ditujukan hanya untuk meraih pahala sebesar mungkin tanpa keterkaitan fungsional pemecahan problem kehidupan riil. Prestasi sosial, ekonomi, politik, dan kesalehan religius lebih bermakna saat seseorang memasuki wilayah tanpa batas penuh kenikmatan hidup dan melampaui dimensi bendawi. Sufistisasi produktif penting dalam keberagamaan non-produktif fatalis yang lebih menekankan pencarian kekayaan moral-spiritual menolak kekayaan dan kuasa bendawi. Pemahaman ajaran zuhud seperti itulah penyebab ketertinggalan masyarakat muslim yang miskin dan terkebelakang (mustadh’afin).

REFERNSI

Ali, Yunasril, Jalan Kearifan Sufi: Tasawuf sebagai Terapi Derita Manusia, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002.

al-Jilani, Abdul Qadir, Rahasia Sufi, terj., Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Anwar, C. Ramli Bihar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, Jakarta: Penerbit IIMAN bekerjasama dengan Penerbit HIKMAH, 2002

Fattah, Sayyid Ahmad Abd., Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, terj., Jakarta: Khalifa, 2000.

Gulen, Fathullah , Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta: Srigunting, 2001.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih, terj., Solo: Pustaka Arafah, 2005.

Mubarok, Achmad, Sunatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, Jakarta: The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 2003.

Ni’am, Syamsun, Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya: Risalah Gusti, 2001.

Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Sells, Michael A., Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, terj., Bandung: Mizan, 2004.

Solihin, Mukhtar, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.

Solihin, Mukhtar, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.

Solihin, Mukhtar-Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.

Siregar, H.A. Rivay,, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

Syatha, Syayid Abu Bakar Ibnu Muh., Missi Suci Para Sufi, terj., Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003



[1][1] Zuhri, Saefuddin, Guruku Oran-gorang Pesantren, 1972, hal.102

0 Response to "PENDIDIKAN ISLAM MULIKULTURAL"

Posting Komentar